TERBARU

Pajak Rokok



Oleh Putu Setia (Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda);  Pengarang,  Pendeta,    Wartawan Senior Tempo

Kebenaran dan kebaikan bisa datang dari segala penjuru, termasuk dari tempat yang tak dikehendaki. Ungkapan ini bahkan termuat di berbagai ajaran tentang moral dan kebajikan. Kita diajarkan menerima kebaikan itu, meskipun datangnya dari sebuah tempat atau kebiasaan yang buruk.

Contoh teranyar soal kebiasaan merokok. Selama ini merokok disebut tidak sehat. Merusak paru-paru, memperpendek umur, dan seterusnya. Bahkan orang yang tidak merokok tapi mengisap asap rokok dari orang sekitarnya, juga ikut menanggung petaka. Pemerintah pun membatasi ruang merokok demi melindungi rakyatnya. Peraturan daerah dibuat untuk mempertegas adanya sanksi bagi pelanggar larangan merokok. Belum cukup, pemerintah menakut-nakuti pembeli rokok dengan slogan: Rokok Membunuhmu. Keburukan apa lagi yang lebih dahsyat dari kebiasaan merokok?

Tiba-tiba di hari belakangan ini, dari sebuah kawasan terburuk itu datang kebaikan. Pajak rokok menyelamatkan banyak orang karena bisa "menghidupkan kembali" Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mengalami "musibah nasional". Sejumlah rumah sakit lumpuh karena tak punya dana lagi untuk membeli obat, dokter dan perawat tertunda gajinya gara-gara pembayaran dari BPJS tak kunjung cair. Sejumlah pasien tak dapat obat gratis sebagaimana biasanya dan harus menebus sendiri di apotek, padahal mereka rajin membayar iuran BPJS. Badan ini setiap tahun selalu defisit triliunan rupiah dan tak tahu bagaimana cara menyelamatkannya. Sampai pada akhirnya Presiden Joko Widodo berbaik hati mengeluarkan peraturan presiden yang membolehkan pajak rokok daerah diambil dananya sampai 75 persen untuk membayar klaim BPJS. Rokok tak lagi membunuhmu, justru pajaknya membuat kamu sehat.

Bulan depan pemerintah siap mengucurkan Rp 4,9 triliun pajak rokok untuk menyelamatkan BPJS. Rumah sakit daerah akan sehat kembali setelah menerima bayaran. Pasien BPJS kembali antre dengan tertib dengan obat yang terjamin. Terima kasih para perokok yang dengan pajaknya menyelamatkan banyak orang.

Rokok dan asapnya. [via cnn]


Lalu, masihkah kita melarang jika ada orang yang merokok di halaman rumah ibadah? Bagaimana kalau orang itu berkata: "Pendeta, Anda yang dulu terkena serangan jantung sudah bisa kembali mendapat obat pengencer darah Brilinta yang mahal dengan gratis, gara-gara aku yang merokok, mbok sadar." Masihkah berani kita membentak orang yang merokok di bus umum? Bisa-bisa kita yang dibentak: "Karena rokokku ini sekian juta orang jadi sehat, mbok kamu ikutan merokok. Perokok itu pahlawan tanpa tanda jasa."

Alkisah, konon alam semesta memang menciptakan rwabhineda–dua hal berbeda saling berdampingan. Ada siang ada malam. Ada baik ada buruk. Ada suka ada duka. Leluhur kita memberi saran, rwabhineda tak bisa dihindari karena datangnya silih berganti. Tapi bagaimana kalau dua hal yang bertolak belakang itu tidak berdampingan? Dan datangnya bukan silih berganti tapi menyatu dalam suatu waktu? Ini bukan rwabhineda, melainkan kaliyuga–suatu masa yang kalut.

Rwabhineda bisa disikapi dengan tenang, melakukan evaluasi, menyadari mana yang harus diperbaiki sambil berharap hal yang buruk segera berlalu. Tapi kaliyuga adalah kekalutan yang sulit diurai karena tak jelas lagi mana baik dan mana buruk, keduanya punya alasan yang kuat. Maka, ibarat komputer, satu-satunya jalan adalah restart dan instal program baru. Seperti itulah yang harus dilakukan pada BPJS dan "politik pertembakauan" yang di dalamnya ada pajak rokok. Restart dan instal ulang secara nasional. Bukan cara lain. ● (TEMPO.CO.ID, 22 September 2018)

No comments