TERBARU

Kekerasan dalam Rumah Tangga

Farah T. Suryawan, Dra.Psi, MPd, Koordinator Biro Psikologi Terpadu Prime Potenzia, Samya Health Care Bandung.

Sepasang manusia yang ingin menikah tidak cukup berbekal modal saling mencintai saja. Juga, idak cukup hanya dibekali tuntunan dari orang tua, saudara dekat, serta penceramah agama saat mereka dinikahkan.

Pernikahan bukan sekedar menyatukan dua fisik, namun bersatunya dua ruh yang akan memerlukan penyesuaian diri sepanjang hidup, sejalan dengan proses kehidupan yang sedang dijalani dari waktu ke waktu.

Jika kurang dipersiapkan secara matang, maka kasus-kasus yang menyakitkan akan terjadi, jauh dari harapan pasangan yang harusnya saling memberi kebahagiaan & saling mendukung pada kebaikan.

Bisa kita bayangkan sedihnya kalau anak kita diselingkuhi suaminya dan kemudian dianiaya sedemikian keras.

'Audzubillahhimindzalik.

Dalam agama Islam,  suri tauladan seorang suami adalah Rasulullah SAW yang selalu memperlakukan isterinya dengan baik dan lembut. Ini tentu sesuai dengan hadist nabi yang bersabda bahwa laki-laki yang mulia adalah yang memuliakan wanita.

Dalam Al Qur'an juga jelas difirmankan Allah SWT bahwa suami-isteri adalah "zawj" atau pasangan. Seperti sepatu kanan dan sepatu kiri, mereka selalu berjalan beriringan.

Jadi hubungan suami istri yang sehat adalah yang memposisikan suami dan isteri secara sejajar. Tidak ada yang mendominasi serta salah satu tidak ada yang mengancam, yang represif. Apalagi melakukan kekerasan, baik verbal maupun fisik.

Jika kekerasan verbal atau fisik masih dalam kategori ringan, maka  korban, pelaku maupun lingkungan terdekat bisa menganggap hal tersebu hanya "bumbu" atau dinamika pernikahan saja.

Namun jika sudah kategori berat, maka korban dari kekerasan verbal maupun fisik ini merasa harus bertindak untuk "merubah nasibnya".

Bukankah manusia harus berikhtiar agar selamat dunia akhirat dan jika kita diam saja, bisa masuk dalam kategori mendzhalimi diri. Hal tersebut merupakan tindakan  berdosa.

Dari kasus-kasus yang saya tangani, kekerasan secara verbal maupun fisik, umumnya dilakukan kepada pihak yang "lebih lemah" dibandingkan pasangannya.

Biasanya pihak yang lemah ini berperasaan sensitif dan banyak toleransinya, jadi dianggap pihak yang selalu sabar dan banyak mengalah.

Di lain pihak, umumnya pelaku merupakan individu yang berkarakter keras, "selfish", sulit menahan marah, keinginannya harus selalu terlaksana, dan cenderung selalu menyalahkan. Bahkan, ketika dia punya masalah yang tidak ada kaitan dengan pernikahanpun, pasangan tetap harus selalu mengerti keadaaanya.

Jadi secara emosional karakter pelaku sangat tidak matang untuk menjalin hubungan yang sehat.

Biasanya pasangan yang tidak matang ini merupakan individu yang kurang dilatih menerima konsekuensi oleh orangtuanya ketika dibesarkan dulu.

Beberapa dari kasus-kasus yang saya tangani, para isteri yang mendapat  kekerasan secara verbal ini umumnya menjadi tidak tahan untuk memperpanjang usia pernikahannya.

Mereka umumnya sudah mengalami psikosomatis yang berat, hingga harus keluar masuk rumahsakit.

Untuk kasus-kasus seperti itu, disertai panduan agar memiliki usaha yang produktif terlebih dulu, agar mereka bisa mandiri secara ekonomi, maka akhirnya ia berani menggugat cerai atau berani menerima tantangan ketika suami mengancam menceraikannya. Sebelum perpisahan terjadi, kondisi psikis ibu dan anak-anak hendaknya  dipersiapkan dengan baik, sehingga dampak perceraianpun menjadi minimal.

Untuk kasus kekerasan secara fisik, tentu harus dilihat urgensinya seperti apa. Jika sudah merupakan kekerasan yang sudah membahayakan keselamatan jiwa, maka harus segera dilakukan tindakan.

Adapun tindakan yang urgent ini adalah dengan melaporkan data akibat kekerasan fisiknya  sebagai visum pihak yang berwajib (kepolisian).

Selanjutnya keputusan pihak keluarga korbanlah yang menentukan apakah kasus ini akan diselesaikan dengan  berdamai ataukah akan dilanjutkan ke ranah hukum.

Baik penyelesaian secara kekeluargaan maupun secara hukum, tentu memiliki konsekuensi masing-masing.

Jika diselesaikan secara kekeluargaan dan tanpa campur tangan pihak berwajib, tentu pihak keluarga harus betul-betul perlu waktu mempertimbangkan relasi seperti apa yang akan dijalani pasangan ini di kemudian hari

Banyak kasus di ruang praktek, si pelaku minta maaf dan  menyesal yang luar biasa, bahkan bisa sampai menyembah-nyembah pasangannya agar ia diterima kembali.

Jika kejadian ini hanya khilaf, kemungkinan hubungan mereka akan lebih baik, karena kejadian tersebut merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk mereka.

Itupun setelah pihak pelaku menjalani sesi terapi "anger management"  dan si korban menjalani sesi terapi menghilangkan peristiwa yang sangat traumatis tersebut. 

Namun perlu dicermati, bahwa banyak pelaku yang masuk dalam kategori memiliki "immature behavior", dibandingkan periode kepribadian sebayanya, tertinggal dalam mengelola aspek kognitif, emosi dan dorongannya.

Sayangnya, immature behavior ini jarang yang kemudian bisa berubah menjadi pribadi yang matang. Sehingga, akhir hidupnya tetap bertindak dengan kurang pertimbangan dan tidak perduli pada konsekuensi yang akan diambil dan terus menerus mengulang perilaku yang sama.

Adapun pihak korbanpun tentu memerlukan waktu untuk pulih dari trauma kekerasan fisik yang bisa merenggut nyawanya tersebut. Sangat disayangkan jika satu trauma belum pulih, sudah timbul trauma baru karena pasangan yang kembali berulah.

Jika sang pelaku kemudian berubah perilakunya, umumnya terjadi karena tindakan-tindakan dia itu "kena batunya". Misalnya ditinggalkan anak-isteri dan kehilangan pekerjaan, serta para "pelakor" pun sudah tidak ada yang mau lagi menerimanya.

Dengan kasus-kasus seperti ini, banyak dari pelaku yang kemudian betul-betul insyaf dan bertaubat,  banyak pula yang lebih mendekat pada agama dan bahkan menjadi lebih sholeh dari individu umum pada periode seusianya.

Alhamdulillah, Allah SWT telah memberinya hidayah.

Semoga kasus KDRT baik fisik atau verbal yang masih marak di negara berkembang seperti negara kita ini terus bisa berkurang dan bisa dicegah. Antara lain, dengan mempersiapkan pasangan dengan baik sejak masa  pranikah.

Para pelaku juga semoga kemudian menjadi jera dengan tindakan yang sangat menghinakan wanita ini, yang sebetulnya menistakan dirinya sendiri. Jauh dari tuntunan agama, yang seharusnya memuliakan wanita. [*]

No comments