Kasus Galileo Galilei
Fransisca Lo Darelo, peminat filsafat dan pengasuh STFK Lodalero, Maumere, NTT.
Kasus Galileo Gelilei dianggap sebagai contoh kelam dalam sejarah, di mana Gereja dianggap sebagai musuh sains. Kasus ini sering dijadikan bukti bahwa agama (Katolik) menentang dengan sains.
Sebelum ke kasus Galileo Galilei, kiranya perlu dilihat lagi relasi agama dan sains. Agama adalah aspek yang berbeda dengan sains, dan dua-duanya tidak bertentangan, karena berbeda dimensinya. Banyak orang beriman yang juga adalah ilmuwan empiris, dan banyak orang beriman yang bukan ilmuwan empiris juga sangat berhasrat pada pengetahuan saintifik, tanpa merasa ada gangguan apapun pada imannya. Lalu di mana letak pertentangannya?
Jika ada pertentangan, maka pertentangannya bukan antara agama dan sains, namun antara posisi teoritis yang menganggap bahwa sains adalah segala-galanya, atau lawannya yang menganggap bahwa agama adalah segala-galanya. Andaikan Einstein katakan bahwa agama tidak perlu ada, karena sains adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka ia tentu salah. Sebaliknya, jika agama katakan bahwa sains tidak perlu, karena doa adalah jawaban dari segenap problem manusia, maka agama tentu salah. Dalam pandemi Covid 19, misalnya, jika ada ilmuwan yang menganggap bahwa Tuhan tidak ada karena tidak bisa menghentikan pandemi, maka ilmuwan itu tentu keliru, karena ia mengklaim sesuatu di luar objek penelitian sains. Sebaliknya, jika ada agama yang mengklaim bahwa sains tidak perlu karena semuanya akan diatasi dengan doa, maka agama tersebut juga tidak lebih sebagai kesadaran palsu.
Atau, dalam aspek sedikit berbeda, pertentangannya bukan antara agama dan sains, namun antara pemeluk agama yang dengan sadar mendukung sains, atau pemeluk agama yang menentang sains. Di sisi lain, bisa saja ada pertentangan antara ilmuwan yang bertekun dengan metode penelitian empiris sambil tetap beriman, dengan ilmuwan yang bertekun dengan penelitian empiris, sambil mengatakan bahwa segala hal yang bertentangan dengan metode empiris termasuk filsafat atau teologi hanya sekedar ideologi. Kalau umat beragama, misalnya, katakan bahwa dalam pandemic Covid-19 orang tidak perlu taat terhadap dokter atau penelitian ilmiah karena Allah akan menolong, maka pernyataan ini bersifat ideologis dan berbahaya. Namun, sebaliknya kalau para dokter katakan bahwa Covid-19 adalah bukti bahwa Allah tidak ada, dan semua soal nilai, makna religius tidak relevan, maka mereka melewati batas metode ilmunya, dan tentu ini juga pernyataan ideologis.
Jadi, pertentangannya bukan antara sains dan agama, namun antara klaim pemeluk agama yang rasional, dengan klaim pemeluk agama yang buta terhadap rasionalitas dan penemuan sains. Atau di kutub lain, pertentangannya ialah antara klaim ilmuwan yang beriman, melawan klaim ilmuwan yang tidak pentingkan soal iman.
Dalam tradisi Katolik, salah satu teori utama hukum kodrat ialah bahwa manusia dari kodratnya berakal budi, dan karenanya mesti dituntun oleh akal budinya. Dengan ini, selain pelbagai metode rasional yang berhubungan dengan filsafat dan teologi, metode ilmu empiris juga sebenarnya mulai dikembangkan di Eropa dalam universitas sejak St. Albert Magnus. Banyak ilmuwan beriman dalam Gereja sejak abad pertengahan, yang tidak temukan pertentangan antara iman dan penyelidikan empiris, sebelum narasi empirisme sejak Hume, atau narasi terhadap satu kasus yang diulang-ulang; kasus Galileo-Galilei.
Empirisme Hume sudah sering diubahas, namun narasi tentang kasus Galileo Galilei menimbulkan keengganan umum untuk membicarakannya, bahkan di antara anggota Gereja sendiri. Kasus ini dianggap menjadi bukti bahwa Gereja musuh sains. Bagaimana klaim Gereja yang katanya menghargai sains, kemudian menghukum Galileo Galilei yang justru benar dengan teori “heliosentrisme”nya?
Secara amat sederhana, Gereja tentu keliru berkaitan dengan teori heliosentrisme. Namun, klaim bahwa Gereja anti sains juga propaganda yang keliru. Bahwa Gereja salah menghukum Galileo, kiranya tidak diragukan. Namun, mengatakan bahwa Galileo sepenuhnya benar, dan Gereja anti sains, kiranya klaim hitam putih gampangan di tengah kompleksitas sejarah. Mengapa?
Pada prinsipnya, hasil penelitian ilmiah Galileo bukan hal baru di masa itu, karena ia hanya menegaskan teori Kopernikus. Nikolaus Kopernikus (1473-1543) sebelumnya menerbitkan hasil penelitiannya dalam “De revolutionibus orbium coelestium” (Tentang Revolusi Peredaran Benda Langit) yang berisi teori “heliosentrisme”: bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Kopernikus, seorang imam Katolik, mengalamatkan tulisannya sebagai hadiah kepada Paus Paulus III (1468-1549), yang juga menerimanya dengan hangat. Namun, sebelum menerbitkannya, Kopernikus sendiri menyembunyikan tulisannya selama beberapa saat, bukan karena takut terhadap Gereja, melainkan takut pada tertawaan massa di zamannya yang menganggap teori geosentrisme yang dipengaruhi ahli matematika Yunani Ptolomeus dan sains Aristoteles lebih benar. Kopernikus bahkan diteguhkan oleh Kardinal Nicolaus Schoenberg dari Kapua, yang pada tahun 1536 mendorong Kopernikus untuk “mengkomunikasikan penemuanmu pada dunia terpelajar [masyarakat ilmiah]”.
Sesudah itu, Yohanes Kepler membuat teori yang berbeda dengan Kopernikus, di mana Kepler mendukung kembali teori geosentrisme, yang dipengaruhi matematika Ptolomeus dan sains Aristoteles. Di sini, baik penyelidikan Kepler dan Kopernikus dibiarkan saja dalam debat sains, dan semuanya ditulis dalam bahasa Latin, bahasa debat para ilmuwan.
Para bapak Gereja sendiri sebenarnya hanya mendukung ilmuwan bekerja, dan mereka sendiri menerima saja prasangka otoritas sains di masanya yang didominasi sains Aristoteles, dan mereka sepertinya tidak begitu tertarik dengan astronomi murni. Pengaruh St. Agustinus tampaknya masih kuat saat itu: “Orang tidak membaca bahwa dalam Kitab Suci terkandung perkataan Tuhan: ’Aku akan mengirimkan engkau Penolong yang mengajarkan gerakan matahari dan bulan”. Atau St. Ambrosius, misalnya, menulis: “Mendiskusikan kodrat dan posisi bumi tidak menolong kita akan harapan pada hidup abadi”. Dengan ini tampaknya Gereja mempercayakan soal sains pada otoritasnya, sambil mendukung para imam atau para ilmuwan bekerja, namun secara resmi perhatian Gereja adalah soal iman dan moral. Sebagaimana ungkapan Kardinal Baronio: ”Maksud Roh Kudus ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan menunjukkan bagaimana langit [planet, bintang-bintang dan galaksi] bekerja”.
Dalam konteks sejarah seperti ini, Gereja sendiri mendukung penyelidikan Galileo, di mana sahabatnya Paus Urbanus VIII (1631-1685), manakala masih sebagai Kardinal Maffeo Barberini, secara antusias mendukung Galileo dengan teleskopnya. Ia juga bertemu secara pribadi dengan Paus Paulus V yang menghormatinya dan mendukung penelitiannya. Pada tahun 1611, para Jesuit Roma membuat upacara khusus sehari untuk menghormati Galileo. Manakala seorang rahib Dominikan pada tahun 1614 mengkritik Galileo dari mimbar kotbah, pimpinan Ordo Dominikan menegur keras secara resmi dan memaksanya meminta maaf terhadap Galileo di hadapan hampir setengah anggota Ordo. Padahal, ada juga hal kemudian terbukti bahwa Galileo salah, seperti soal jarak komet dalam debatnya selama kurang lebih 5 tahun dengan imam dan astronom Jesuit Orazio Grassi (1583-1654).
Selanjutnya, mengapa Kopernikus diterima dengan hangat, dan Galileo menimbulkan persoalan, padahal teorinya hampir sama? Mengapa pada mulanya Galileo jadi anak emas Gereja, dan setelahnya timbul persoalan antara Gereja dan Galileo?
Pertama, Galileo menerbitkan bukunya dalam bahasa Italia, bahasa masyarakat kebanyakan pada masanya. Hal ini disengaja Galileo, yang tentu mendatangkan kegemparan, karena dengan demikian Galileo seakan ingin melawan masyarakat ilmiah pada masanya. Apalagi ia mengadakan kampanye dengan serentetan pamflet yang tersebar di Eropa. Keresahan pun timbul. Karena Gereja juga memegang kekuasaan sipil, maka hal tersebut seakan genderang perlawanan terhadap Gereja, padahal, pada masanya Gereja membutuhkan kestabilan, karena mengalami masa-masa sulit (oleh sengatan Reformasi Luther dan perang salib).
Selanjutnya, yang melaporkan Galileo di masanya bukan terutama Gereja, melainkan kelompok ilmuwan yang merasa terganggu dengan sikap sekaligus klaim-klaim Galileo. Siapa yang mesti bertindak sebagai penyelidik dan hakim? Pada masa itu, penyelidik sipil dan religius adalah lembaga ”inkuisisi”. Inkuisisi di satu sisi terpisah dari Gereja, karena mereka bertindak independen dan menyelidiki juga soal sipil dan sains, sekaligus menjadi bagian dari Gereja, karena menyelidiki juga soal iman.
Kedua, saat Galileo bertemu dengan Paus Urbanus VIII pada tahun 1623, Paus yang adalah sahabat lamanya menerimanya dan mengizinkannya menulis terus menulis tentang teori heliosentrisme, namun bukan untuk membelanya mati-matian atau mempertahankannya sebagai kebenaran (karena seperti kita lihat, teori ini tidak bisa dibuktikan Galileo atau siapapun saat itu dengan alat yang masih terbatas), namun sebagai sebentuk sumbangan bagi masyarakat ilmiah, dengan argumentasi positif atau negatif. Dua hal ini sebenarnya berbeda, karena sebagaimana Kopernikus, mereka hanya memberikan argumentasi dan pembuktian ilmiah, dan teori itu tetap jadi bahan pertimbangan dan studi berkelanjutan masyarakat ilmiah. Dengan demikian, Paus sebenarnya ingin melindunginya secara halus, sekaligus membiarkan dia menyelesaikan penelitiannya.
Namun, balasan Galileo terhadap sahabat lama dan pendukungnya di masa lalu ini terasa unik. Dalam bukunya berbahasa Italia: “Dialogo sopra i due massimi sistemi del mondo”, Galileo justru mengolok Paus melalui tokoh yang dipanggil “Simplicio”, yang berarti agak tolol atau orang yang susah bernalar. Dalam situasi yang kacau, apalagi dalam bahasa Italia, maka tidak ada yang tampak lucu dengan sikap (sebagian menafsirkan keangkuhan) seperti ini.
Namun, ketiga, dan ini kiranya jadi soal utama: bahwa Galileo menganggap dirinya adalah seorang religius, di mana penemuan teleskopnya mesti mengubah penafsiran Kitab Suci. Tentu kita mudah temukan kutipan-kutipan religius yang baik dari Galileo, namun saat memasuki tafsiran Kitab Suci, maka timbul persoalan. Ini soal klasik, bukan soal pertentangan agamanya dan metode ilmu empirisnya, namun klaim otoritasnya yang menganggap bahwa sebagai ahli astronomi, ia juga punya otoritas terhadap soal iman. Dengan pamflet-pamfletnya, ia menantang diadakan debat teologis. Jadi, daripada membatasi diri pada sains seperti dilakukan Kopernikus, Galileo sekarang masuk pada ranah teologi, dan memaksakan penafsiran Kitab Suci berdasarkan teorinya.
Jika Galileo berhenti pada teorinya sebagai sains murni sebagaimana dilakukan Kopernikus, maka mungkin tidak ada persoalan. Namun, dengan teori yang ada, Galileo berusaha menarik perhatian publik dan menganggap bahwa Kitab Suci dianggap juga mesti direvisi, karena cerita tentang penciptaan dianggapnya bertentangan dengan penemuannya. Gereja yang pada masa itu hidup dalam masa yang sulit dan belum berkembang secara hermeunetis pun panik dengan sikap Galileo.
Dengan pelbagai situasi ini, buku-buku Galileo dilarang, dan Galileo pun ditahan. Namun, apakah Galileo disiksa secara kejam, sebagaimana narasi umum yang terus menerus diulang? Dengan segenap kegemparan yang dibuatnya, Galileo justru hanya jadi tahanan rumah di Villa Medici di Roma, semacam rumah istana dengan taman yang luas, yang sama sekali jauh dari narasi penyiksaan yang kejam dan penjara. Ia didampingi pelayan, dikunjungi sahabat-sahabat dan anaknya yang adalah biarawati, dan ia juga dibiarkan menyelesaikan penelitiannya. Tentu saja tindakan pelarangan dan pengucilan itu salah dan menyengsarakan Galileo, dan banyak tulisannya menunjukkan penderitaannya ini, karena setiap penulis dan ilmuwan ingin bahwa karyanya dibaca dan didiskusikan. Namun, tetap penahanan tersebut jauh dari narasi kekejaman dan penyiksaan yang selalu dipropagandakan.
Jadi, yang tampak di sini, sebenarnya bukan bahwa Gereja anti ilmu pengetahuan, namun pertama, justru karena Gereja sangat menghargai sains dan ingin mempertahankan sains otoritatif pada masanya, yaitu sains Aristoteles dan Ptolomeus, maka Gereja merasa perlu menolak teori baru yang dirasa meragukan pada saat itu. Pada dasarnya, sebagaimana ungkapan Kardinal Baronio: ”Maksud Roh Kudus ialah terutama menunjukkan bagaimana ke surga, bukan menunjukkan bagaimana langit [bintang-bintang dan galaksi] bekerja”. Namun, karena ingin mempertahankan sains yang otoritatif, maka Gereja lebih menerima sains Aristoteles yang diterima lebih luas saat itu. Dengan ini, intensi dasarnya bukan untuk menentang sains, namun justru menyelamatkan sains, walaupun isi dari teori itu kemudian dianggap keliru.
Kasus Galileo bisa dibuat ilustrasi sekenanya. Kita andaikan saja ada sebagian besar ilmuwan dan dokter mengklaim bahwa ada obat tertentu bisa menyembuhkan Covid-19. Gereja akan ikuti saja otoritas ilmiah yang dominan tersebut. Lalu datanglah seorang yang mengatakan bahwa semua dokter itu salah. Lalu, bagaimana teori orang itu dapat diterima? Kalau dia bisa buktikan. Namun kita bayangkan bahwa ia tidak terlalu meyakinkan dalam pembuktian, dan Gereja tetap mendukung masyarakat ilmiah yang dominan. Namun, sesudahnya, setelah semuanya lama berlalu, terbukti bahwa orang tersebut yang benar dan masyarakat ilmiah pada masanya salah. Tentu posisi Gereja yang mendukung pendapat umum ilmuwan dan dokter saat ini, pasti kemudian dianggap keliru. Namun, tetap tidak bisa dikatakan Gereja anti sains, atau agama bertentangan dengan sains, karena Gereja tahu diri bukan ahli obat-obatan, namun ia mengikuti otoritas masyarakat ilmiah yang dalam banyak kasus sebelumnya telah terbukti benar.
Dalam kasus Galileo, inkuisisi bertugas meminta pertanggungjawaban dan bukti, namun dalam pertanggungjawaban teorinya, banyak juga detailnya yang meragukan. Sebagai contoh, tampaknya ada bagian di mana ia katakan bahwa bukti bumi bergerak mengelilingi matahari adalah kenyataan bahwa air laut berombak dan angin bertiup. Detail pertanggungjawaban yang meragukan juga menimbulkan banyak tanda tanya pada masa itu. Kita hidup pada abad ini, manakala masyarakat ilmiah sudah mempunyai alat yang canggih untuk membuktikan kebenaran teori Galileo, namun pad masa itu hal ikhwal belumlah jelas. Apalagi ia memasuki soal iman, yang kiranya menimbulkan antipati para pengujinya. Pelbagai keangkuhan bertemu, dan soal pun jadi kompleks.
Kardinal Robert Belarminus, seorang teolog ternama saat itu, yang terkenal sangat rasional, terbuka dan rendah hati menganjurkan kepada Galileo untuk mempresentasikan teorinya dalam cara yang menunjukkan bahwa kita telah “salah menginterpretasikan” Kitab Suci, bukan dalam cara bahwa Kitab Suci telah salah. Namun, Galileo tidek bergeming dengan gayanya sendiri.
Selanjutnya, soal yang juga penting ialah: apakah Galileo bisa membuktikan teori heliosentrisme pada masanya? Narasi yang dikonstruksikan dunia modern ialah bahwa seakan-akan pada saat itu Gereja tahu mereka salah, namun toh Gereja tetap menghukum Galileo sebagai upaya melawan sains, karena sains bertentangan dengan narasi Kitab Suci.
Pada kenyataannya, Galileo tidak pernah membuktikan kebenaran teori ini pada masanya. Ia tidak bisa menjawab pelbagai pertanyaan seputar teori ini. Di tahun 1632 Galileo sendiri mengaku tidak dapat membuktikannya, walau ia yakin teori itu benar. Juga sampai pada tahun 1633 di hadapan para hakim, ia tetap tidak mampu membuktikannya. Tidak ada yang mampu membuktikannya pada abad ke-17, karena pembuktian eksperimental pertama tentang “paralaks bintang” justru terjadi pada abad ke-19.
Teori Aristoteles tentang “paralaks bintang” (stellar parallax), pada dasarnya rasional dan mudah diterima oleh masyarakat ilmiah. Teori paralaks kira-kira berarti bahwa kalau bumi mengelilingi matahari, maka kita bisa melihat perubahan gerak bintang, di mana yang dekat akan bergerak lebih cepat, sementara ada yang jauh yang lebih lambat. Namun, pada masa itu, orang tidak dapat melihat paralaks bintang dari bumi (karena pada masanya orang belum paham bahwa jarak bintang sedemikian jauh dan susah diamati dengan peralatan di masa itu), sehingga teori heliosentrisme dianggap meragukan (pelbagai detail yang lebih tepat, bisa lihat secara khusus “stellar parallax”). Sebaliknya, kesimpulan bahwa kita tidak bisa melihat paralaks bintang ini terasa sangat meyakinkan di masa itu, sementara Galileo juga tidak punya dasar kepastian tentang teorinya sendiri, karena alat teleskop untuk membuktikannya belum memadai. Tidak seorangpun bisa membuktikan teori heliosentrisme saat itu, dan teori ini ditolak juga oleh astronom ternama, termasuk Tycho Brahe. Pembuktian teori paralaks ini baru terjadi pada abad ke-19 berdasarkan observasi Friedrich Wilhelm Bessel (1784-1846), dengan alat yang sudah canggih dan berkembang.
Dengan ini, bahwa Galileo benar dalam kesimpulan akhir tentu jelas dengan sendirinya, namun bahwa Gereja anti sains adalah propaganda belaka, karena Galileo tidak pernah mampu membuktikannya, dan Gereja justru punya niat baik menyelamatkan sains yang dianggap paling otoritatif pada masanya. Selain itu, pengucilan ini tidak berhubungan dengan doktrin infalibilitas, karena tidak terjadi atas nama Gereja Universal; artinya secara resmi “Ex Cathedra”, namun tanggapan Gereja belaka atas sikap masyarakat ilmiah dan lembaga inkuisisi, yang kemudian direalisasikan Gereja sebagai kekuasaan sipil saat itu, dalam situasi yang kacau. Yang terjadi sebenarnya niat baik menyelamatkan sains, walau kesimpulan terbukti salah. Justru sebagaimana diungkapkan filsuf Alfred North Whitehead: “Yang terburuk yang terjadi pada ilmuwan ialah bahwa Galileo mengalami hukuman yang terhormat dan peringatan yang halus” (the worst that happened to the men of science was that Galileo suffered an honorable detention and a mild reproof).
Dengan ini, manakala Paus Yohanes Paulus II meminta maaf terhadap kasus Galileo Galilei, maka hal tersebut bukan indikasi bahwa Gereja telah melawan sains, namun sebagai pengakuan yang rendah hati dari Paus, bahwa dalam konteks sejarah yang rumit, Gereja telah menyengsarakan seorang ilmuwan yang mendapat tempat penting dalam sejarah. Meminta maaf dalam kasus Galileo, sangat berbeda konteksnya dengan narasi Gereja telah bersalah terhadap sains dan mesti dianggap sebagai musuh sains.
Justru kemudian diyakini bahwa sikap Gereja menolak pandangan Galileo juga “ada” benarnya, karena tidak semua teorinya dalam soal ini benar, di mana Galileo percaya bahwa matahari adalah pusat semesta, padahal matahari hanya salah satu bintang di tengah galaksi. Atau matahari tetap pada tempatnya, padahal matahari juga bergerak mengelilingi galaksi. Jadi, orang mesti menerima teori “heliosentrisme” yang sudah digagaskan sejak Kopernikus, namun bukan dalam cara yang dipaparkan Galileo, namun dalam cara yang dibuktikan sains modern.
Dengan ini, tentu hukuman tahanan rumah bagi seorang ilmuwan kesalahan, dan dengannya Gereja meminta maaf. Namun, mengatakan bahwa Galileo sepenuhnya benar, dan Gereja anti sains, kiranya narasi sensasional yang sengaja dibelokkan, yang jauh dari konteks sejarah.
Akhirnya, cerita ini selalu diulang-ulang. Ada cerita lain seperti kasus filsuf perempuan Hypatia yang agak meragukan, dan agak jarang disebut (walau tetap butuh klarifikasi). Namun, narasi favorit tetaplah kisah Galileo. Jika satu contoh kasus diulang-ulang untuk menegaskan narasi umum yang sama, maka itu tanda bahwa kasusnya sangat jarang. Saat orang mengulang-ulang kesalahan saya yang sama, itu tandanya bahwa ia tidak dapat menemukan contoh kesalahan saya yang lain. Karena tidak ada lagi contoh lain, maka diciptakanlah karya fiktif yang pada awalnya diklaim sebagai karya historis: “Da Vinci Code”. Boleh jadi suatu saat ada yang akan percaya karya fiksi ini sebagai karya historis, jika propaganda media cukup berhasil.
Peace
Sumber: https://www.facebook.com/permalink.phpstory_fbid=298416658216930&id=122675402457724
No comments