TERBARU

Aku Mengritikmu dengan Agenda yang Sederhana


Goenawan Mohamad, penyair dan wartawan, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.

(Untuk Taufiqurrahman dan kawan-kawan lain)

**
Pada tanggal 2 Juni 1897 ada kabar Mark Twain meninggal. Para wartawan datang ke rumahnya untuk mengecek. Pengarang yang kocak itu ternyata masih segar bugar. Komentarnya, kalau diterjemahkan dengan gaya Cak Lontong: “Saya? Mati? Wah, itu dilebih-lebihkan!”.

Demikianlah, ketika dikatakan bahwa filsafat sudah mati, saya ingin meniru Mark Twain: “The report of the death of philosophy was exaggerated”.

**
Maka saya senang membaca tanggapan kritis Taufiqurrahman atas tulisan saya.
Dari semua yang “menyerang” saya dalam polemik tentang sains kini, setahu saya hanya Taufiq — mungkin karena dia terlatih dalam filsafat —yang tanggap terhadap soal yang sejak mula saya sarankan: agar kita menengok bersama lebih dalam bagaimana sebenarnya sains “menafsirkan dunia”, bukan hanya bercerita bagaimana sains “mengubah dunia”.
Menurut hemat saya, sudah saatnya kita menelaah sisi epistemologis dari sains — dan ruangan di FB kita ini tak hanya diisi cerita tentang seabrek prestasi sains yang hebat. Katakanlah mengulang-ulang kehebatan prestasi sains itu penting sebagai semacam pembelaan, bila pandangan kritis kepada sains dianggap sebagai “dakwaan” (kata yang dipakai Hamid Basyaib). Tapi sesungguhnya tak perlu pembelaan. Jangan khawatir, Bung Hamid. Saya (dan saya kira juga Fritz Sitorus, Budi Hardiman, dan Bambang Sugiharto) tak menuding sains sebagai penyelewengan. Saya, misalnya, sudah berkali-kali, sejak tulisan pertama, mengatakan, bahwa saya — yang merasa “rada Popperan” — mengagumi sains.
Yang ingin saya soroti adalah pikiran-pikiran “positivisme baru” yang menjunjung kembali beberapa thesis Positivisme Prancis abad ke-19 yang sebenarnya sudah lapuk. Belum jelas benar kenapa semangat ala Comte ini berkibar lagi sekarang— bahkan dengan elan dan dogmatisme ala mualaf. Orang menyebut itu gejala “saintisme”. Tapi saya tak mau berdebat panjang lagi tentang istilah itu; maka lebih baik saya melihat apa yang diyakini Positivisme — baik Positivisme KW-1 abad ke-19 maupun “Positivisme” KW-2 abad ke-21:
A. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa dengan kemajuan pengetahuan manusia, agama akan lenyap.
B. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa filsafat akan mati.
C. Di dalamnya ada kepercayaan, bahwa semua pengetahuan manusia akhirnya akan jadi produk sains, atau menggunakan dasar pemikiran dan metode sains modern. Kalau tidak, akan ketinggalan zaman, atau bisa dianggap takhayul.
Apa dasar kepercayaan-kepercayaan itu? Sejauh manakah kepiawaian sains?

***
Taufiq menjawab, dengan kalem dan jernih: sains memang tidak berpretensi menjawab semua persoalan. Sains—dalam arti spesifik: ilmu alam—hanya berupaya menjawab soal-soal dunia alamiah. Maka, dalam hal ini, kata Taufiq pula, (dan ini melegakan hati saya), “ kritik Husserl dan Heidegger terhadap sains tentu saja benar.”
“Sebab sains, tak seperti fenomenologi, memang tidak hendak menangkap dimensi subjektif manusia dalam pengalamannya berhadapan dengan dunia. Sains justru berupaya mengetahui dunia sebagaimana ia ada dalam dirinya, bukan dunia sebagaimana yang dialami manusia.”
Kata Taufiq selanjutnya: “Dunia yang ingin diketahui sains adalah dunia yang keberadaannya tidak bergantung pada pengalaman dan pikiran manusia (“mind-independent world”), dunia yang objektif, ada di sana. Dunia semacam itu bisa diakses oleh manusia melalui matematika, bukan melalui fenomenologi transendental ataupun melalui kata-kata penuh metafora.”

**
Taufiq merujuk ke pemikiran Quentine Meillassoux, filsuf yang dalam usia muda, sekitar 30 tahun, mempesona dunia filsafat Barat. Dengan bukunya yang tak tebal, (versi Inggrisnya “After Finitude”), yang ditulis dengan bahasa yang terang, Meillassoux mencoba dengan serius menjungkirkan bangunan epistemik filsafat Barat selama ini: “korelasionisme”.
“Korelasionisme”, kata Meillassoux sebagaimana yang saya baca dari ceramahnya di Middlesex Unversity, London, tahun 2008, “mengambil bentuk bermacam-macam — filsafat transendental, fenomenologi, dan pemikiran “post-modernis”. Mereka ini bisa saling bertentangan, tapi semuanya bertolak dari thesis bahwa tak ada obyek, atau kejadian, atau hukum, atau mahluk, yang selamanya, sejak mula, tidak berkorelasi dengan satu pandangan subyek, atau tanpa akses ke satu subyek, yakni kesadaran manusia. “Mind-independent world”, dalam kata-kata Taufiq.
Adapun premis Meillassoux ini berkaitan dengan temuan para ilmuwan — di bidang, astrofisika, geologi, paleontologi — tentang realitas yang ada sebelum manusia muncul di alam semesta, tentang fossil dari makhluk yang punah jauh sebelum ada pengetahuan manusia. Tersirat, ada beda waktu antara terjadinya dunia dan lahirnya pikiran, antara “pemikiran” dan “adanya subyek”, .
Pemikiran “korelasionis” menampik premis Meillassoux ini. Artinya, menolak filsafat dengan fundamen Realisme. Realisme bertolak dari asumsi bahwa realitas adalah arena tersendiri di luar pembentukan Ide. Tapi “korelasionisme” tak melihat kemungkinan kita untuk menjangkau realitas dalam diri realitas itu sendiri, yang oleh Kant disebut sebagai “das Ding an sich”. Bagi “korelasionisme”, tak ada yang secara mutlak independen dari aku, atau dari zamanku, atau duniaku.
Pendek kata bagi pandangan “korelasionisme”, kata Meillassoux, pikiran hanya harus berurusan dengan dunia yang berkorelasi dengan dirinya. Dan itulah yang hendak ia koreksi.“Tujuan saya sederhana,” katanya: “mencoba membantah tiap pemikiran “korelasionistis”.
Itu berarti ia akan mencoba menunjukkan bahwa pemikiran dapat mengakses realitas sebagaimana adanya — realitas dalam kondisi murni mandiri dari semua pengaruh atau tindakan subyek. Dengan kata lain, dalam filsafat Meillassoux, ada keyakinan, “sebuah realitas yang terpisah dari subyek dapat dipikirkan subyek itu”.
Baiklah saya kutipkan apa yang dikatakan Taufiqurrahman:
“Sifat-sifat objek, sejauh dapat diformulasikan ke dalam bahasa matematis, adalah sifat yang objek yang independen dari persepsi atau sensasi kita, sifat yang tidak hanya ada karena kita ada, tetapi juga bisa ada meskipun kita tidak ada. Dengan kata lain, ia adalah sifat objek di dalam dirinya, bukan objek sejauh terpersepsi oleh kita”.

***
Ini sebuah pendekatan yang segar untuk membicarakan sains. Ini mudah-mudahan bisa membuat percakapan kita tak jadi pengusutan (“inkuisisi”) siapa yang anti-sains dan siapa yang setia sampai mati.
Ada dua catatan untuk Taufiq.
Pertama, ia tidak menganggap sains sebagai satu-satunya jalan terang — atau jalan yang paling diridhoi Logos —untuk memahami dunia dan kehidupan. Taufiq bukan neo-positivis. Seperti saya. Alhamdulillah.
Kedua, Taufiq dengan baik menjelaskan apa spesialitas sains. Ia mulai dengan menyebut adanya dua “kualitas” dalam benda-benda dalam alam, seperti dalam theori John Locke: kualitas primer (“primary qualities”), yang dibedakan dari kualitas sekunder (“secondary qualities”) seperti warna, panas, dan bau.
“Panas, misalnya, adalah kualitas objek yang baru muncul begitu ada relasi antara subjek dan objek, begitu subjek menyentuh objek pembawa sifat panas”. Dengan kata lain, kualitas itu muncul karena adanya relasi subjek-objek. Maka tingkat kepanasan objek yang sama akan terasa berbeda bagi subjek yang berbeda. Tapi sebagai temperatur, karena bisa diformulasikan secara matematis, bukanlah kualitas yang bergantung pada sensasi subjek. Siapa pun subjek yang mengukurnya, temperatur dari objek yang sama dalam kondisi yang sama akan tetap.”
Dengan demikian, kata Taufiq, sains, “melalui perangkat matematisnya, mampu menggambarkan dunia sebagaimana adanya, dunia yang independen dari segala bentuk subjektivitas manusia.”

**
Karena saya belum paham benar pemikiran Meillassoux, saya masih dirundung pertanyaan: jika “primary qualities” adalah kualitas pada sesuatu yang tak bergantung pada hubungannya dengan kita, dari mana datangnya asumsi bahwa ia dapat di-matematika-an? Dengan kata lain, jika “kualitas primer” itu dapat dimatematiskan, tidakkah itu berarti ia tidak otonom dari manusia?
Mungkin Meillassoux akan menjawab, mereka akan tetap punya kualitas itu bahkan ketika tak ada lagi manusia. Tapi itu berarti, seperti dikemukakan dalam kritrik Graham Harman, pelopor “object-oriented-onthology”, (jadi sebenarnya sama-sama dalam “mazhab” Realisme Spekulatif), Meillassoux mencampur-adukkan pengertain keterlepasan dari masa hidup manusia, dengan pengertian otonomi dari jangkauan pikiran manusia.
Atau kritik Ray Brassier, yang juga, seperti Harman, seorang pemikir “mazhab” Realisme Spekulatif. Bagi Brassier, Meillassoux mempertaruhkan otonomi das-Ding-an-sich (“the in-itself”) ke dalam rangka kronologi atau acuan waktu; ia meletakkan “arche-fossil” dalam parameter temporal: sebelum dan sesudah zaman manusia. Padahal parameter itu, waktu yang terukur itu, adalah waktu manusia, waktu subyek yang sadar. Di sini, ia tergelincir ke dalam premis “korelasionis”.
Lalu? Barangkali kita perlu kembali ke Realisme bodo-bodoan: sains tak mungkin menjangkau sesuatu yang di luar pemikiran manusia. Meskipun ia dapat, dengan metodenya, mampu independen dari subjektivitas manusia, dalam batas tertentu, dalam kondisi tertentu.
Lebih sederhana lagi, seperti dikatakan Taufiq, “sains—dalam arti spesifik: ilmu alam—hanya berupaya menjawab soal-soal dunia alamiah.” Dengan serius dan piawai.
Tak perlu kita buru-buru masuk ke dalam “fideisme”. Iman kepada yang Maha Dahsyat bisa terjadi dalam pelbagai cara, dengan pelbagai alasan, melalui pelbagai jalan — tak selamanya karena kebuntuan nalar, atau kebodohan, atau karena kesadaran akan kedaifan. Juga tak selamanya diartikulasikan dalam agama (yang tak jarang malah menciderainya). Bahkan kadang-kadang tak diucapkan sama sekali.
Kita tahu kaum neo-Positivis memusuhi dogmatisme agama, dogmatisme kaum “Jorgeis”. Maka diharapkan mereka juga meninggalkan sikap dogmatis mereka atas nama sains. Kritik yang umumnya ditembakkan keras ke arah “saintisme” (atau yang sejenis ini) ialah sikapnya yang menjunjung sains sebagai hakim, atau sebagai pemegang monopoli pengetahuan.
Mumpung filsafat belum mati, meninggalkan itu sebenarnya agenda yang sederhana.***

Jakarta, 19 Juni 2020.

Seperti pernah saya sebut dalam tulisan yang lalu, theori Locke ditampik Whitehead sebagai awal dari “bifurcation of nature”.
Latour: “if nature really is bifurcated, no living organism would be possible, since being an organism means being the sort of thing whose primary and secondary qualities—if they did exist—are endlessly blurred. Since we are organisms surrounded by many other organisms, nature has not bifurcated” (p. xiii).

Sumber: https://www.facebook.com/gmgmofficial/posts/3576521859028587?__tn__=K-R

No comments