TERBARU

Pasti

Goenawan Mohamad, penyair dan wartawan, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.

Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian — Karl Popper
Dari abad ke abad, wabah adalah ketidak-pastian. Juga sekarang. Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan. Apa yang kemarin kita ketahui tentang Covid 19 hari ini tak sebulat sebelumnya. Virus yang, menurut seorang pakar “tak terdapat pada manusia enam bulan yang lalu”, kini membingungkan mereka yang bergulat mengalahkannya. Bahkan sekarang kembali diperdengarkan suara bahwa bahaya Covid-19 sesungguhnya dilebih-lebihkan.
Saya termasuk yang berharap begitu, seraya kurang percaya — tapi apa yang sebenarnya bisa saya percaya dengan pasti? Pernah dikatakan sang virus tak akan membunuh anak-anak. Tapi baru-baru ini di kota New York bocah berumur lima tahun mati dengan gejala tertular. Pernah dikatakan, kita harus tinggal di rumah, tapi kemarin ada berita, di rumah pun tak ada jaminan selamat.
“Di sepanjang zaman, banyak hal berubah dalam ilmu”, kata seorang dokter ahli di Boston yang dikutip
“Washington Post” pekan lalu ketika membahas Covid-19. “Theori dibikin dan dibuang. Hipotesa ditarik dicabut.” Lalu ia menambahkan: “Artinya kita sedang belajar”.

Tak ada yang baru dalam kata-kata itu, sementara ada yang dilupakan, bahwa kita tak hidup “di sepanjang zaman”. Kita — apalagi orang awam — dikepung ketidak-tahuan, ditodong ancaman sakit dan kematian, dan semua terjadi hari ini. Kita tak sempat meninjau “sepanjang zaman”. Kita esok harus memutuskan: sampai kapan kota kita ditutup? Sampai berapa lama kehidupan ekonomi dihentikan, dengan korban yang tak jarang tragis, seperti seorang anak perempuan India berumur 12 yang mati ketika harus berjalan kaki kembali ke kampungnya — 150 km dari kota yang dilokdon dan merebut sumber hidupnya?
Para pakar epidemi umumnya menjawab, (dengan segala niat baik, juga dengan masygul): situasi ini masih akan lama…
Jawaban itu memang tak dimaksudkan menghibur. Ia menyiapkan kita agar tak punya ilusi. Tapi lebih jauh mungkin akan dipersoalkan: ketika ilmu pengetahuan belum punya kesimpulan tentang sang virus, waktu yang “lama” itu akan bisa mengubah rasa ketak-pastian jadi gugatan: bagaimana para ilmuwan secara moral mempertanggungjawabkan apa yang mereka katakan dan sarankan, jika yang mereka kemukakan belum sebuah kesimpulan? Bahwa mereka sebenarnya “sedang belajar”?
Tak mudah menjawab ini — tak mudah bagi para ilmuwan. Sama tak mudahnya bagi pengambil keputusan politik yang menentukan sebuah kebijakan dengan dibantu ilmu pengetahuan yang masih bertanya-tanya.
Apalagi dewasa ini mulai ada rasa cemas bahwa perlombaan riset di pelbagai lembaga keilmuan — yang diukur KPI, “key performance indicators” — pelan-pelan merusak semangat keilmuan. Para ilmuwan didorong-dorong untuk mencapai hasil yang mengesankan. Ilmu ingin cepat menjawab dan mulai malas bertanya. Para periset yang berangkat dari rasa ingin tahu dipinggirkan, sementara pimpinan lembaga yang harus mencari dana dan nama membayangi tiap proyek peneletian. Di masa pandemi yang cepat menyebar ini, ada desakan lain, yang bukan main-main: niat menyelamatkan kehidupan.
Di masa lalu — yang berlum benar-benar lalu — ada jalan lain dari situasi bertanya-tanya. Orang bisa menyodorkan sesuatu yang di luar dirinya. Menanggungkan cemas di pundak sendiri memang terlalu berat. Maka di Eropa, selama pandemi besar abad ke-13, beberapa ribu orang Yahudi — ya, mereka orang lain — dibakar hidup-hidup. Atau, orang merujuk nasib dan bintang-bintang. Atau, lebih sering, Tuhan. Ketika mereka sendiri resah atau takut menyalahkan Tuhan sebagai pencipta malapetaka, para agamawan membangun theodice — sebuah pembelaan buat Tuhan: Tuhan yang baik dan adil tentu selalu punya alasan yang mulia. Ia menguji kita — juga menguji anak India yang mati di jalan itu. Sebuah mala dalam bumi ciptaan Tuhan selalu dimaksudkan baik, meskipun yang menikmati kebaikan umumnya mereka yang bukan sekelas si gadis yang kelaparan itu…
Sebenarnya bisa juga manusia menolak menghalalkan mala yang menimpanya — menolak bahwa itu “desain niat baik Tuhan”. Manusia bisa menanggungkan mala tanpa pernah melihat rencana penghiburan Ilahi. Levinas, misalnya, filosof Yahudi-Prancis itu, yang mengalami kekejaman Hitler terhadap orang-orang Yahudi, lebih suka berbicara tentang agama yang tanpa janji, tanpa penghiburan: “iman tanpa theodice”.
Dengan kata lain, ia ingin menunjukkan ia bisa beriman kepada Tuhan yang tidak senantiasa adil. Tanpa Tuhan yang demikian sekalipun, toh manusia tetap bisa jadi saksi dan pelaku kebaikan — tetap bisa mengalami keadilan sebagai “ruh” yang tak pernah jera membayangi dan menyeru, dalam sejarah yang fana.
Tapi ini tak ringan dijinjing. Di zaman modern, penjelasan-penjelasan berubah, bahkan sejak masa Shakespere di abad 16, ketika wabah datang berkali-kali. Salah satu tokoh dalam lakon “All’s Well That Ends Well” berkata: “Kini dikatakan, mukjizat telah berlalu; kini kita punya orang-orang yang berfilsafat, untuk membuat hal-hal yang supranatural dan tanpa sebab menjadi sesuatu yang modern dan biasa saja.”
Ada yang didapat di masa modern itu, tapi juga ada yang hilang. Kita tak menyerah ke sebuah ketakutan yang tak kita pahami, tapi dengan itu “kita meremehkan rasa ngeri, berlindung dalam sesuatu yang seakan-akan pengetahuan”, ensconcing ourselves into seeming knowledge.
Kata “seakan-akan” di sana terasa ngilu, atau lucu, atau jujur.

Sumber: https://www.facebook.com/gmgmofficial/posts/3486780334669407?__tn__=K-R

No comments