TERBARU

KPK dan Momentum Pemidanaan Korporasi


Dedi Haryadi [koleksi dedi haryadi]

Oleh Dedi Haryadi

Momentum pemidanaan korporasi kembali muncul dalam kasus suap Neneng Hasanah, Bupati Bekasi. Personalia perusahaan properti terkenal di duga menyuap Bupati dan aparatnya untuk mendapatkan berbagai ijin bagi  pembangunan dan beroperasinya sebuah kawasan pemukiman. Apakah KPK akan memanfaatkan  momentum ini untuk memidanakan korporasi yang terlibat kejahatan korupsi?

Pertanyaan ini perlu diajukan karena sebelumnya  KPK beberapa kali “membiarkan” momentum  seperti ini berlalu begitu saja.  Dalam kasus korupsi e-KTP misalnya, dalam dakwaan ada disebut beberapa perusahaan dan partai politik diduga menerima dana aliran hasil korupsi e-KTP.  Demikian juga dalam  kasus korupsi reklamasi teluk Jakarta, KPK enggan mengungkap lebih jauh keterlibatan perusahaan pengembang properti dalam skandal tersebut.  Tampaknya KPK juga tak akan memidanakan  partai politik  yang diduga terlibat dalam kasus korupsi PLTU-Riau atau pun kasus korupsi Gubernur Jambi, Zumi Zola.

Stop pembiaran
Sampai kapan KPK akan terus begitu?  KPK harus menghentikan pembiaran momentum pemidanaan  korporasi. Mulai sekarang KPK harus progresif memidanakan korporasi yang diduga terlibat dalam korupsi atau kejahatan finansial lainnya.    Karena pertama,  kerangka kelembagaan untuk memidanakan kejahatan korporasi sudah memadai.  Mahkamah Agung (MA)  sudah  menerbitkan Perma No.13/2016,  tentang tata cara penanganan perkara  tindak pidana oleh korporasi.  Dengan ini KPK tak  bisa berdalih tak bisa memidanakan korporasi karena kerangka hukumnya tidak cukup.

Kedua, KPK bukan hanya harus menjaga tapi juga harus “membayar”  amanah, kepercayaan dan dukungan yang selama ini diberikan  publik.   Amanah, kepercayaan dan dukungan publik yang kuat itulah yang selama ini telah menyelamatkan eksistensi KPK dari berbagai upaya pelemahan berbagai pihak. Utamanya pihak penegak hukum  dan politisi, seperti tercermin dari  rangkaian konflik cicak versus buaya.  Bayarlah “hutang budi”  kepada publik dengan memidanakan korporasi --partai politik/perusahaan--  yang diduga terlibat dalam korupsi/kejahatan finansial lainnya. 

Ketiga, secara internal KPK sendiri, saat ini,  perlu membangun legenda yang  akan jadi  memori kolektif  bangsa ini sepanjang jaman.  Pemidanaan korporasi –dan bukannya intensifikasi Operasi Tangkap Tangan/OTT-- yang akan menjadi legenda kinerja dan capaian pimpinan KPK saat ini. Selain akan melegenda, langkah ini juga akan memperkaya dan memperdalam pengetahun dan pengalaman KPK dalam  memerangi korupsi.  KPK akan naik level/maqom dalam memerangi korupsi kalau mau memidanakan korporasi.  Ini akan memperkuat KPK sebagai pusat pembelajaran anti korupsi bagi KPK negara lain.
Megaproyek Meikarta, Jawa Barat. [Liputan6.com]

Keempat,  langkah pemidanaan korporasi potensial menimbulkan efek jera yang lebih dalam dan substansial baik bagi institusi bisnis dan politik. Selama ini terus berulangnya kejahatan korupsi dengan modus yang sama menunjukkan bahwa efek jera  pemidanaan personal/individu koruptor itu sangat minimal.   

Kelima., lansekap sosial politik kita  saat ini yang lebih demokratis, terbuka dan kompetiif  memungkinkan KPK memidanakan korporasi. Dalam lansekap seperti ini sikap dan perbuatan yang menghalang-halangi kerja-kerja KPK dalam memidanakan korporasi akan menjadi beban/liabilitas. Sebaliknya  sikap dan perbuatan yang supportif akan menjadi asset penting dalam kontestasi sosial, politik dan kultural.

Langkah KPK  memidanakan  korporasi bukan hanya akan memberikan kontribusi penting pada pengendalian korupsi, tetapi juga akan menciptakan keadilan ekonomi dan hukum, serta penguatan dan pendalaman demokrasi.

Dedi Haryadi, aktivis anti korupsi yang kini menjabat Ketua Beyond Anti Corruption.
Artikel ini sudah dimuat harian Kompas, 3 November 2018. Dimuat ulang atas seizing penulisnya.

No comments