TERBARU

Sebuah Tempat yang Bersih dan Lampunya Terang untuk Sains

Goenawan Mohamad, penyair dan wartawan, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.

(Untuk AS Laksana dan lain-lain)

**
Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini bisu. Angkasa ini sepi.
Tetapi aku telah sampai pada tepi. Dari mana aku
tak mungkin lagi kembali.

— Soebagio Sastrowardojo, “Manusia Pertama di Angkasa Luar”, (1961)
Di bulan April 1961, Yuri Gagarin, penerbang AU Uni Soviet, menjadi “kosmonaut” pertama yang, dengan mengendarai kapsul pesawat ruang angkasa Vostok I, berhasil diorbitkan mengelilingi bumi. Ia hidup di ketinggian 187 mil dan kembali ke dunia setelah 89 menit. Tepuk tangan gemuruh dari segala penjuru buat prestasi ilmu dan teknologi Uni Soviet. Gagarin, manusia pertama di angkasa luar, menjadi pahlawan jenis baru dalam sejarah.
Tak lama setelah itu Penyair Soebagio Sastrowardojo menulis sajaknya yang saya kutip di atas. Bukan sebuah puja-puji, tapi sebuah gambaran suasana lain: si manusia pertama di angkasa luar merasa terasing, kesepian, terbuang jauh dari bumi yang dicintainya. Ia merasa jadi korban “seribu rumus ilmu pasti yang penuh janji”. Ia merindukan sebuah alternatif: puisi, sepatah kata puisi.
Sajak ini dengan pedih menggugat ilmu dan teknologi justru di saat kemajuan dua komponen peradaban itu mencapai taraf yang menakjubkan. Suara sajak Soebagio adalah ungkapan pesimisme terhadap sains.
***
Sajak itu bukan suara muram pertama tentang sains dan teknologi dalam karya sastra.
Di tahun 1895, terbit karya H.G. Well “Time Machine” (kemudian difilmkan di tahun 1960). Kisahnya berporos pada penemuan seorang ilmuwan Inggris yang hidup di zaman Ratu Viktoria: sebuah mesin yang bisa membawa manusia mengarungi waktu dengan sangat cepat ke masa depan dan ke masa lalu.
Ia sendiri mencoba ke tahun 802701.
Alkisah, sang Pengarung Waktu sampai ke sebuah tempat yang dikelilingi gedung-gedung agung, dan dihuni manusia yang cantik tapi malas dan tidak cerdas — mungkin satu antitesis bagi optimisme zaman itu yang menggambarkan kemajuan manusia masa depan.
Di tahun 1932 terbit novel “distopia” yang lebih termashur —lebih menakutkan — “Brave New World”, karya Aldous Huxley. Huxley berkisah tentang London tahun 2540, ketika manusia adalah makhluk yang dimanipulasi teknologi.
Novel dibuka dengan adegan di Central London Hatcheries and Conditioning Centre. Di situ ribuan embrio manusia yang sama ditaruh dalam deretan botol. Embrio-embrio itu disiapkan untuk jadi lima kasta manusia. “96 anak kembar identik akan mengerjakan 96 mesin yang identik”. Semua ditertibkan. Narkoba yang diberi nama “soma” dibagi gratis ke semua warga World State, agar patuh. Sex bebas adalah wajib.
Novel berakhir dengan tokohnya, John, bunuh diri. Ia anak haram yang lahir di Cagar Budaya Liar di Meskiko dan kemudian hidup di London. Di ujung cerita John menyiksa orang, mencambuki diri sendiri, ikut dalam sebuah orgi, dan akhirnya menghabisi nyawanya sendiri.
Di tahun 2003 terbit novel Margaret Atwood, “Oryx and Crake”. Tokohnya Jimmy, mungkin satu-satunya manusia yang tersisa di dunia. Manusia lain, manusia versi lama, telah diubah rekayasa genetik atau dibinasakan tablet BlysssPluss. Crake, jenius yang menciptakan pil itu, memang berencana membasmi homo sapiens. “Yang diperlukan”, katanya, “adalah terhapusnya satu generasi. Satu generasi apa saja. Kumbang, pohon, mikroba, ilmuwan, orang-orang yang omong Prancis, apa saja”. Ia ingin merekayasa makhluk jenis baru yang lebih ramah lingkungan.
Distopia lain kita bisa ikuti dalam film: kita kenal “Blade Runner 2049”. Atau, lebih menyentuh, “AI, Artificial Intelligence”.
Dalam film Steven Spielberg dari tahun 2001 ini, para teknolog menciptakan “Mecha”, robot-robot canggih yang mirip manusia. Seorang ilmuwan menghasilkan “David”, robot bocah yang bisa mencintai orang tempat ia ditempatkan dengan cinta yang tak bisa pudar. Ia juga bisa cemburu dan berambisi. Si David ingin seperti Pinokio, boneka yang jadi manusia. Ditinggalkan di dekat hutan oleh Monica, “ibu angkat”-nya, dan tersesat ke mana-mana, ia mencari Peri Biru yang ia yakini akan bisa menyulapnya jadi bocah.
Beribu tahun kemudian, ia menemukan apa yang dicarinya. Tapi Peri Biru tak sanggup. David pun pasrah. Ia hanya minta ibu angkatnya yang ia cintai dihidupkan kembali. Satu-satunya harapan itu terkabul. Ia bisa ketemu kembali sang ibu, meskipun sebentar. Satu-satunya tanda “happy ending” adalah ketika si robot bocah mendengar Monica berbisik, seraya memeluknya di tempat tidur, “Aku sayang kamu, David, aku selalu sayang kamu”.
***
Kritik kepada sains, kekecewaan pada “seribu rumus ilmu pasti yang penuh janji”, tak hanya dalam karya sastra dan film. Di tahun 1918, di Universitas Munchen, MaxWeber berpidato di depan para mahasiswa, dengan judul “Wissenschaft als Beruft” (“Sains sebagai Panggilan”). Weber, sosiolog termashur yang menganalisa dunia modern dengan suram, menyebut apa yang baginya “cacat” ilmu-ilmu alam: sains tak pernah menanyakan asumsi dasarnya sendiri, tak pernah menanyakan makna hidup — hidup yang konon hendak diperbaikinya, bahkan diperpanjangnya.
***
Tiap zaman punya Jeremiahnya sendiri. Karya-karya sastra dan film yang saya sebut di atas bisa dianggap sebuah caveat, sebuah peringatan “awas, hati-hati, jangan jumawa,” ketika sains dan teknologi dianggap mampu menjawab segala hal.
Novel seperti “Brave New World” dan “Oryx and Crake” tentu saja hiperbolik — mungkin seperti pesan parau Jeremiah dalam Perjanjian Lama. Mereka melipat-gandakan kegelapan hidup di bawah dampak negatif sains. Tapi dengan dorongan ethis —tak jauh beda dengan peringatan agar masyarakat mewaspadai kekuasaan yang hendak mengatur hidupnya.
Lagipula, ada yang bukan fiktif dalam thema Jeremiah ini. Kasus pestisida Monsanto yang baru terjadi seharusnya tak dilupakan mereka yang berbicara tentang sains dengan opimisme habis-gelap-terbit-terang. Sains pegang peran pembantu yang penting dalam drama ini.
Sebuah lembaga yang didengar di mana-mana, ILSI (Internasional Life Sciences Institute) telah membuat sains dibayar tinggi. Ia adi penjaga kepentingan bisnis pestisida. Dari sini, atau dari institut seperti ini, pelbagai rekomendasi ilmiah ditulis mendukung produk yang akan dijual ke masyarakat — produk yang sebenarnya belum diuji secara semestinya.
Tapi zaman berubah. Konsumen dan pasien kini punya akses ke informasi tentang diri mereka. Di akhir 1990-an, meledak konfrontasi di sekitar penyebaran tanaman pangan yang secara genetik dimodifikasi (GMO).
Perdana Menteri Prancis tahun 1997 itu, Alain Juppe, melarang penggunaannya; ia dituduh menentang sains. Tapi pembangkangan di kalangan petani meluas. Akhirnya terungkap bahwa produk Monsanto itu memang menebar racun di lahan-lahan pertanian Eropa dan Amerika.
Isabelle Strengers, seorang filosof yang banyak menulis tentang sains, menyebut konfrontasi itu “GMO event”. Dalam “In Catastrophic Times” yang terbit pada 2015 digambarkan momentum yang menyadarkan orang banyak di Eropa bahwa sebuah persoalan sains — dalam hal ini sains tentang tanaman dan genetika, “genetic modified organism” — pantas direbut dari wali penjaganya: saintis.
Tersirat dalam “GMO event” adalah sebuah sanggahan: sains tak mesti dilihat sebagai hasil adiluhung yang layak memandu pengetahuan lain.
***
Tapi hari-hari ini, entah kenapa, tilikan kritis atas sains akan dianggap “anti-sains”. Atau dinilai meremehkan sains. Atau, lebih buruk lagi, memberi mesiu kepada apa yang saya sebut Jorge-isme.
Jorge-isme saya pakai dari nama biarawan tua yang ganas dalam novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa”. Rahib Jorge sosok agama yang memusuhi humor dan menhgharamkan pertanyaan-pertanyaan sebagai penghujatan. Dalam konteks kita, kaum Jorge-is adalah para agamawan dan pengikut mereka yang dengan dogma mempertahankan, misalnya, keyakinan bahwa bumi datar dan homoseksualitas sebuah dosa.
Saya tak menaruh simpati kepada Jorge-isme. Tapi menganggap kritik kepada sains berarti mendukung dogmatisme, itu prinsip totaliter: “yang tak bersama kita berarti bersama musuh”. Dari sikap seperti itu, saking sengitnya menghadapi Jorge-isme, bisa tumbuh dogmatisme lain — dogmatisme saintis.
Apalagi saintisme merasa sejiwa dengan sains, dan sains dianggap parameter kebenaran. Para pendukung pandangan ini, seperti Posivitisme di Eropa abad ke-19, menganggap sains modern satu-satunya jalan ke kebenaran.Dengan sengit, tiap kritik kepada sains dianggap bagian dari usaha mengepung, menghantam, dan mendeskreditkan sains — dan itu berarti kebodohan, takhayul, kemunduran.
Paranoia ini tak membuka penjelajahan lain untuk memahami bagaimana kita, manusia, mengetahui dan menafsirkan dunia. Para apologis neo-positivisme tak menunjukkan keinginan merenungkan, ada apa dengan praktek GMO dalam kapitalisme Barat. Atau ada apa dengan Dokter Josef Mengele dalam Naziizme, yang menggunakan ilmunya untuk pembantaian orang Yahudi. Atau dengan Lysenko, pakar biologi dan agronomi Stalin yang memaksakan “kebenaran” dalil-dalilnya untuk dilaksanakan para petani, dengan akibat kelaparan besar.
Kejahatan itu bukan kejahatan sains, tentu. Tapi agaknya perlu ditelaah, jangan-jangan ada yang “gerowong” dalam sains.
***
Dalam tulisan sebelum ini saya menguraikan kritik Husserl terhadap sains modern yang dipelopori Galileo di Italia diabad ke-17: apa yang oleh Husserl disebut matematikasi (Mathematisierung) ilmu-ilmu alam.
Bagi yang belum baca saya coba ikhtisarkan;
Dalam sains modern yang dipelopori Galielo, benda-benda kongkrit dalam dunia-kehidupan diterjemahkan menjadi konsep; dengan kata lain, menjadi “ide”: air untuk menyiram bunga di vas itu, air dingin di botol di ransel saya, air parit yang mengalir di seberang kebun, masing-masing unik, berubah-ubah. Tapi mereka perlu punya identitas.
Maka bahkan dalam masa pra-sains, semuanya dikelompokkan ke dalam satu konsep “air” melalui abstraksi. Abstraksi berarti menarik (asal katanya “abstrahere”) aspek yang sama dari tiap-tiap kasus; berdasarkan aspek yang sama itu, dibentuk sebuah identitas.
Maka “air” pun hadir sebagai ide — hasil dari peng-ideal-an (Idealiserung) benda di alam yang kita alami dengan tubuh kita sehari-hari. Pada “air” sebagai ide diterapkan lambang kimia H2O. Jika diperlukan, H2O diidentifikasi dalam volume tertentu, dan didapatkan Berat Jenisnya, katakanlah 1000kg/m3.
Tentu saja tak ada yang salah dengan matematika. Tak ada yang muram sebagaimana dilihat AS Laksana dalam tulisan saya. Jika dibaca dengan cara seksama, akan tampak saya tak menafikan perkembangan sains yang menakjubkan itu, setelah berkal-kali disodori (juga oleh Sulak), katalog sumbangan sains bagi peradaban.
Kita tahu apa syarat agar sains ada. Ia memerlukan obyek yang bisa diulangi secara persis, dalam proses eksperimen. Mengikuti metode yang benar, air yang dipakai dalam tabung di laboratorium X harus sama dengan yang di laboratorium Y, untuk dapat kesimpulan yang akurat. Dalam proses itu, sang air adalah sesuatu yang konsisten, stabil, jelas, persis, tak ambigu. Untuk itu, matematisasi sangat membantu…
Jadi, Sulak, bagi saya tak ada yang muram dengan matematika. Yang “muram” ialah apabila dunia diterjemahkan semuanya sebagai wujud yang dimatematiskan.
Husserl menulis kemungkinan ini ketika ia mengatakan (dalam terjemahan bebas saya): “Matematika dan sains matematis, sebagai jubah ide (“Ideenkleid”), atau jubah simbol yang diambil dari teori matematis, menyelimuti tiap hal, tiap benda — dan oleh ilmuwan, hal itu diterima sebagai wakil sah dunia-kehidupan …”.
Husserl tak sendirian. Alfred North Whitehead menyebut itu contoh FMC, “the Fallacy of Misplaced Concreteness”.
Yang ingin saya katakan, yang muram adalah bila hasil kalkulasi dihadirkan sebagai benda itu sendiri. Yang muram adalah jika hutan dilihat hanya sebagai sekian ribu pohon, sekian jumlah flora dan fauna, sekian hektar luas untuk dipertukaran dengan harga sekian rupiah — dan kita pun mengabaikan rindang dan teduhnya, warna-warni daunnya, aroma humus di dalamnya. Lebih muram lagi jika kita memandang manusia lain sebagai sekian jam tenaga kerja, sekaligus dilihat nilai rupiahnya.
Sains “an sich” tentu tidak memperlakukan makhluk hidup seperti itu. Tapi dunia yang dipandang (bahkan dikonsruksikan) dengan pendekatan ilmu-ilmu alam — meskipun sangat pas untuk eksperimen dan ekspolitasi — adalah sebuah dunia tanpa makna. Hidup dan matinya tak terkait hidup matiku, hidup matimu.
Itu berarti manusia memerlukan yang lain, yang bukan-sains. Seni, misalnya.
***
Sains dan seni hari-hari ini tak dikonfrontasikan. Maka menarik — dan bagi saya menyenangkan — dalam jawabannya untuk saya, Sulak mengutip Richard P. Feynman. Fisikawan pesohor ini mencoba menemukan persamaan rasa estetis antara dia dan temannya dalam memandang sekuntum bunga.
Feynman seperti biasa pintar bercerita, tapi dalam soal yang satu ini ia kedodoran.
Katakanlah ia, seperti diutarakannya sendiri, orang yang peka akan keindahan. Tapi ia keliru memahami perbedaan dasar antara sikap estetik dan sikap ilmiah.
Baiklah saya jelaskan dengan membalas Sulak lebih dulu. Sulak mempersoalkan satu kalimat dalam tulisan saya yang lalu ketika membahas sains: ‘“Mengetahui” adalah membuat pigura atas realitas’.
Agaknya ia kurang paham kalimat itu. Saya bisa memaklumi. Kami berbeda pengalaman.
Pengalaman saya: saya belajar histologi di tahun 1961. Salah satu yang tiap praktikum saya lakukan adalah menatap preparat dengan mikroskop. Histologi menelaah mikroanatomi sel, jaringan, dan organ. Untuk mempertahankan dan menjaga struktur jaringan dan sel pada preparat, digunakan “fixative” kimia. Melalui mikroskop saya bisa melihat bentuk sel yang seperti palet pelukis, lengkap dengan warna-warni. Tapi elemen biologis manusia ini disiapkan sebagai preparat yang statis. Ia hanya sel. Ia baru dimatikan, dan di mikroskop ia menampilkan nukleusmya, mitokondria, atau cytoplasma.
Sejak itu saya melihat bagaimana biologi, sebagaimana sains pada umumnya harus memberi “pigura” atau “frame” atas realitas. Harus ada kerangka seperti preparat itu; “pigura” itu bisa berwujud tabung di laboratorium, bahkan sebuah hipotesis, bahkan sebuah theori. Harus ada asumsi bahwa yang kita telaah sesuatu yang mandeg; “fixative” itu bisa jadi rujukannya. Kita tahu bahwa yang kita observasi berubah terus menerus, apalagi ia unsur biologis, tapi kita harus titis, akurat, dalam telaah kita. Kita harus siap hasil penelitian kita mesti diuji. Untuk itu, seperti sudah saya katakan di atas, obyek penelitian harus bisa diulang dengan persis.
Maka sains pun mau tak mau bertolak dari sesuatu yang berhenti di satu lokasi. Ini tak cocok dengan realitas —dan disebut Alfred North Whitehead sebagai`”ESL”, “Error of the Simple Location”.
ESL adalah akronim sebuah kesalahan; ia asumsi yang keliru, bahwa obyek penelitian kita mandeg — pandangan salah yang dimulai oleh Newton. Tapi berdasar theori elektromagnetisme dan temuan mekanika kuantum, Whitehead melihat realitas sebagai proses. Ia menyebutnya “event”. Dalam pandangan dia, dan saya setuju, tiap realitas berubah. Preparat X yang saya lihat pukul 13:00 bukan lagi preparat X yang saya lihat pukul 12:58.
Tapi sains tak bisa menerima sebuah “event” sebagai obyek penelelitian.
Dari sini kita bisa mengerti kenapa bagi Whitehead, sains tidak mungkin meliputi, mencakup, mengartikan segala-galanya.
Misalnya suasana senja di sebuah pelabuhan kecil.
***
Ini kali tak ada yang mencari cinta
Antara gudang, rumah tua, tiang serta temali.

Kita baca sajak Chairil Anwar yang terkenal, “Senja di Pelabuhan Kecil.” Sajak itu membawa kita seperti sebuah kamera film yang bergerak, dalam proses, berpindah-pindah (antara camar, gudang, rumah tua, tiang serta temali, laut yang hilang ombak, juga suasana murung), tanpa urutan yang ditata. Seluruhnya melintas, seketika. Tiap hal bukan ditemukan dari analisa.
Adorno menyebut momen seperti itu sebagai momen “mimesis”: sang penyair dengan empati seakan-akan “masuk menyusup” (“anschmiegen”) ke dalam lanskap senja di pelabuhan itu.
Berbeda dengan Feynman. Sebagaimana dikutip Sulak. Feynman membandingkan dua kasus: (A) bagaimana sekuntum bunga dilihat temannya (seorang seniman), dan (B) bagaimana bunga yang sama ia lihat (ia sebagai seorang ahli fisika):
“Saya melihat lebih banyak lagi tentang bunga itu daripada yang dia lihat. Saya bisa membayangkan sel-sel dan tindakan-tindakan rumit di dalamnya yang juga memiliki keindahan. Maksud saya bukan hanya keindahan pada dimensi satu sentimeter; ada juga keindahan pada dimensi yang lebih kecil, struktur bagian dalam…”
Tampak, observasi Feynman bersifat analitik, menangkap sentimeter demi sentimeter dalam obyek (“bunga”); ia tak langsung menangkap keseluruhan-(Gestalt)-nya. Itu sebabnya ia merasa yakin mengatakan “saya melihat lebih banyak lagi tentang bunga” dibanding yang dilihat teman senimannya.
Tapi sebenarnya apa yang ia hitung? Bagaimana ia bisa membandingkan?
Berbareng dengan itu, Feynman menganggap “keindahan” sebagai sesuatu yang di luar atau berjarak dari si bunga. “Keindahan” bagi Feynman adalah sesuatu yang di-“milik”-i obyek. Sementara dalam sajak Chairil Anwar, “keindahan” — atau sesuatu yang mempesona, menyentuh hati — bukan sesuatu yang di-“milik”-i oleh lanskapa senja itu; ia tak terpisah dari benda, alam, manusia dan suasana hati.
Beberapa belas tahun yang lalu saya pernah, bersama Arief Budiman, memperkenalkan satu metode yang menampik pendekatan analitik seperti itu ke dalam karya sastra. Arief menamainya “metode Ganzheit”: di sana ditekankan bahwa dalam proses menikmati karya, kritikus dan pembaca langsung meresapkan karya itu dalam totalitas, Ganzheit-nya — seakan-akan langsung masuk ke dalam karya; posisi subyek dan obyek berbaur.
Di sana, tak ada “bifurcation of nature”. Di sana alam tidak dipersepsikan seperti dibagi-bagi, terpisah-pisah — ala perspektif sains modern yang dikritik Whitehead dalam “The Concept of Nature”.
***
Whitehead — Alfred North Whitehead. Rasanya kini saatnya saya bicara lebih panjang tentang tokoh ini.
Pertama, karena saya merasa perlu menjawab Sulak. Kedua, karena pemikir ini — seorang matematikawan, juga filosof sains awal abad ke-20 yang ternyata bisa disebut sejiwa dengan perspektif “postmodernisme”, dan punya banyak persamaan dengan Deleuze. Whitehead punya pandangan lain tentang sains.
Izinkan saya mulai dengan yang pertama.
Sulak menilai terjemahan bebas saya atas satu kalimat Whitehead dalam pengantar “An Introduction to Mathematics” sebagai tindakan “menyembunyikan”, “mereduksi”, “membuat disinformasi”.
Seorang teman menganggap di sini Sulak “lebay”. Saya lebih menganggapnya “bingung”. Entah kenapa. Ada dua kemungkinan: atau pikiran Sulak lagi ruwet atau bahasa saya yang sungguh ruwet. Pendeknya Sulak menganggap bahwa dengan terjemahan saya, Whitehead “dihadirkan untuk membuat kampanye hitam tentang ilmu yang ia cintai”.
Lho.
Saya tak mengubah arah makna kalimat Whitehead. Saya tak memotong kata-kata Whitehead yang menyebut matematika sebagai “great science”. Dalam terjemahan dan kutipan itu saya tunjukkan bagaimana Whitehead menghargai tinggi matematika, sebuah disiplin yang muskil, yang tak mudah untuk dikuasai — seperti hantu ayah Hamlet dalam lakon Shakespeare. Maka Whitehead memperingatkan: jangan gegabah, jangan sembarangan mempergunakannya untuk menerjemahkan alam semesta.
Apakah itu “kampanye hitam” buat matematika?
Terjemahan selalu mengandung tafsir atas teks. Kalaupun tafsir saya atas teks bisa saja tak sama dengan tafsir Sulak, tak berarti saya melakukan “disinformasi”. Yang pasti, saya tak menunjukkan Whitehead sebagai pembenci ilmu yang disebutnya sebagai “ratu geometri” ini. Saya perkirakan Whitehead seperti Sulak, yang menyatakan matanya berbinar-binar memandang matematika.
***
Tapi ketimbang menghabiskan energi buat mempertengkarkan perkara sampingan ini — “a silly pedantry”, kata orang Inggris —saya lebih baik menengok lagi Bab V buku yang sama. Ada yang mengingatkan saya kepada guru favorit saya di sekolah menengah.
Ketika saya belajar geometri, ia memberi pesan: “Ilmu ini jangan kau pikir akan kau pakai untuk jadi insinyur dan membangun jembatan. Di sini kamu harus seperti tak melihat ruang atau garis — hanya angka-angka. Yang akan kamu dapat latihan berfikir keras dan teratur”.
Saya kagum akan kata-kata itu — tapi “An Introduction to Mathematics” memberi saya kearifan: manusia tak selalu harus berfikir keras dan teratur.
Dalam Bab V buku ini Whitehead bicara tentang simbol-simbol matematik dan perannya, dengan sedikit sejarah.
Lambang-lambang matematika membantu manusia “membuat transisi dalam penalaran hampir-hampir secara mekanistis melalui mata”. Dengan adanya lambang, kata Whitehead, manusia tak perlu mengerahkan “kemampuan yang lebih tinggi dari otak”.
Bertolak dari sini,Whitehead menunjukkan betapa salahnya anjuran yang diulang-ulang agar kita “cultivate the habit of thinking of what we are doing”. Sebab kemajuan peradaban terjadi, kata Whitehaed, bersama makin banyaknya kerja penting yang dapat kita lakukan tanpa memikirkannya. “Kerja pikiran”, “operations of thought”, katanya seraya menggunakan metafor peperangan, “itu seperti serbuan pasukan kavaleri”: jumlahnya sangat terbatas, “mereka membutuhkan kuda-kuda yang masih segar”, dan sebab itu harus dilakukan “hanya pada saat yang menentukan.”
Dari sini kita lihat pandangan Whitehead tentang prestasi manusia: sebuah paduan “kerja pikiran” yang bergotong-royong dengan kerja tubuh (dalam menelaah matematika, ada peran “mata” yang mengindra lambang-lambang). Pengalaman manusia dalam istilah Whitehead adalah “kebersamaan” (togetherness) dari pelbagai elemen —tubuh dan pikiran, kesadaran dan alam.
Dari premis ini, dalam “The Concept of Nature” Whitehead mengritik sains modern, yang theorinya menjelaskan pengalaman hanya “semata-mata secara intelektual” (“a purely intellectual rendering of experience”), dan dengan pikiran yang analitik menghasilkan “bifurcation of nature”, ide tentang alam yang terbagi-bagi. Ada yang dianggap “primer”, yakni sisi yang bisa dikuantifikasikan. Sisi yang kualitatif, misalnya nilai estetik, warna dan bau, itu “sekunder”.
Dalam perkembangannya, sisi yang ”primer” itu diposisikan untuk menjelaskan sisi “sekunder”. Dengan bentuk matematis, sisi ini tak bicara sendiri. Maka warna, misalnya, tak lain hanya frekuensi-gelombang elektromagnetik.
Menguraikan “bifurcation of nature”, suara Whitehead seperti murung. Dalam “Modes of Thought” ia menulis: “The concrete world has slipped through the meshes of the scientific net”.
Itulah mula bukanya sains modern. Whitehead menamakannya “materialisme”, yang menganggap alam sebagai himpunan materi, yang mengartikan waktu sebagai deretan bagian-bagian yang satu dimensional.
Whitehead anggap ini “buta” karena hanya berdasar satu sisi pengalaman manusia. Juga keliru. Karena, seperti dilakukan sejak Newton, sains modern “meniadakan…moda intuitif kita [buat memahami dunia]”. Sains modern gagal menangkap alam sebagai “togetherness of things”.
Tapi sains modern ini mujur, kata Whitehead, karena dirumuskan di zaman ketika pemikiran ilmiah sedang segar-segarnya. Ia mendominasi bahasa dan imajinasi sains semenjak sains berkembang ramai di Alexandria. Ia berlanjut terus, sehingga sulit hari ini kita berbicara tanpa menerapkannya.
Tak berarti Whitehead menolak sains. Kritiknya ditujukan ke arah kekekeliruan sains modern, ketika bertopang pada FMC, “fallacy of misplaced concreteness” — ya, kepada kekacuan membaca dunia-kehidupan. Bagi Whitehead, sains modern keliru menganggap dunia yang dibentuk dalam konsep, (dalam kata-kata Husserl, ditutupi “jubah ide”), seolah-olah itu sang realitas sendiri.
Dengan semangat “empirisme radikal”, Whitehead menganggap salah jika sains hanya berkelana dalam abstraksi — dan melalaikan yang kongkrit di dunia dan nasib manusia.
Tapi ia tak bersikap ekstrim. Ia tahu abstraksi dalam sains (bahkan dalam bahasa) tak bisa ditiadakan, hanya perlu diperbaiki. Ia cuma ingin sains tak menjauh, bahkan selalu berkelindan, dengan pengetahuan lain.
Sebab kita tak mengalami dunia hanya dengan akal. Realitas adalah sebuah “event”, “kejadian” yang berproses terus. Dalam tiap kejadian, hubungan berlangsung antara “obyek-obyek indrawi” (suara, warna, aroma) dan “obyek ilmu” (molekul, gelombang elektromagnetik), dan gabungan keduanya.
“When you undertand all and all about the atmosphere and all about the rotation of the earth, you may still miss the radiance of the sunset.”
Dalam konstelasi itu, sains tetap akan berada di “tempat yang bersih dan lampunya terang”, untuk meminjam satu kalimat Hemingway. Sains bukan anggota masyarakat pengetahuan yang patut dicurigai. Tapi — dan ini sekali lagi saya ucapkan dalam polemik ini —ia tak perlu dipromosikan ke markas komando, menjadi otoritas tertinggi untuk kebenaran dan kebijakan.
***

Jakarta, 12 Juni 2020.

Sumber: https://www.facebook.com/gmgmofficial/posts/3557211867626253?__tn__=K-R

No comments