TERBARU

Kitab “Masalah Seribu” dan Kitab-Kitab Berbahasa Melayu Lainnya di Jawa Barat Abad 19 M

Ahmad Ginanjar Sya'ban, santri kelahiran Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Banyak mengurai naskah dan kitab lama karya ulama Nusantara.

Berikut ini adalah halaman terakhir dari manuskrip kitab berbahasa Melayu berjudul “Hikayat Masalah Seribu” yang disalin di desa Lengkong, Kuningan, Jawa Barat. Salinan tersebut berasal dari awal abad ke-19 M.
Dalam kolofon, didapati keterangan jika salinan tersebut selesai dilakukan pada tahun 1242 Hijri (1827 Masehi). Disebutkan juga pemiliknya adalah seorang yang disebut dengan “Syaikhunâ al-Mu’allim fî Qaryah Lengkong” (Kiyai Kami Pengajar di Desa Lengkong). Tertulis di sana:
انتهى الكتاب المسمى بالحكاية بعون رب الملك الوهاب القهار. والله أعلم. هذا الكتاب صاحب شيخنا المعلم في قرية ليڠكوڠ. هجرة النبي 1242
(Telah selesai kitab yang dinamaki dengan “Hikayat [Seribu]” atas pertolongan Tuhan al-Malik al-Wahhâb al-Qahhâr. Wallâhu a’lam. Kitab ini milik “guru kami pengajar di desa Lengkong”. [Pada tahun] Hijrah Nabi 1242)
Melihat tahun dan identitas pada kolofon tersebut, kita bisa menduga dengan kuat jika sosok yang dikatakan sebagai “Kiyai Kami Pengajar di Desa Lengkong” tersebut adalah Syaikh Hasan Maulani (w. 1874).
Syaikh Hasan Maulani adalah seorang ulama besar mursyid tarekat Syatariyah yang berkedudukan dan membina sebuah pesantren di Lengkong. Oleh karena itu juga beliau dikenal dengan “Kiyai Lengkong”. Pasca Perang Jawa (1825-1830), pihak kolonial Belanda yang merasa khawatir dengan pengaruh para ulama besar lalu menangkap Kiyai Lengkong ini dan mengasingkannya ke Tondano di Minahasa (Sulawesi Utara) hingga beliau wafat di sana.
Saat ini, naskah salinan “Hikayat Masalah Seribu” versi Lengkong ini tersimpan sebagai koleksi masyarakat atas nama Iim Abdurrahim. Naskah tersebut telah didigitalisasi oleh Project Dreamsea dan diunggah dalam lamannya (https://www.hmmlcloud.org/dreamsea) dengan nomor kode DS 0012 00003.
* * * * *
“Hikayat Masalah Seribu” tercatat sebagai salah satu kitab yang sangat populer dan banyak tersebar dalam sejarah kesusastraan Melayu klasik. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Liaw Yock Fang dalam “Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik” (2011: 410).

Isi dari kitab “Hikayat Seribu Masalah” menceritakan kisah seorang pendeta Yahudi bernama Abdullah b. Salam yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Pendeta Yahudi itu mengajukan sejumlah banyak pertanyaan kepada Nabi Muhammad terkait pelbagai masalah keyakinan, etika dan keagamaan. Nabi Muhammad pun dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh pendeta Yahudi itu dengan baik. Mendengar jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad, sang pendeta Yahudi itu pun merasa menemukan sebuah kebenaran sekaligus meyakini jika Nabi Muhammad adalah utusan Allah terakhir. Oleh karena itu, sang pendeta Yahudi itu pun memutuskan untuk memeluk agama Islam dan bersyahadat di hadapan Nabi Muhammad. Ia juga mengajak ratusan pengikutnya untuk berislam.
Popularitas “Hikayat Masalah Seribu” ini dapat dibuktikan dengan banyaknya manuskrip salinan atas kitab tersebut yang tersebar di pelbagai wilayah Nusantara. Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), misalnya, terdapat delapan buah manuskrip salinan “Hikayat Masalah Seribu”. Kesemuanya terdaftar dalam katalogus van Ronkel.
G.F. Pijper dalam disertasinya di Universitas Leiden (Het Boek der Duizen Vragen, 1924) telah mengkaji seluk beluk hikayat ini dan naskah-naskah salinannya di Nusantara, sebagaimana Ronit Ricci dalam disertasinya di Universitas Michigan (Translating Conversion in South and Southeast Asia Asia: The Islamic Book of One Thousand Questions in Javanese, Tamil and Malay, 2006) yang mengkaji hubungan saling silang kebudayaan antara Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara melalui persebaran naskah-naskah “Hikayat Masalah Seribu” dalam bahasa Melayu, Jawa dan Tamil.
* * * * *
Selain memuat salinan teks “Hikayat Masalah Seribu”, naskah bernomor kode DS 0012 00003 di atas juga memuat dua buah salinan teks berbahasa Melayu lainnya dan satu teks berbahasa Arab. Dua buah teks berbahasa Melayu tersebut yaitu “Sair al-Sâlikîn” karya Syaikh Abdul Shamad Palembang dan teks berjudul “Adab Puasa”. Adapun teks berbahasa Arab adalah “Fadhâil Lailah Sya’bân”.

Pada halaman akhir salinan teks “Sair al-Sâlikîn”, didapati keterangan sebagai berikut:
تم كتاب المسمى سير السالكين. رب اغفر لي ولكل من قرأ هذا الحكاية وعمل في حديثها
(Telah selesai kitab berjudul “Sair al-Sâlikîn”. Ya Allah, ampunilah aku dan semua orang yang membaca hikayat [kitab] ini dan mengamalkan hadis-hadis di dalamnya)
Sementara itu, pada halaman akhir teks “Fadhâil Lailah Sya’bân”, terdapat keterangan titimangsa penyalinan yang lebih lengkap, di mana ia diselesaikan pada malam Sabtu, 21 Zulkaedah tahun Jimakir 1245 Hijri (bertepatan dengan 14 Mei 1830). Tertulis di sana::
وكان الفراغ نسخة هذه النبذة في ليلة السبت هلال أحد وعشرين في شهر ذي القعدة في سنة جيم الأول هجرة النبي 1245
(Telah selesai menyalin karya ini pada malam Sabtu, tanggal dua puluh satu bulan Zulkaedah tahun Jimawal 1245 Hijriah)
Adapun pada teks terakhir, yaitu “Adab Puasa”, terdapat kolofon yang sudah dicorat-coret, dengan keterangan yang tersisa identitas Syaikh Hasan Maulani sebagai pemilik kitab. Teks “Adab Puasa” secara umum ditulis dalam bahasa Melayu-Jawi, namun pada keterangan catatan kepemilikan kitab ditulis bahasa Jawa Pegon. Tertulis di sana:
هذا كتاب كاݢوڠاني كياهي مولاني
(Hadza kitab kagungane Kiyahi Maulani/kitab ini milik Kiyai Maulani)
* * * * *
Terlepas dari masalah catatan kepemilikan kitab yang mengidentifikasi sosok Syaikh Hasan Maulani sang “Kiyai Lengkong” sebagaimana dikemukakan di atas, keberadaan kitab-kitab berbahasa Melayu-Jawi yang disalin dan berkembang di pesantren Lengkong pada permulaan abad 19 ini merupakan hal yang menarik tersendiri untuk didiskusikan.

Michael F. Laffan dalam bukunya “Sejarah Islam di Nusantara” (2016: 173) mengatakan bahwa bahasa Melayu (dan tentu saja kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa tersebut) tetap penting di Jawa Barat pada abad 19. Karya-karya ulama Nusantara yang ditulis dalam bahasa Melayu-Jawi seperti karya Syaikh Abdul Shamad Palembang dan juga Syaikh Dawud Pattani banyak tersebar di Cianjur.
Hal senada juga diungkapkan oleh Martin van Bruinessen dalam “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu” (1990: 258), bahwa kitab-kitab karya Syaikh Abdul Shamad Palembang dalam bidang ilmu tasawuf sangat populer bukan hanya di Sumatra, tetapi juga di Jawa Barat pada kurun masa abad 19.
Jejak persebaran naskah berbahasa Melayu di Jawa Barat juga dapat ditelusuri dalam buku “Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia” yang disusun oleh Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurrahman (1999). Buku tersebut dengan rinci mencatat beberapa naskah berbahasa Melayu-Jawi yang tersebar secara signifikan di wilayah penutur bahasa Sunda di Jawa Barat dan Banten.
Apa yang menjadikan naskah-naskah berbahasa Melayu-Jawi itu tersebar dengan cukup signifikan di wilayah penutur bahasa Sunda di Jawa Barat dan Banten?
Jawabannya bukan semata-mata karena bahasa Melayu adalah linguafranca di kawasan Kepulauan Melayu-Nusantara. Tetapi ada hal lain yang menjadi salah satu penyebab utama hal tersebut, yaitu koneksi dan jaringan intelektual yang menghubungkan ulama Sunda dengan ulama dari kawasan Melayu. Koneksi tersebut diikat dan dipertemukan di pusat-pusat keilmuan Islam yang tersebar di wilayah Nusantara, dan utamanya di Makkah sebagai jantung segala aktivitas intelektual ulama Nusantara.
Laffan (2016: 173-175) mengutip perjalanan Snouck Hurgronje ke beberapa pesantren tua di Priangan pada tahun 1889-1891 di mana ia mendapati sejumlah “ajengan” Sunda yang memiliki pertalian intelektual dan hubungan keilmuan dengan ulama-ulama Jawa dan Melayu. Snouck menceritakan sosok Kiyai Abdul Ghani dari Cikohkol (Ciamis) yang pernah belajar di Aceh, Kedah dan Palembang pada awal abad 19. Beberapa ulama Sunda dari Cianjur yang pernah belajar di Makkah pada paruh kedua abad 19 juga tercatat banyak yang berguru kepada Syaikh Zainuddin Sumbawa yang menulis sejumlah karya dalam bahasa Melayu-Jawi. Begitu juga halnya dengan dua putra Haji Yahya dari Cilegon, yang sepulangnya dari Makkah mengajarkan karya-karya Syaikh Zainudiin Sumbawa itu sebelum peristiwa “Geger Cilegon” pada tahun 1888.
Selain Cikohkol (Ciamis), Cianjur dan Cilegon, Snouk juga menyinggung jaringan ulama Sunda-Melayu-Jawa pada paruh abad sebelumnya melalui sosok Kiyai Mulabaruk dari Garut, yang pesantrennya adalah salah satu pusat studi Islam terpenting di Priangan pada abad ke-19. Kiyai Mulabaruk terhubung dengan sosok Kiyai Hasan Besari di Tegalsari (Ponorogo, Jawa Timur) dan juga Syaikh Abdul Ghani dari Bima (Sumbawa). Dalam catatan Snouck, disebutkan bahwa Kiyai Mulabaruk mampu menempatkan para muridnya menjadi para ulama berpengaruh di Priangan, setelah terlebih dahulu sang Kiyai merekomendasikan murid-muridnya itu untuk melanjutkan masa studi mereka ke Jawa, Madura, lalu ke Makkah. Di antara murid Kiyai Mulabaruk yang tercatat dalam list Snouck (LOr. 7572) adalah (1) Kiyai Muhammad Razi Sukamanah yang pakar ilmu nahwu, (2) Raden Haji Yahya yang menjabat penghulu kepala di Garut, (3) Kiyai Faqih Muhammad Arif Sumedang (w. 1888), (4) Kiyai Muhammad Sahidi Bunikasih Cianjur, (5) Kiyai Bunter dari Tanjungsari Sumedang yang pakar ilmu tata bahasa Arab dan wafat di Makkah, (6) Kiyai Hasan Basri Kiara Kareng (Kiarakoneng) Suci Garut yang pakar ilmu qira’at (w. 1865) dan (7) Kiyai Cipari dari Wanaraja.
Sosok ulama Sunda lainnya yang disebut oleh Snouck adalah Kiyai Shohih Bunikasih (Cianjur), Kiyai Muhammad Garut, Kiyai Muhammad Salih Sukabumi, Patih Menes (Pandeglang), Kiyai Muhammad Thahir Bogor, Kiyai Muhammad Adzro’i Garut (Bojong?), Kiyai Muhammad Ilyas Sukapura (Cibeunteur?), termasuk Kiyai Lengkong (Syaikh Hasan Maulani) yang kita bicarakan di muka ini.
Wallahu A’lam
Sukabumi, 27 Ramadhan 1441
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

Sumber: https://www.facebook.com/ahmad.ginanjarsyaban/posts/10158294931669696

No comments