Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!
Yudhistira ANM Massardi [facebook-sumobagor] |
Yudhistira ANM
Massardi, sastrawan; pengelola sekolah gratis TK-SD Batutis
Al-Ilmi Bekasi.
Jika orientasi
pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan
membentuk mentalitas pegawai, --katakanlah hingga dua dekade ke depan--, yang
akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur. Sekarang saja ada sekitar
750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur.
Jumlah penganggur
itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat
SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu
rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.
Dalam "kalimat
lain", ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan
pendidikan di jenjangnya. Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa
bersekolah hingga ke perguruan tinggi?
Jika jawabannya agar
mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi
tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja,
lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3
juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Jika sebagian besar lapangan kerja
hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus
buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi?
Sir Ken Robinson,
profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya,
yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi
inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan.
Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot.
Lebih dari itu, ia
menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus
dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan
kreativitas.
Paul Krugman,
kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011,
menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di
level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji
tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level
ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang
bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer,
seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.
Kreativitas dan
imajinasi
Fakta lokal dan
kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku
kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang
mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan
pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!
Namun, jika
orientasi masyarakat tetap untuk "jadi pegawai", yang harus
difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat.
Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di
bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis
komputer di perkantoran.
Untuk itu, tak perlu
embel-embel (sekolah) "bertaraf internasional" yang menggelikan itu
karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional. Akan tetapi,
kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di
lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena
itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius
yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini.
Maka, diperlukan
metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan
visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian. Kata kuncinya
adalah "kreativitas" dan "imajinasi"; dua hal yang belum
akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun!
Zaman terus berubah.
Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era
teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital.
Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah.
Hal-hal yang tadinya
dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi
lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru
harus bisa membangun semangat "cinta belajar" pada semua peserta
didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas "cinta belajar", apa
pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk
beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.
Membangun semangat
"cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh
ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer
di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan
menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan
bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka
bahasa yang instan.
Anak-anak cukup
sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka
tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk
mereka, sepanjang manusia masih ada.
Catatan Redaksi: Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas, 8 April 2011. Dimuat ulang atas izin penulisnya.
No comments