TERBARU

Do Do Daidi

Salah satu ragam hias Aceh dan tutup kepala Aceh atau meukeutop/ilustrasi. [kasim mochtar]

“Hingga hampir dua dekade lagu tersebut diproduksi, ia masih menjadi haluan dengar yang asyik. Lagunya abadi, suaranya qadim.” Demikian sebuah akun menulis tentang lagu Do Do Daidi, Panglima Prang dan Haro Hara yang dinyanyikan Cut Aja Rizka, salah satu menantu almarhum AM Fatwa, dalam album Nyawoung karya Komunitas Nyawoung (2000).

Akun tersebut menuliskan puja-puji itu terkait peluncuran album Cut Aja lainnya, Meusyeuhu (2018). Namun, pujiannya tak berlebihan. Para pengamat musik Aceh menyebut, kehadiran album Nyawoung  dianggap berhasil mengembalikan nyawa (nyawoung) lagu Aceh – baik musik maupun lirik-liriknya.Walau tidak semua lagu. Beberapa tetap saja dianggap sebagai lagu berbahasa Aceh.

Ihwal “nyawa lagu Aceh” itulah, tampaknya, yang membuat Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Nanggroe Aceh Darussalam memanggil sekitar 20 produser/penyanyi/musisi setempat, November 2003 atau enam bulan setelah DOM diberlakukan di provinisi tersebut.

Joe Samalanga, inisiator album tersebut, memang tak ikut diundang dalam pertemuan itu. Karena, sebagaimana Cut Aja, alumni IISIP Lenteng Agung itu tinggal di Jakarta. Namun, album Nyawoung termasuk satu dari belasan album lagu Aceh yang diminta PDMD ditarik dari peredaran.

Do Do Daidi sendiri sebenarnya sebuah dodoi, lullaby, lagu pengantar tidur. “Dô da berasal dari kata peudôda yang berarti bergoyang, dan idi berarti berayun,” tulis laman ceritabahasa, ihwal sejenis haplologi yang mengawali lirik lagu itu. Namun, lirik lainnya benar-benar “khas syair-syair Aceh”: Berisikan nasihat dan ajakan untuk tak gentar membela negeri – lewat perang.

Selepas tsunami menerpa Aceh (2004), lagu ini kerap mengiringi video atau liputan televisi mengenai musibah besar tersebut.

 

Allah hai dô dô da idi
Boh gadông bi boh kayèe uteun
Rayek sinyak hana peu ma bri
‘Ayéb ngön keuji ureueng dônya kheun

Allah hai dô dô da idi
Buah gadung dan buah-buahan  hutan
Cepat besar anakku, tapi tiada yang dapat Ibu berikan
Aib dan keji yang dikatakan orang-orang

Allah hai dô dô da idang
Seulayang blang ka putôh taloe
Beurijang rayek muda seudang
Tajak bantu prang tabila nanggroe

Allah hai dô dô da idang
Layang-layang di sawah tlah putus talinya
Cepatlah besar, Anakku, oh, Banta Seudang!
Ikut berperang untuk membela bangsa

Wahé aneuek bek taduek lé
Beudöh saré tabila bansa
Bèk tatakot keu darah ilé
Adak pih maté poma ka rèla

Bangunlah anakku, janganlah duduk kembali
Berdiri bersama pertahankan bangsa
Jangan takut walau darah harus mengalir
Sekiranya engkau mati, Ibu telah rela

Jak lôn tatèh, meujak lon tatèh
Beudoh hai aneuek tajak u Acèh
Meubèe bak ôn ka meubèe timphan
Meubèe badan bak sinyak Acèh

Mari Ibu latih kamu berjalan
Bangunlah, Anakku, mari pergi ke Aceh
Sudah tercium wangi daun timphan
Seperti wangi tubuh anak Aceh

Allah hai Po Ilahon hak
Gampông jarak h’an trôh lôn woe
Adak na bulèe ulon teureubang
Mangat rijang trôk u nanggroe

Allah Sang Pencipta yang punya kehendak
Jauhnya kampong  tak sampai untuk ku kembali
Seandainya punya sayap untuk terbang
Supaya lekas tiba di Nanggroe

Allah hai jak lôn timang preuek
Sayang riyeuk jisipreuek panté
‘Oh rayek sinyak nyang puteh meupreuek
Töh sinaleuek gata boh haté

Kemarilah, Nak, agar Ibu dapat menimangmu
Sayangnya ombak memecah pantai
Jika anakku yang putih ini sudah besar
Di manakah engkau akan berada nanti, duhai buah hatiku?

 

Maman Gantra

Catatan: Video dan terjemahan bebas lagu ini dikerjakan Karim Mochtar berdasarkan terjemahan yang disajikan situs ceritabahasa.

No comments