Kisah Sebuah RUU
Umat budhis sedang melaksanakan ibadah/ILUSTRASI. [detikcom/pertiwi] |
Adapun salah satu tujuan pembentukan undang-undang itu: Memperkuat landasan hukum pembentukan dan pengaturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang selama ini hanya diatur Peraturan Presiden. Sementara, BPIP saat ini dipimpin, salah satunya, oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai ketua dewan pembina.
Sebagaimana terekam dalam dokumen rapat yang disajikan dpr.go.id, rencana pembahasan RUU HIP dimulai dengan rapat dengar pendapat umum pada 11 Februari 2020. Selain 37 - dari 80 yang 15 di antaranya ijin - anggota dewan, rapat itu juga dihadiri dua pakar ketatanegaraan: Prof Jimly Asshiddiqie dan Prof FX Adjie Samekto.
Dalam risalah rapat itu disebutkan, Prof. Jimly menilai RUU Pembinaan HIP diperlukan dalam kaitannya dengan kewenangan BPIP. Jimli juga mengusulkan agar nama BPIP diubah menjadi Dewan Nasional Pembinaan Ideologi Pancasila (DN-PIP). Selain itu, ia juga mengusulkan UU Pembinaan HIP nantinya menjadi semacam 'omnibus law' yang menjadi parameter untuk mengevaluasi dan mengaudit undang-undang lainnya agar sesuai dengan haluan Pancasila. Ia juga mengusulkan undang-undang ini tak terlalu konkrit dan mendetail.
Adapun Prof FX Adjie Samekto, dengan alasan pentingnya menanamkan ideologi Pancasila, secara umum mendukung undang-undang yang masih berupa rancangan ini. Walau, perlu dicatat, kala itu naskah draf RUU HIP belum dilampirkan dalam rekaman rapat tersebut.
Rapat selanjutnya, 12 Februari, juga mendengarkan pandangan tim ahli. Sayang, ketika artikel ini ditulis, notulennya tak bisa diakses di dpr.go.id.
Kemudian, 8 April 2020, dilakukan rapat Panitia Kerja Badan Legislasi RUU HIP. Mereka mulai membahas draf RUU dan mengusulkan tim ahli menyempurnakan draf tersebut. Rapat ini disusul rapat berikutnya, 13 April dan 20 April 2020, yang dilakukan secara tertutup.
Dua hari kemudian, 22 April 2020, kembali dilakukan rapat. Kali ini keputusan yang diambil adalah penyusunan RUU HIP. Disebutkan dalam risalah rapat itu, Fraksi PDIP dan Nasdem menyetujui sepenuhnya dibahasnya RUU HIP tanpa syarat. Sementara, Golkar dan Gerindra mendukung pembahasan dilanjutkan dengan sejumlah catatan. "RUU ini dibuat bukan semata untuk memperkuat BPIP," kata pihak Gerindra.
Sementara itu, Fraksi PKB menyetujui draf RUU dilanjutkan sebagai inisiatif DPR dengan catatan menambahkan rumusan UUD 1945 sebagai konsideran. Sedangkan Fraksi Demokrat menarik keanggotaan dari panja karena merasa regulasi itu tak mendesak dibahas saat rakyat sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid.
Adapun Fraksi PKS meminta RUU disempurnakan lebih dulu sebelum diajukan ke sidang paripurna. Mereka langsung menohok ke inti masalah: Menguatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa serta dimasukkannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran. Kita tahu, TAP MPRS tersebut mengatur pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) serta pelarangan penyebaran ideologi komunisme/Marxisme/Leninisme di Indonesia. PKS juga meminta pasal soal “Ekasila” dalam RUU tersebut dihapuskan.
Soal perlunya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 sebagai konsideran, juga disampaikan Fraksi PAN. Sementara Fraksi PPP meminta beberapa penyesuaian dan meminta kedudukan BPIP sejajar lembaga negara lainnya.
“Berdasarkan pendapat fraksi-fraksi (F-PDI Perjuangan, F-PG, FPGerindra, F-PNasdem, F-PKB, F-PAN, dan F-PPP) menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila untuk kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun untuk FPKS menyatakan dapat menerima hasil kerja Panja dan menyetujui RUU tersebut setelah dilakukan penyempurnaan kembali dengan menambahkan poin-poin yang tercantum dalam Pendapat Fraksi,” demikian tertulis dalam risalah rapat.
12 Mei 2020, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU HIP menjadi usul inisiatif dan masuk Program Legislasi Nasional. Persetujuan ini diperoleh setelah sembilan fraksi minus Fraksi Demokrat menyerahkan pendapat tertulisnya. Dan, kemudian kita tahu pula: Sejumlah ormas Islam menyatakan ketidaksepakatannya dengan sejumlah pasal yang ada dalam RUU tersebut.
Salah satu yang utama adalah Pasal 7. Ayat (2) pasal itu menjelaskan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila. Ketiganya, yaitu “sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan”. Kemudian, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong," bunyi Pasal 7 Ayat (3).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbilang paling depan menyatakan ketidaksetujuannya. Bersama pengurus MUI tingkat provinsi mereka mengeluarkan sebuah maklumat bagi RUU tersebut. Sebagaimana disampaikan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas, mereka menilai upaya memeras Pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna Pancasila.
Lebih dari itu, pemerasan tersebut juga mereka nilai sebagai peluang bagi bangkitnya paham komunis di negeri ini. Karenanya, "Bila maklumat ini diabaikan oleh Pemerintah RI, maka kami Pimpinan MUI Pusat dan segenap Pimpinan MUI Provinsi se-Indonesia menghimbau Umat Islam Indonesia agar bangkit bersatu dengan segenap upaya konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menolak faham komunisme dan berbagai upaya licik yang dilakukannya, demi terjaga dan terkawalnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," kata Anwar Abas, menyitir maklumat yang dikeluarkan pihaknya.
Ketua Panja RUU HIP Rieke Diah Pitaloka cukup "arif" menyikapi kritik-kritik tersebut. Ia menolak berkomentar atas polemik itu. Pun kader-kader PDIP yang berhubungan dengan RUU tersebut. Satu-satunya komentar dari pihak mereka disampaikan Ahmad Basarah, yang saat ini menjabat sebagai wakil ketua MPR.
Ia menyatakan, RUU HIP diperlukan untuk melindungi Pancasila sebagai ideologi. "Pancasila juga dinilai perlu dilindungi dari bahaya dan praktik paham liberalisme/kapitalisme serta bahaya paham keagamaan apa pun yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila," ujar dia selepas menyambangi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bersama pimpinan MPR lainnya, Selasa, 9 Juni 2020. Meskipun, secara pribadi, ia juga menilai perlunya disertakan Tap MPRS XXV/1966 dalam regulasi itu.
Prabowo? Ketua Umum Gerindra ini diklaim menyatakan mendukung RUU HIP. "Komitmen Pak Prabowo sebagai menteri pertahanan maupun Ketua Umum Partai Gerindra, salah satu partai politik terbesar di Indonesia, dalam menjaga dan mengamalkan Pancasila akan semakin meneguhkan kedaulatan Indonesia di antara bangsa-bangsa lainnya di dunia," kata Ketua MPR Bambang Soesatyo, yang merupakan kader Partai Golkar, selepas kunjungan.
Benarkah dukungan Prabowo tersebut semulus yang disampaikan Bambang? Wallohualam. Yang pasti, kini, PDIP sendiri sudah menarik kembali usulannya. Ekasila dan Trisila, serta berbagai hal yang menimbulkan kerisauan kalangan Islam, sudah dicabut. Itu sebagaimana disampaikan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lewat keterangan tertulisnya yang dikirimkan Ahad ini, 14 Juni 2020.
No comments