TERBARU

Senirupa dan Korupsi

Bung Karno saat menghadiri sebuah pameran lukisan. (Wikimedia Commons)

Anggaran belanja lukisan tiap daerah berbeda-beda, dan itu menunjukkan kelas lukisan yang di koleksinya. Ada istilah lukisan "jelekongan" lukisan yang dibuat secara "mass production" sehingga bisa berharga murah.

Sementara, selain fungsi keindahan, lukisan dan karya seni lainnya juga mempunyai fungsi investasi. Terkait ini, harganya tidak sembarangan. Harga lukisannya ada yang trilyunan, milyaran dan ratusan juta.
Tentang anggaran, setiap pemda atau pemkab memiliki angka berbeda. Sulawesi Selatan, misalnya, mematok Rp 6 jutaan per lukisan. Jawa Timur sebesar Rp 17 jutaan per lukisan. Sedangkan Kabupaten Garut menganggarkan Rp 130 jutaan -- tanpa menjelaskan angka tersebut untuk berapa lukisan dan "level" lukisan seperti apa yang akan dikoleksi.

Penulis dengan salah satu karya lukisannya, Hotel Homann. (Koleksi Penulis)

Untuk Garut, walaupun ada anggarannya, tapi secara pribadi saya belum merasakannya alias belum ada karya saya yang dikoleksi dari anggaran tersebut. Walaupun pada saat pembukaan Galeri Lukis Asep Dunia (GLAD) Bupatinya sempat tertarik dengan lukisan berjudul "KKN". Lukisan "Hotel Homann" saya yang menjadi salahsatu gambar ilustrasi artikel ini adalah lukisan yang dikoleksi salah seorang pemimpin daerah, dengan harga puluhan juta dan sebagian besar hasilnya saya dedikasikan untuk kegiatan peduli covid beberapa tahun lalu, tapi yang jelas kolektornya bukan dari Garut.
Sementara itu, berita media menyebutkan, KPK diminta mengusut anggaran lukisan di beberapa daerah. Hal ini, tentu saja problematik. Saya berharap, hal ini jangan sampai mematikan minat lembaga pemerintah untuk mengkoleksi lukisan yang justru terus didorong oleh para pegiat seni. Dan ini tidak cukup dengan pendekatan logika hukum saja. Namun, harus dengan pemahaman komprehensif tentang lukisan, yang selain fungsi keindahan, juga ada kaitannya dengan branding dan investasi.
Mengapa isu koleksi lukisan jadi sensitif? Apakah karena sisi relatifnya? Apakah semata berkonotasi gaya hidup? Sebagai barang mewah sehingga pejabat pemerintah tidak layak menjadi kolektor lukisan? Apakah tidak pantas suatu daerah menunjukkan kelas peradabannya? Sementara, taraf peradaban sebuah negara atau daerah nyaris identik dengan jumlah dan kualitas lukisan yang dikoleksinya.
Baru baru ini kabar disampaikan di media bahwa SYL, terduga korupsi Kementan, pernah mengkoleksi lukisan Suwijo Tejo. Berita ini seakan sedang mengaitkan lukisan dengan korupsi. Dan ini tidak bagus untuk perkembangan geliat seni lukis kalau "di sakompet daunkeun alias dipukul rata atau dibuat seakan-akan semua seperti itu.

Berita anggaran pembelian lukisan oleh sejumlah pemda dan mantan Menteri Pertanian. (Screenshoot)

Sebenarnya bukan besar anggarannya yang harus disoroti tetapi praktik penganggarannya, apakah menyalahi etika dan aturan? Kalau memang sudah dianggarkan dan jumlahnya wajar, serta disetujui DPR atau DPRD, itu tidak ada salahnya. Berbeda bila praktek pengkoleksian lukisan atau karya seni itu tidak dianggarkan -- dan saat butuh koleksi lukisan sampai meminjam dana vendor. Ini yang salah dan jadi masalahnya. Intinya, koleksi lukisan atau karya seni itu harus melalui proses dan praktik anggaran yang akuntabel.
Dulu, lukisan berjaya hingga menghiasi Istana Presiden. Dan yang paling banyak mengkoleksi itu Presiden Soekarno. Dan pengkoleksian lukisan oleh pemimpin seperti ini bisa menginspirasi pemimpin atau pejabat lainnya, bahkan pengusaha, untuk ikut mengkoleksi lukisan. Inilah yang harus didorong atau diangkat -- bukan dikaitkan dengan korupsinya. Isu pembangunan infrastruktur seni lukis, terutama rumah pelelangan, yang harus terus diangkat; agar terbangun akuntabilitas dari penggunaan anggaran. Bahwa anggaran besar tak masalah. sejauh lukisan tersebut dinilai layak.

Pada saat peringatan Hari Pendidikan dan Menggambar tgl 4 mei 2024 lalu, GLAD membuat acara dan saat beberapa tokoh tunas integritas berkomentar bahwa ada perbedaan yang mencolok dimana kalau di Ubud (souvenir) dan Jelekongan lukisan itu identik dengan sawah dan relatif sederhana, namun kalau melihat lukisan di GLAD cenderung kaya wawasan dan banyak bentuk serta kisah.
Maju terus seni rupa Indonesia, karya karya lukisan dan koleksi lukisan merupakan cerminan kemajuan pikiran dan ide ide yang terus bergerak maju tidak hanya bernuansa masa lalu namun dapat menjadi jembatan gambaran masa depan untuk menginspirasi semua anak bangsa.

Asep Chaeruloh,
Pelukis dan Pengelola Galeri Lukis Asep Dunia (GLAD), Garut

No comments