Jurnalisme Konstruktif
Oleh Subagio Budi Prajitno
Dosen ilmu komunikasi UIN Sunan Gunung Djati dan Pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé
Wajarkah
apabila Walikota Ridwan Kamil (Emil) mengeluhkan pemberitaan tentang orang
miskin di Kota Bandung secara menggebu-gebu oleh Tribun Jabar? Wajar jugakah
jika Presiden Jokowi menyesalkan judul-judul berita yang bombastis dan
berpotensi menimbulkan pesimisme? Berlebihankah kalau Pasha vokalis band Ungu
ingin diperlakukan lebih sopan oleh para jurnalis karena dia sudah menjadi
wakil walikota?
Ketiga pimpinan cabang kekuasaan eksekutif dalam negara berdemokrasi Pancasila ini mungkin belum mengenal konsep nilai-nilai berita (news values) atau sembilan elemen jurnalismenya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Tetapi saya percaya, mereka akan berterima kasih kepada para jurnalis yang mengamalkan kaidah-kaidah jurnalisme universal. Patut kita sesalkan apabila ada jurnalis yang melakukan malapraktek jurnalisme.
Masihkah para jurnalis menganut doktrin “good news is bad news”? Bagi mereka yang bekerja di media abal-abal, berita buruk adalah instrumen pemerasan yang efektif. Terutama jika diarahkan kepada pejabat publik yang korup. Media-media penyebar gosip pun suka berita buruk. Mereka berlomba-lomba memberitakan perselingkuhan, perceraian, perebutan harta gono-gini atau hak pengasuhan anak. Biasanya mangsa media macam ini adalah para selebritas.
Dua contoh di atas mudah dikenali sebagai malapraktek jurnalisme. Tetapi bagaimana dengan berita terbunuhnya ratusan korban oleh ledakan bom teroris di restoran, tempat konser, stadion sepak bola, bahkan dalam pesawat terbang komersial? Bagaimana dengan berita kematian ratusan ribu orang yang tersapu tsunami atau ketua parlemen yang jadi makelar konsesi tambang? Betapa pun menyedihkan atau menyebalkan berita buruk itu, publik perlu tahu.
Salah satu fungsi media massa memang memberi tahu (to inform), selain mendidik dan menghibur. Media progresif menambah fungsinya menjadi ruang publik (public sphere) tempat beragam gagasan beradu, hingga menemukan sintesa yang diterima berbagai pihak. Berkat fungsi inilah media massa menjadi pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Masalahnya, bagaimana tanggung jawab yang berat ini dipraktekkan dalam keseharian jurnalisme.
Telah lahir gerakan positive news pada tahun 1993 yang dipelopori oleh Shauna Crockett-Burrows. Medianya dapat kita akses melalui situs https://www.positive.news/. Motonya adalah inspirasi untuk perubahan. Publikasinya didedikasikan untuk melaporkan perkembangan-perkembangan positif. Mereka memilih perspektif berfokus solusi atas tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat. Mereka menjalankan jurnalisme yang cermat (rigorous) dan sangat menarik (compelling) untuk menginformasikan, menginspirasi dan memberdayakan para pembaca sekaligus membantu membuat media yang lebih seimbang dan konstruktif.
Juli tahun lalu Positive News menjadi koperasi media global pertama yang dibiayai secara keroyokan (crowdfunding). Sekarang media ini menjadi community supported media yang dimiliki para pembacanya selain para penyumbang dan jurnalisnya.
Mungkin model bisnis yang tidak mengejar keuntungan finansial seperti itu yang akan menjadi sekoci penyelamat para jurnalis media massa cetak. Harga kertas yang semakin tinggi akan menjadi pembunuh utama koran-koran dan majalah-majalah cetak, selain persaingan dengan media elektronik.
Media massa
cetak boleh mati, namun jurnalisme tetap hidup sampai kiamat. Para jurnalis
profesional dan amatir (citizen
journalists) akan semakin kompetitif menarik perhatian pembaca dan pemirsa.
Di sinilah letak kepentingan jurnalisme konstruktif bagi publik pada umumnya.
Para jurnalis dituntut makin mahir menampilkan seni pemberitaan konstruktif.
Para pengelola media berlomba-lomba menarik respon positif atas
tantangan-tantangan sosial, merangsang penyehatan mental dan perbaikan
perilaku. Jurnalisme konstruktif mendorong pelibatan orang dalam masyarakat
melalui penyajian berita yang memberdayakan orang untuk merespon isu secara
konstruktif daripada membuat mereka merasa putus asa.
No comments