Kekerasan dalam Rumah Tangga
Sepasang manusia yang ingin menikah tidak
cukup berbekal modal saling mencintai saja. Juga, idak cukup hanya dibekali
tuntunan dari orang tua, saudara dekat, serta penceramah agama saat mereka
dinikahkan.
Pernikahan bukan sekedar menyatukan dua
fisik, namun bersatunya dua ruh yang akan memerlukan penyesuaian diri sepanjang
hidup, sejalan dengan proses kehidupan yang sedang dijalani dari waktu ke
waktu.
Jika kurang dipersiapkan secara matang, maka
kasus-kasus yang menyakitkan akan terjadi, jauh dari harapan pasangan yang harusnya
saling memberi kebahagiaan & saling mendukung pada kebaikan.
Bisa kita bayangkan sedihnya kalau anak kita
diselingkuhi suaminya dan kemudian dianiaya sedemikian keras.
'Audzubillahhimindzalik.
Dalam agama Islam, suri tauladan seorang suami adalah Rasulullah
SAW yang selalu memperlakukan isterinya dengan baik dan lembut. Ini tentu
sesuai dengan hadist nabi yang bersabda bahwa laki-laki yang mulia adalah yang
memuliakan wanita.
Dalam Al Qur'an juga jelas difirmankan Allah
SWT bahwa suami-isteri adalah "zawj"
atau pasangan. Seperti sepatu kanan dan sepatu kiri, mereka selalu berjalan
beriringan.
Jadi hubungan suami istri yang sehat adalah yang
memposisikan suami dan isteri secara sejajar. Tidak ada yang mendominasi serta
salah satu tidak ada yang mengancam, yang represif. Apalagi melakukan
kekerasan, baik verbal maupun fisik.
Jika kekerasan verbal atau fisik masih dalam
kategori ringan, maka korban, pelaku
maupun lingkungan terdekat bisa menganggap hal tersebu hanya "bumbu"
atau dinamika pernikahan saja.
Namun jika sudah kategori berat, maka korban dari
kekerasan verbal maupun fisik ini merasa harus bertindak untuk "merubah
nasibnya".
Bukankah manusia harus berikhtiar agar
selamat dunia akhirat dan jika kita diam saja, bisa masuk dalam kategori
mendzhalimi diri. Hal tersebut merupakan tindakan berdosa.
Dari kasus-kasus yang saya tangani, kekerasan
secara verbal maupun fisik, umumnya dilakukan kepada pihak yang "lebih
lemah" dibandingkan pasangannya.
Biasanya pihak yang lemah ini berperasaan
sensitif dan banyak toleransinya, jadi dianggap pihak yang selalu sabar dan
banyak mengalah.
Di lain pihak, umumnya pelaku merupakan
individu yang berkarakter keras, "selfish", sulit menahan marah,
keinginannya harus selalu terlaksana, dan cenderung selalu menyalahkan. Bahkan,
ketika dia punya masalah yang tidak ada kaitan dengan pernikahanpun, pasangan
tetap harus selalu mengerti keadaaanya.
Jadi secara emosional karakter pelaku sangat
tidak matang untuk menjalin hubungan yang sehat.
Biasanya pasangan yang tidak matang ini merupakan
individu yang kurang dilatih menerima konsekuensi oleh orangtuanya ketika
dibesarkan dulu.
Beberapa dari kasus-kasus yang saya tangani, para
isteri yang mendapat kekerasan secara
verbal ini umumnya menjadi tidak tahan untuk memperpanjang usia pernikahannya.
Mereka umumnya sudah mengalami psikosomatis yang
berat, hingga harus keluar masuk rumahsakit.
Untuk kasus-kasus seperti itu, disertai panduan
agar memiliki usaha yang produktif terlebih dulu, agar mereka bisa mandiri
secara ekonomi, maka akhirnya ia berani menggugat cerai atau berani menerima
tantangan ketika suami mengancam menceraikannya. Sebelum perpisahan terjadi,
kondisi psikis ibu dan anak-anak hendaknya
dipersiapkan dengan baik, sehingga dampak perceraianpun menjadi minimal.
Untuk kasus kekerasan secara fisik, tentu harus
dilihat urgensinya seperti apa. Jika sudah merupakan kekerasan yang sudah
membahayakan keselamatan jiwa, maka harus segera dilakukan tindakan.
Adapun tindakan yang urgent ini adalah dengan
melaporkan data akibat kekerasan fisiknya
sebagai visum pihak yang berwajib (kepolisian).
Selanjutnya keputusan pihak keluarga
korbanlah yang menentukan apakah kasus ini akan diselesaikan dengan berdamai ataukah akan dilanjutkan ke ranah
hukum.
Baik penyelesaian secara kekeluargaan maupun
secara hukum, tentu memiliki konsekuensi masing-masing.
Jika diselesaikan secara kekeluargaan dan
tanpa campur tangan pihak berwajib, tentu pihak keluarga harus betul-betul
perlu waktu mempertimbangkan relasi seperti apa yang akan dijalani pasangan ini
di kemudian hari
Banyak kasus di ruang praktek, si pelaku
minta maaf dan menyesal yang luar biasa,
bahkan bisa sampai menyembah-nyembah pasangannya agar ia diterima kembali.
Jika kejadian ini hanya khilaf, kemungkinan
hubungan mereka akan lebih baik, karena kejadian tersebut merupakan pelajaran yang
sangat berharga untuk mereka.
Itupun setelah pihak pelaku menjalani sesi terapi "anger management" dan si korban menjalani sesi terapi menghilangkan peristiwa yang sangat traumatis tersebut.
Namun perlu dicermati, bahwa banyak pelaku yang
masuk dalam kategori memiliki "immature
behavior", dibandingkan periode kepribadian sebayanya, tertinggal dalam
mengelola aspek kognitif, emosi dan dorongannya.
Sayangnya, immature behavior ini jarang yang kemudian bisa berubah menjadi
pribadi yang matang. Sehingga, akhir hidupnya tetap bertindak dengan kurang
pertimbangan dan tidak perduli pada konsekuensi yang akan diambil dan terus
menerus mengulang perilaku yang sama.
Adapun pihak korbanpun tentu memerlukan waktu
untuk pulih dari trauma kekerasan fisik yang bisa merenggut nyawanya tersebut. Sangat
disayangkan jika satu trauma belum pulih, sudah timbul trauma baru karena
pasangan yang kembali berulah.
Jika sang pelaku kemudian berubah
perilakunya, umumnya terjadi karena tindakan-tindakan dia itu "kena
batunya". Misalnya ditinggalkan anak-isteri dan kehilangan pekerjaan,
serta para "pelakor" pun sudah tidak ada yang mau lagi menerimanya.
Dengan kasus-kasus seperti ini, banyak dari
pelaku yang kemudian betul-betul insyaf dan bertaubat, banyak pula yang lebih mendekat pada agama
dan bahkan menjadi lebih sholeh dari individu umum pada periode seusianya.
Alhamdulillah, Allah SWT telah memberinya
hidayah.
Semoga kasus KDRT baik fisik atau verbal yang
masih marak di negara berkembang seperti negara kita ini terus bisa berkurang
dan bisa dicegah. Antara lain, dengan mempersiapkan pasangan dengan baik sejak
masa pranikah.
Para pelaku juga semoga kemudian menjadi jera dengan tindakan yang sangat menghinakan wanita ini, yang sebetulnya menistakan dirinya sendiri. Jauh dari tuntunan agama, yang seharusnya memuliakan wanita. [*]
No comments