TERBARU

Revisi UU TNI Ancaman bagi Demokrasi?

Potret orasi di depan Gedung DPRD Provinsi Sumbar, Jumat, 21 Maret 2025. [Anggelita/Ganto]

DPR menyetujui pengesahan Revisi Undang-Undang TNI menjadi undang-undang dalam rapat paripurna, Kamis, 20 Maret 2025. Pengesahan dilakukan di tengah gelombang protes dan penolakan dari masyarakat sipil, salah satunya demo di depan Gedung DPR RI.

Mengapa revisi UU TNI jadi ancaman bagi demokrasi?

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Bivitri Susanti menilai UU TNI berpotensi mengancam demokrasi. Produk hukum itu juga dinilai bisa memperburuk prinsip tata kelola pemerintahan.

Apalagi pembahasan revisi itu juga dikritik karena terburu-buru dan tidak membuka drafnya ke publik.

"Kita seakan-akan punya preseden yang makin kuat dan saya khawatir ini akan terus-menerus berulang tentang pembahasan undang-undang yang demikian tidak partisipatif dan juga bahkan tidak transparan. Ini kan bukan baru ya, waktu Undang-Undang Cipta Kerja juga sama, enggak kita berseliweran cari drafnya, begitu dapat, disalahin lagi, dan seterusnya. Tapi ini lebih, menurut saya levelnya semakin buruk," tegas Bivitri dalam Ruang Publik KBR, Jumat, 21 Maret 2025.

Bivitri juga menyoroti perluasan jabatan sipil bagi tentara aktif. Sebelum direvisi, TNI aktif boleh menduduki 10 jabatan sipil. Setelah revisi, jumlah itu ditambah menjadi 14 kementerian/lembaga.

"Tapi dalam segi hukum tentara negara, ini akan merusak pola demokratik governance kita. Pemerintahan yang demokratis itu misalnya pembentukan kebijakannya harus bottom-up, harus partisipatif, harus transparan. Nah padahal pola-pola dalam tentara pasti top-down. Karena komandan itu tidak bisa dibantah, beda dengan orang-orang yang hidup dalam sebuah kultur demokrasi," ungkap Bivitri .

Pengesahan Undang-Undang TNI membuka peluang bagi militer untuk memperluas pengaruhnya dalam pemerintahan sipil. Bivitri menilai regulasi ini memberikan presiden keleluasaan besar untuk memanfaatkan aturan tersebut, yang berpotensi merusak prinsip demokrasi.

"Cangkang undang-undang ini sudah dibuat, tinggal diisi saja. Karakter pemerintahan yang komando akan memanfaatkan ini. Sehingga kalau pertanyaannya, apakah nanti akan terjadi seperti zaman dulu, kalau saya sih sangat mengkhawatirkan itu. Karena sudah dibukakan pintunya. Ini sebagian sudah terjadi," jelas Bivitri.

Menurut Bivitri, DPR gagal menjalankan perannya sebagai lembaga legislatif yang seharusnya mengawasi jalannya pemerintahan secara kritis. Ketundukan DPR terhadap pemerintah, termasuk dalam proses pengesahan undang-undang ini, menunjukkan lemahnya independensi lembaga tersebut dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.

"Kemarin DPR begitu manut-manut saja. Bahkan Ketua Panja diundang oleh Pak Prabowo sehari sebelum undang-undang ini disetujui. Karena DPR menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah," ujar Bivitri .

Bivitri menegaskan pentingnya peran masyarakat sipil sebagai penyeimbang di tengah lemahnya pengawasan dari lembaga legislatif.

"Kita melawan sehormat-hormatnya. Jadi sampai titik akhir untuk juga memberikan pendidikan publik tentang kesalahan undang-Undang ini," tambah Bivitri.

Dita Alyaaulia (Jakarta)
SUMBER: kbr.id

No comments