TERBARU

Ulil, Sains itu tidak Pongah, Cuma tidak Berbagi Kebenaran

Hasanudin Abdurakhman, motivator dan kolomnis alumni Jurusan Fisika UGM dan Tohoku University.

Ulil Abshar Abdalla menulis soal kepongahan sains. Apa sih? Yang dia tuding adalah pandangan "saintisme" yang menganggap sains adalah satu-satunya penjelas soal Kehidupan, huruf "k" ditulis dengan huruf besar.
Saya tak sepenuhnya paham dengan apa yang dimaksud kepongahan oleh Ulil. Juga apa yang dia maksud dengan Kehidupan, karena tak ada penjelasan soal itu. Tapi setahu saya sains memang tak mau berbagi soal kebenaran.
Sains, misalnya, menjelaskan asal muasal kehidupan dengan teori evolusi. Kehidupan sekarang, dengan begitu banyak ragam spesies makhluk hidup, menurut sains, berasal dari proses evolusi. Sains belum bisa menjawab bagaimana makhluk hidup paling awal muncul dari senyawa-senyawa organik. Tapi sains hanya menerima atau menganut penjelasan itu. Bahwa kehidupan berasal dari evolusi organisme sederhana, kemudian berevolusi menjadi makhluk yang lebih kompleks, lalu terus berevolusi menjadi berbagai spesies, termasuk spesies homo sapiens, yaitu kita ini.
Sains tidak pongah, karena mengaku pada hal-hal yang dia belum tahu, seperti soal bagaimana senyawa organik menjadi organisme tadi. Tapi sains tidak berbagi kebenaran, khususnya dengan agama. Agama punya teorinya sendiri soal bagaimana munculnya makhluk-makhluk itu. Yaitu diciptakan oleh Tuhan. Manusia, menurut teori agama, diciptakan secara khusus oleh Tuhan, dengan tanah sebagai bahan bakunya. Sains tidak peduli soal itu. Tidak menggubrisnya. Juga tidak mempertimbangkannya sebagai suatu kemungkian yang bisa diadopsi dalam sains. Dalam ungkapan kasar, bagi sains teori itu nonsense. Nah, anggapan nonsense ini yang dianggap Ulil sebagai kepongahan.
Kaum agamawan bersikap beragam terhadap sains. Ada yang menganggap sains itu sesat. Ada yang menganggap sains dan agama itu paralel. Paralel maksudnya adalah narasi-narasi agama soal alam masih bisa cocok dengan narasi sains. Bagi saya, maaaf saja, yang terjadi adalah pencocokan. Sesuatu yang jelas-jelas tidak cocok, ditekuk-tekuk, supaya nampak cocok. Cukup menghibur, tapi tidak benar.
Ada pula kelompok yang tidak mau membenturkan keduanya. Quraish Shihab, saya kira, masuk dalam kelompok ini. Sains dan agama harus berjalan sendiri-sendiri. Sains tidak bisa menyalahkan agama, juga tidak perlu jadi pembenarnya.
Sains tidak merambah ke wilayah agama. Benturan terjadi karena keduanya sesekali membicarakan subjek yang sama, yaitu alam. Sains menjelaskan alam dari hasil obervasi dan olah pikir matematis. Sains membuat model alam semesta dari secuil informasi yang ia miliki. Agama menjelaskan alam semesta dengan Tuhan sebagai pencipta dan pengaturnya. Tapi penjelasan agama itu sama sekali tidak direken oleh sains. Sains sama sekali tidak merujuk ke penjelasan itu.
Yang repot merujuk ke sains adalah kaum agamawan. Tadinya mereka percaya bahwa alam semesta diciptakan secara instan oleh Tuhan. Lalu mereka beralih ke pandangan bahwa ada proses dalam penciptaan itu, karena sains menunjukkan adanya proses. Konyolnya, ada yang menerima dan memakai teori sains sebagian, tapi menolak sebagian yang lain, yaitu teori evolusi tadi.
Reaksi sains? Tidak mereken. Tidak ada rumusan sains yang diubah karena keberatan agama. Tidak pula sains menjadikan penjelasan agama itu sebagai sesuatu yang patut dipertimbangkan. Sekali lagi, dalam narasi tertentu bisa dikatakan bahwa sains menganggapnya nonsense. Apakah ini pongah? Kalau mau dianggap pongah, ya monggo. Tapi itu tidak mengubah apapun.
Apakah sains menjelaskan semua hal? Tidak. Sains tidak berminat menjelaskan hal-hal lain di luar subjek yang ia tekuni. Narasi agama soal alam gaib dan Tuhan tidak digubris oleh sains. Kalau agama menjelaskan soal-soal itu, sains tidak peduli. Ilmuwan, misalnya, tidak berusaha mencari tahu bagaimana proses seorang perempuan bisa hamil tanpa suami, atau orang bisa naik ke langit. Kalau wilayah itu mau dimonopoli oleh agama, ya monggo. Tidak peduli itu bisa dimaknai sebagai sains menganggap bahwa hal-hal itu bukan subjeknya, bisa juga karena menganggapnya nonsense. Inikah yang disebut pongah oleh Ulil? Kalau iya pun, sekali lagi itu tak mengubah apapun soal sains maupun perilaku ilmuwan terhadap sains.
Bagi sains, sejauh yang saya tahu, hanya ada kehidupan, tidak ada Kehidupan. Saya mencoba menafsir Kehidupan itu adalah berbagai dimensi non-jasadi, atau dunia pasca dunia fisik, yang dijelaskan oleh agama. Orang beragama boleh yakin soal itu, sains tidak keberatan. Tapi sekali lagi, sains tidak peduli.
Kalau bagi Ulil ada ruang kompromi di mana sains dan agama bisa cocok dan rukun, saya ingin tahu dalam hal apa yang dia maksud. Kalau ada ruang di mana sains mau berbagi kebenaran dengan agama, saya ingin tahu.

Sumber: https://www.facebook.com/hasanudin.abdurakhman/posts/10221918831980718

No comments