Sains, Filsafat dan Storytelling (Tanggapan untuk Goenawan Mohamad. Bagian pertama, dari dua tulisan)
Lukas Luwarso, mantan Ketua AJI dan berbagai organisasi pers internasional.
Terlahir dalam dunia yang diselimuti misteri dan teka-teki, manusia tidak tahu mengapa ada di dunia, dari mana, dan untuk apa. Mau tak mau manusia harus mencari, atau mengarang, penjelasan. Pencarian penjelasan dimulai dengan menyusun mitos-mitos, membuat spekulasi filosofis, hingga memakai metode sains. Satu proses evolusi panjang manusia mencari dan mengakumulasi pengetahuan.
Pengetahuan itu menjadi bahan bagi manusia untuk bercerita. Berbagi cerita dalam segala situasi dan medium, bergosip, pesta-cocktail, posting di media sosial, hingga menulis buku atau artikel untuk berpolemik. Bercerita adalah cara manusia, sebagai mahluk sosial, untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Manusia adalah story-teller.
Goenawan Mohamad (GM) adalah contoh seorang story-teller yang cakap. Terbukti dari ribuan tulisannya. Artikel panjang GM terbaru “Sebuah Tempat yang Bersih, dan Lampunya Terang untuk Sains“ (STBLTS), menunjukkan kalibernya. Ia bertutur pada pembaca, mengajak bersikap kritis pada dogmatisme sains dan saintisme. Mereka, dituding GM, mirip kaum Positivisme abad 19. Kaum penjunjung panji-panji slogan: “sains modern satu-satunya jalan kebenaran”.
GM tak lupa menyertakan kisah bisnis GMO Monsanto, kekejaman Josef Mengele, dan praktek pseudo-sains Trofim Lysenko. Meskipun menyampaikan, tiga kasus itu bukan “kejahatan sains,” namun tetap menyebut sebagai contoh adanya “gerowong” dalam sains. Tuturan kisah dan kefasihannya memilih kutipan, pasti memikat bagi mereka yang sejalan dengan perspektif pemikirannya.
Paparan GM mengesankan telah terjadi multikrisis dalam dunia sains. Selain “krisis paradigma epistemologis”, komunitas sains dinilai telah mengalami defisiensi sikap kritis yang akut. Saintis perlu “berkhidmat” pada pemikiran filsafat, misalnya fenomenologi dan hermeneutika, agar mendapat “pencerahan” untuk mengibas mendung yang menyelimutinya. Agar tidak menjadi wilayah tertutup berkabut dogma. Sains berada di “tempat yang kotor dan lampunya redup”. Dan GM menasehatI, secara puitis, agar sains berada di “tempat yang bersih dan terang lampunya.”
Big wisdom for sains. Mengingatkan nasehat pepatah-petitih lama: “Hemat Pangkal Kaya, Rajin Pangkal Pandai, Bersih Pangkal Sehat.”
Komunitas sains dalam tuturan cerita GM terkesan telah menjadi semacam “secret societies”. Sebuah komunitas elite yang berkomplot untuk menguasai dunia dengan agenda utama saintifiknya: “merampas pemaknaan dari pikiran manusia.”
Segera terbayang nama-nama “secret societies” yang familiar dalam kisah dunia teori konspirasi: Illuminati, Fremason, Cabalists, Rosicrucians, Elder of Zions, entah apa lagi. Sains, saintis, aktivitas saintifik dan temuan sains menjadi semacam occultisme yang mengancam. OK, saya sedikit hiperbolik menafsirkan narasi GM ini. Tapi, terus terang, saya sulit menahan geli dengan pandangan GM pada sains yang begitu muram dan sarat prasangka.
Saya masih yakin GM tidak sedang menimbang rasa berpikir ala penggemar teori konspirasi. Mereka yang gemar mereka-reka cerita dramatik tentang adanya “kuasa gelap” yang mengatur, mengontrol, dan mengubah hidup manusia dengan maksud membuat “tatanan dunia baru” (New World Order). Sebagaimana belakangan ini bertebaran berbagai teori konspirasi terkait pandemi Covid-19. Dari teori virus SARS-CoV-2 sebagai senjata biologis buatan China, eh Amerika, eh Israel, eh entah buatan siapa; atau bisnis jahat para kapitalis farmasi untuk jualan obat dan vaksin; hingga agenda Bill Gates untuk mendepopulasi dunia.
Membaca esai STBLTS, juga artikel sebelumnya, kesan kuat yang muncul adalah: GM cemas dengan kemajuan sains. Menurutnya, ada yang salah dengan epistemologi dan metode sains.
Kisah tentang sains, satu tema yang menarik dan membuka imajinasi tanpa-batas, menjadi kering dan getir dalam tuturan GM. Uraiannya soal sains seperti terkungkung dalam “kubah transparan di langit yang tidak ada”. Mirip wacana Geosentrisme abad pertengahan yang mengira bumi diselubungi kubah langit transparan, yang memisahkan bumi dengan surga.
Semoga narasi GM pada sains sekadar romantisme penyair romantik, yang sedang ingin meromantisasi segala hal terkait sains. Sekadar ekspresi kecemasan sambil lalu pada perkembangan dan perubahan yang diakibatkan oleh sains dan teknologi. Respon wajar bagi orang yang tidak ingin ada perubahan pada dunia yang ia klangeni.
Kecemasan GM, pada kemajuan sains, terepresentasi dari cara ia menuturkan peristiwa bersejarah, salah satu tonggak penting sains. Keberhasilan Yuri Gagarin astronot pertama berada di angkasa luar, Ia persoalkan dengan mengutip puisi Subagyo Sastrowardoyo, memaknainya sebagai: “keterasingan, kesepian, terbuang jauh dari bumi yang dicintainya.”
Sebegitu romantiknya, GM tidak merasa perlu ingin tahu, bertanya-tanya pada diri sendiri, atau sedikit berempati, benarkah Yuri Gagarin merasa terasing, kesepian, dan terbuang saat berada di angkasa luar? GM juga menyepelekan tepuk tangan manusia di seluruh dunia yang merayakan dengan “berbinar-binar”, peristiwa bersejarah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini.
Pemaknaan GM, sebagai penyair romantik elitis, mungkin memang harus beda dari pemaknaan “manusia pada umumnya”. Prestasi manusia mengangkasa, satu proses saintifik yang rumit dan berisiko, hasil olah ingenuitas dan kecerdasan manusia, cuma dimaknai dengan: “keterasingan”.
GM mengawali artikel STBLTS dengan mengutip puisi, untuk menggugat sains dan teknologi. Ia berlanjut mengungkapkan sikap pesimisme dan sinisme dengan menuturkan sederet karya sastra yang, menurutnya, menunjukkan “suara muram” pada prospek kemajuan sains dan teknologi. Novel H.G Well “Time Machine” (1960), karya Aldous Huxley “Brave New World” (1932). Juga sejumlah film Hollywood “Blade Runner” (Ridley Scott) atau “Artificial Intelligence” (Steven Spielberg).
Selain karya sastra dan film, GM juga merasa perlu mengutip pidato Max Weber, dan sejumlah filsuf lain, untuk memastikan bahwa sikap muramnya pada sains bukan cuma “nyeni”, tapi juga “filosofis”. Poin kritik GM adalah, sains “tak pernah menanyakan makna hidup”, sekaligus mengingatkan agar “jangan jumawa, mampu menjawab segala hal”.
Kegemaran GM mengunyah polemik lama (kritik atas paradigma Positivisme abad 19) yang memicu pemikiran pada jamannya, tentu valid. Namun era baru membutuhkan perspektif dan paradigma baru. Referensi lama baik disertakan sebagai catatan kaki untuk kelengkapan historis. Namun dalam konteks sains, lebih aktual jika mengupas berbagai temuan dan wacana terbaru dunia sains, dengan perspektif baru.
Situasi baru membutuhkan pemikiran dan perspektif baru. Sikap kritis pada epistemologi sains akan lebih relevan dan berguna untuk mempersoalkan situasi terkini “proyek sains” dan potensi maslahat atau mudaratnya bagi manusia di masa kini dan masa depan. Jika niatannya memang sekadar ingin menambal “gerowong” sains.
Berbagai temuan sains terbaru dan teknologi turunannya, 75 tahun terakhir, masih membuat kita terbelalak. Ilmu dan teknologi komputer, internet, artificial Intelligence, virtual-reality, augmented reality, nano-techology, synthetic-life, transhumanism, cognitive-augmentation, termasuk hipotesis kita hidup dalam dunia simulasi. Berbagai temuan dan hipotesis sains yang membuka imajinasi dan kreativitas tanpa batas.
Banyak pemikir besar kontemporer yang lebih aktual untuk dikupas atau dikutip pemikirannya. Mereka para “filsuf-cum-saintis” yang mempertanyakan dengan tajam problem aktual masyarakat terkait dengan perkembangan ilmu, sains dan teknologi. Beberapa nama bisa disebut, misalnya Nick Bostrom, Mario Bunge, Luciano Floridi, Stuart Russel, Kevin Kelly, untuk menyebut beberapa nama.
Jika kecemasan pada sains dan teknologi menjadi fokus pemikiran, bisa dibaca, misalnya, buku “Global Catastrophic Risks” (Nick Bostrom, 2011). Buku kumpulan tulisan 25 pemikir kontemporer, melihat ancaman yang dihadapi manusia di abad 21. Ancaman potensi kiamat (existential risk) dari semburan sinar-gamma, perang nuklir, perubahan iklim, senjata biologis, nano-technology, artificial-Intelligence, hingga kemungkinan runtuhnya masyarakat (social collapse). Buku yang komprehensif, sebagai pengantar, bagi yang tertarik dengan isu-isu besar terkait sains, technologi, termasuk public-policy.
Dalam dunia sains—sama seperti dunia pemikiran, filsafat, seni, dan sastra—selalu muncul pertanyaan: Adakah yang baru? Apa yang beda dari yang pernah ada? Agar kita tidak letih, selalu menoleh atau mengulang hal yang sama.
J. B. S. Haldane, ahli genetika dan biologi evolusioner, dalam “Possible World” (1927) menyatakan: “Saya tidak ragu, realitas di masa depan akan sangat mengejutkan dibanding apapun yang bisa saya bayangkan. Dugaan saya, alam semesta bukan cuma lebih aneh dari bayangan kita, namun bahkan lebih aneh dari apa yang bisa kita bayangkan.” (I have no doubt that in reality the future will be vastly more surprising than anything I can imagine. Now my own suspicion is that the Universe is not only queerer than we suppose, but queerer than we can suppose).
Dengan semangat sikap saintifik, sebagaimana rasa berbinar-binar J.B.S. Haldane 100 tahun lalu itu, mari kita berselancar dalam dunia sains yang terus berubah dan mengubah perspektif kita. Melacak cerita apa yang sains telah sumbangkan, sembari membayangkan seperti apa masa depan alam semesta dan kehidupan manusia. Tulisan ini ingin meredakan kecemasan dan kesinisan GM pada sains. Dengan pendekatan perspektif yang disukainya: melalui tuturan penceritaan (story-telling).
(Bersambung ke bagian kedua)
Sumber: https://www.facebook.com/lukas.luwarso/posts/10157479414160794
No comments