TERBARU

Manusia Ngehek yang Kritis, Sinis, Sarkastis dan Sadis



Tino itu manusia langka. Kemunculannya di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (GRJS), Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, pada awal 1970-an, remaja keturunan Indo-Belanda itu sudah menampakkan keunikannya. Ia bisa langsung akrab dan gaul dengan kelompok lukis Sanggar Garajas dan Teater Bulungan, yang kebanyakan anggotanya adalah pelajar dan mantan anak sekolahan, alias pengangguran.
Sebagai anak Indo, ia tak pernah membanggakan penampilan sosoknya. Setiap kali datang berpakaian robek, memakai gelang dan kalung manik-manik bikinannya sendiri, dan kemudian menjualnya, semua orang pun bisa menerima dan memakluminya. Ia juga tak pernah memperlihatkan kecerdasannya, karena setiap kali datang ia hanya bercanda dan tak pernah pamer ilmu.
Ia justru selalu ngebacot semaunya, menggunakan dialek Betawi, dan bersumpahserapah sembarangan. Tapi anehnya, dan lucunya, semua omongannya tak pernah dianggap sebagai cacian yang merendahkan lawan bicara. Baik dengan yang lebih muda, yang sebaya, maupun yang lebih dewasa umurnya. Pada umumnya, semua orang yang berhadapan dengannya, sudah harus paham dan maklum, bahwa Tino sesungguhnya orang baik, hormat kepada senior, dan tidak pernah jahil atau berlaku kasar. Apa pun yang diucapkan atau dilakukannya, betapa pun kasar dan menyakitkan ejekannya kepada semua orang, ternyata bisa diterima siapa saja. Karena bagi mereka, Tino adalah "Londo Edan" (Belanda Gila).
Kemunculannya yang hilang timbul di GRJS Bulungan, baru diketahui alasannya belakangan, sebagaimana dituliskannya di dalam trilogi Meludah dengan Kata ini. Toh, kendati sering menghilang, Tino tidak pernah sungguh-sungguh pergi dari lingkungan Bulungan. Meskipun, saya pribadi, tidak pernah tahu minat dan bakatnya yang sesungguhnya. Karena di senirupa Garajas ia tidak lama, dan di teater Bulungan hanya ikut pementasan beberapa kali. Sementara di bidang sastra dan jurnalistik, kegiatan yang paling mencerminkan "citra" Bulungan saat itu, ia juga tidak pernah ikut atau tertarik bergiat di dalamnya.
Sebagai pribadi, ia juga tidak pernah dikenal atau diketahui sebagai "playboy" karena tidak pernah tampak bergonta-ganti teman perempuan. Mungkin hanya satu atau dua orang yang sempat diajak dan diperkenalkannya ke lingkungan Bulungan. Apalagi ketika kemudian saya ke Perancis (1976-1981), saya tidak banyak tahu lagi sepak-terjangnya. Yang pasti, Tino orang yang menyenangkan dan selalu mampu membuat semua orang tertawa.
Kami (saya dan istri saya Rayni N. Massardi), baru ketemu lagi dengan Tino sekitar 1980-an, ketika tiba-tiba ia datang ke rumah kami di Rue de Belleville, Paris. Dan, Tino, ternyata satu-satunya teman eks Bulungan yang pernah datang dan bertemu kami di Paris. Saat itu, rupanya Tino baru datang dari Belanda, untuk mengurus dana pensiun ibunya, seorang dokter asal Belanda, LWJ Langendoen Saroengallo. Ia juga bercerita kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), Jurusan Sastra Cina, dan pernah beberapa bulan tinggal di Taiwan. Saya yang cukup takjub, kemudian memintanya berbicara bahasa Cina, ketika mengajaknya belanja sembako di sekitar Belleville, di toko milik warga Cina-Vietnam. Dan, ternyata dia memang bisa he he he...
Sekembali di Jakarta, ketika saya bekerja di Harian Kompas (1982-1985), kami beberapa kali ketemu di pelbagai kesempatan. Terutama karena ia sering mengunjungi koleganya, Rene L. Pattirajawane, lulusan Sastra Cina FSUI, yang bekerja di Kompas. Saya kemudian tahu bahwa ia bekerja sebagai pewarta di Mutiara dan kemudian di majalah berita X'Tra yang tak berumur panjang.
Ketika majalah X'Tra berhenti terbit, saya memintanya bergabung di Majalah Berita Bergambar "Jakarta-Jakarta" ("JJ") yang saya pimpin dan dirikan (1985-1989). Tino pun kemudian bergabung, sebagai Redaktur, hampir bersamaan dengan Leila S. Chudori, berdasarkan kontrak-kerja, mengingat saat itu Kelompok Kompas Gramedia (KKG) yang menaungi "JJ" tidak boleh lagi mengangkat karyawan tetap. Sayang kebersamaan kami tidak lama, karena pada 1 April 1989 saya mengundurkan diri dari "JJ" diikuti Leila dan kemudian Tino, yang kontraknya diputus KKG secara sepihak.
Berkat perkenalan dengan Leila di "JJ" itulah, Leila kemudian memperkenalkan Tino kepada Jeremy Allan, mantan koresponden majalah berita asing di Jakarta, yang mengajaknya terjun ke dunia audio visual. Dunia yang terus diikutinya, yang memperkaya wawasan dan pergaulannya, serta yang kelak memberinya pelbagai penghargaan, hingga akhir hayatnya. "Leila yang menjerumuskan saya ke dunia audio-visual," kata Tino selalu.
Begitu keluar dari "JJ" saya dan Tino bersepakat untuk mendirikan lembaga sindikasi, yang memasok tulisan, foto, dan features ke pelbagai media (cetak) yang ada, sebagaimana sindikasi di luar negeri. Namun, mengingat situasi dan kondisi kami masing-masing, saya kemudian mempersilakan Tino jalan sendiri melanjutkan gagasan itu dengan mendirikan Jakarta Media Syndication (JMS) dan mengumpulkan sejumlah rekannya. Sementara saya mendirikan PT Jakarta Media Communication (JMC), yang menyediakan layanan konsultasi media dan menjual karya foto jurnalisme dari tiga agen foto jurnalisme terbesar dunia kala itu, Sygma, Gamma dan Sipa Press, yang kebetulan semuanya bermarkas di Paris.
Lama tidak bertemu, suatu hari Tino mengundang saya ke studio RCTI di Kebon Jeruk, untuk membuat rekaman contoh program yang dibuatnya bersama Scott Gregory dari Rocket Production House. Program lokal "Cinema-Cinema" itu ditawarkan ke RCTI, yang saat itu baru berdiri sebagai tv swasta pertama di Indonesia. Ketika itu, saya sendiri tengah bekerja sebagai Redaktur Eksekutif di majalah "Vista FMTV" di bawah naungan PT Surya Persindo. Kami hanya membuat satu episode contoh.
Beberapa hari kemudian, program yang menampilkan saya sebagai pembawa acara itu diterima. Sehingga, sejak 1991 itulah, saya bersama Zoraya Perucha, tampil setiap Sabtu sore, membawakan acara "Cinema-Cinema" yang berupa rekaman (bukan tayangan langsung - live), dengan sponsor utama jaringan Cineplex XXI (d/h 21). Berkat Tino itulah saya diperkenalkan kepada para petinggi XXI, terutama pak Harris Lasmana, yang memungkinkan saya dan Rayni, terus bekerjasama sampai hari ini, hingga saya sempat menjadi "juru bicara" Kelompok XXI selama sepuluh tahun.
Materi "Cinema-Cinema" yang kami bawakan, dibuat berdasarkan skrip yang dibuat Tino. Namun, teks itu kadang saya koreksi langsung di lapangan saat rekaman, dan seringkali ditertawakan Tino, bila beberapa kali saya salah ucap. "Mampus, lu...! Rasain kalau enggak mau ngikutin naskah gua...!" kata Tino ngehek, kendati ia tidak pernah marah kalau dialog yang ditulisnya untuk saya, selalu saya ubah sesuai kemauan saya.
Lalu, mengapa Tino saat itu memilih saya sebagai presenter "Cinema-Cinema" sehingga "label" itu terus melekat pada saya hingga sekarang? Saya baru mendapatkan jawaban langsung dari Tino, beberapa hari sebelum meninggal. "Gua memilih orang yang mengerti film," katanya serius, di atas kursi roda, di teras rumahnya di Bintaro Paradis, Tangerang Selatan.
Pelbagai kegiatan Tino kemudian saya baca dan lihat di layar bioskop, di media massa dan media sosial. Beberapa kali juga ketemu di Bali. Di hotelnya di Kuta, di cafe Batujimbar, Sanur, bahkan di bandara Ngurah Rai. Terutama ketika ia sibuk mempersiapkan produksi film Hollywood "Eat, Pray, Love." "Lu gak mampu bayar gue sekarang, karena rate gue pake dollar...!" katanya ngehek sambil cengengesan.
Toh, kendati lama di Bali dan berurusan dengan pelbagai lapisan masyarakat dan birokrat, tak membuatnya jatuh cinta kepada Bali. Tidak seperi kami. "Memang Bali itu indah. Tapi manusianya ngehek, maruk duit, dan mereka terang-terangan minta, gak pake malu, di desa dan di kota, dari kasta terendah sampai kasta tertinggi. Makanya, gue paling benci kalau diminta syuting dan kerja di Bali. Kalau bisa gue tolak. Banyak mantai dan ankud. Asal lu tau aja...!" katanya serius, sementara saya hanya terpana mendengarkan pengalaman dan penjelasannya ihwal Bali dan masyarakatnya. Sesuatu yang berada di luar "Bali versi kami."
Begitulah waktu berlalu. Berkat FB dan WA kami pun sekali-sekala menjalin kontak. Dan, saya baru bertemu lagi dengan Tino ketika dia mengundang saya ke sebuah studio rekaman di bilangan Pejaten dan kemudian di Jeruk Purut, Jakarta Selatan, sehubungan filmnya "Pantja Sila, Cita-cita dan Realita", sebuah rekonstruksi pidato Bung Karno di Sidang BPUPK, saat Bapak Bangsa itu menguraikan gagasan besarnya tentang Panca Sila, yang kemudian diterima sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Saya diminta memperbaiki pengucapan Tyo Pakusadewo Tio sebagai Bung Karno, setiap kali ada kutipan tentang kata, kalimat dan nama-nama orang Perancis.
"Ini beneran? Emang masih punya duit, lu....?" kata saya kepada Tino, ketika salah seorang stafnya memberikan sebuah amplop berisi uang pengganti uang transpor taksi online.
Tino hanya tersenyum. Padahal dia baru bercerita ihwal proses pembuatan film itu, yang tertunda beberapa tahun karena masalah pendanaan. Ketika itu pula saya baru tahu ihwal penyakit yang diderita Tino. "Ada sel-sel nakal di kandung kemih, dan gue sudah kerik. Tapi kalau hasil biopsinya serius, gue harus operasi di Singapura," katanya. "Untung banyak teman gue di Amrik yang mau bantu, jadi soal biaya sementara tidak masalah," katanya lagi.
Begitulah, dari proses ke proses, di Jakarta dan Singapura, dijelaskannya dengan sangat rinci, dan dikirimkannya melalui WA, kepada semua sahabatnya, seolah laporan pertanggungjawaban. Laporan yang kemudian dikumpulkannya dan rencananya ingin diterbitkan sebagai buku.
Saya bertemu lagi dengan Tino saat menghadiri preview film "Pantja Sila...", di Taman Ismail Marzuki. Usai acara itu, Tino meminta bantuan saya untuk membuat press-screening di Epicentrum XXI, menjelang tayang serentak di bioskop pada Agustus 2016. "Nanti lu tolong sekalian bikin semacam release untuk mengantarkan film ini, terutama untuk pers, ya...," kata Tino sambil tersenyum ngehek, sebelum saya pamitan, karena dia sudah tahu, saya pasti tidak mungkin bisa menolaknya.
Pada 19 Juli 2016, saya mengirimkan tulisan pengantar untuk pers ihwal film "PCR" sebagaimana yang diminta Tino. Lalu, ia menjawab email saya itu: "Keren, Om tulisannya. Ane rasanye kenal penulisnya akhir 1980-an. Ha ha ha... bravo... trims berat... Vintage habis."

Noorca Massardi

https://www.facebook.com/noorca/posts/10217712558953893

No comments