Peradaban Berawal dari Aksara
Setiap tanggal 8 September kita memperingati Hari Aksara. Aksara atau huruf adalah satuan lambang terkecil dari komunikasi berbentuk tulisan. Tulisan punya andil besar terhadap peradaban. Begitu pentingnya tulisan, kehadirannya selalu menjadi tonggak awal sejarah.
Tulisan, pada awal-awal perkembangannya lebih merupakan bentuk ungkapan seni simbolik. Tulisan berupa gambar (pictograph) yang dikembangkan oleh bangsa Sumeria (sekarang Irak selatan), Mesir, India, China dan Meso-Amerika dalam perjalanannya lebih berkembang pada pusat-pusat keagamaan dan kekuasaan. Mungkin karena sulit dan sangat banyak lambang yang harus dihapal, masyarakat kebanyakan tak tertarik. Tulisan menjadi lebih bersifat suci dan ideologis. Selain untuk menyimpan, mengawetkan, dan mengkomunikasikan ajaran dan aturan, peran tulisan pictograph punya corak khas yaitu menggambarkan dunia seperti yang diinginkan penguasa.
Ketika tulisan fonetik (phonetic) dikembangkan pertamakali oleh Bangsa Phoenicia (sekarang menjadi Suriah) serta merta cara menulis ini memikat banyak minat. Cara menulis menggunakan lambang-lambang bunyi (phonograph) jauh lebih sederhana dan mudah dipelajari. Pertemuan kebudayaan (karena perang, perdagangan dsb.) mempercepat cara menulis baru ini menyebar dan diadopsi berbagai bangsa dengan beberapa penyesuaian berlambang. Abjad pertama dan kedua Bangsa Phoenicia yang berbunyi /aleph/ dan /beth/ oleh Bangsa Yunani diganti menjadi /alpha/ dan /betha/. Bangsa Romawi menyebutnya /a/ dan /be/. Sistem menulisnya pun diganti dari kiri ke kanan. Sedangkan Bangsa Arab menyebutnya /alif/ dan /ba/ dengan tetap mempertahankan cara menulis dari kanan ke kiri hingga sekarang.
Penulisan fonetis memperkenalkan suatu bentuk konversasi baru antar manusia. Tulisan menjadi pengganti bagi ujaran. Untuk bisa memahami isi ucapan tanpa harus dengan cara mendengar, bukanlah soal sepele. Penulisan fonetis menciptakan konsepsi berbeda mengenai cara mengekspresikan sesuatu, cara mengenal dan memahami pengetahuan. Tulisan fonetis menuntut suatu inteligensia tertentu dan memberikan orientasi baru dalam berpikir. Tulisan membawa revolusi persepsi: pergeseran dari telinga ke mata sebagai organ pengolah bahasa.
Plato, menyadari perubahan tersebut sejak teks tertulis berkembang di Yunani. Dalam “Dialogues“-nya, ia mengungkapkan kekhawatiran mengenai perubahan masyarakat akibat tulisan. Plato yakin bahwa menulis itu berbahaya karena bisa merusak ingatan manusia. Plato khawatir maksud penulis sangat mungkin disalahartikan para pembaca.
Berabad-abad setelah itu, akhirnya kita memilih hidup dengan kekhawatiran Plato. Melalui tulisan manusia jadi mampu “mengingat” kejadian berabad-abad yang sudah lewat. Manusia tak lagi perlu menghamburkan kemampuan otak untuk mengingat detail, sehingga bisa dialihkan untuk hal lain yang lebih berguna. Tulisan kemudian berkembang menjadi sebagai sumber informasi dan berperan mentransmisikan pesan dengan kemampuan melampaui ruang dan waktu.
Kemampuan menulis dan memahami tulisan (membaca) tidak lagi eksklusif di lingkungan istana/penguasa dan keagamaan. Kemampuan menulis dan membaca mulai “menjangkiti” kelompok-kelompok masyarakat pemikir dan yang berminat pada pengetahuan. Bagi mereka kata-kata tertulis sangat besar kuasanya. Tulisan lebih dari sekedar memberi hal-hal untuk diingat. Tulisan tak hanya menghadirkan masa lalu ke masa kini. Tulisan menjadi sarana pelengkap pengetahuan yang dimiliki. Tulisan memicu munculnya pertanyaan-pertanyaan baru dan merangsang lahirnya jawaban-jawaban yang saling menyempurnakan. Dialektika pemikiran dalam rangka pencarian kebenaran menemukan muara yang menakjubkan.
“Tak ada orang yang terpelajar” tulis Plato dalam surat ketujuh, “Yang mau mengekspresikan pandangan filsafatnya dalam bahasa, terutama bahasa yang tak dapat dirubah, seperti bahasa tertulis”. Filsafat tak dapat diadakan tanpa kritisisme, dan penulisan memungkinkan suatu konsep diteliti secara mendalam. Penulisan membekukan pembicaraan dan memunculkan para ahli tata bahasa, ahli ilmu logika, ahli ilmu retorika, ahli sejarah, maupun ilmuwan lain – semua yang harus menguasai bahasa untuk dapat mengetahui makna tekstual, letak kelemahannya, dan jawaban kritis yang ditawarkan.
Menulis dan membaca tambah mewabah pasca penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (Jerman) tahun 1441. Gutenberg bukanlah penemu mesin cetak pertama, namun movable type ciptaannya sangat efesien dan mudah melipatgandakan tulisan tercetak dengan huruf yang terpola standar. Walaupun Gutenberg sendiri tidak menikmati hasil temuannya secara finansial, temuannya menyebar dengan cepat ke seluruh Eropa. Hasilnya, berita dan buku-buku tercetak dihasilkan dimana-mana. Literasi meningkat secara dramatis. Kemampuan menulis dan membaca menjadi milik semua orang.
Tak berhenti sampai disitu, penemuan Gutenberg bahkan memperluas gerakan renaisance dan menjadi katalis revolusi ilmu pengetahuan. Bayangkan! Sebelumnya pengetahuan hanyalah milik para pemikir, mengisi kepala perseorangan. Transmisi pengetahuan hanya terjadi dalam kelompok-kelompok terbatas. Namun, pasca kehadiran movable type Gutenberg, pengetahuan tersebar luas dan dapat dinikmati siapa pun, dimana pun, kapan pun. Orang cerdas muncul dimana-mana. Ilmu berkembang pesat. Penemuan demi penemuan yang sebelumnya berlangsung seperti deret hitung, pasca penemuan Gutenberg berlangsung seperti deret ukur. Meningkat fantastis. Tak terbendung.
Sejarah kemudian juga mencatat bangsa dengan masyarakat yang memiliki minat baca tulis yang tinggi terbukti menjadi bangsa yang disegani. Itu sebabnya gerakan untuk meningkatkan minat baca tulis masyarakat tak boleh pernah berhenti. Tak hanya pada setiap peringatan Hari Aksara, tapi pada setiap kesempatan, apapun, dimanapun. Mulai dari keluarga, sekolah, lembaga kemasyarakatan, media massa, hingga pemerintah semuanya harus bahu-membahu mendukung peningkatan minat baca tulis dari waktu ke waktu. Dengan meningkatnya minat baca tulis masyarakat kita mungkin bisa berharap terjadinya percepatan kemajuan hidup berbangsa yang pada bulan lalu genap berusia 70 tahun merdeka.
SUMBER : Pikiran Rakyat, 8 September 2015, Halaman 26
No comments