TERBARU

Yang tak Adil bagi Petani

Seorang petani di Kasemen, Serang, Banten, menunjukkan hasil panennya. [via zonamuslimah]
Petani merupakan aktor terpenting dalam rantai produksi beras nasional. Sayangnya, petani juga terdidentifikasi sebagai aktor terlemah dalam rantai tersebut. 

“Petani memiliki pengaruh dan kekuatan sangat rendah dalam menentukan harga komoditas beras,” kata Hariadi Propantoko, peneliti dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dalam pemaparan atas hasil kajian KRKP yang membedah peta aktor perberasan nasional, di Bogor, Sabtu, 24 November 2018.

Hariadi menjelaskan, petani berada pada tekanan pasar dan intervensi pemerintah. Saat pemerintah tidak hadir, dalam payung hukum yang ada belum mampu melindungi usaha petani, petani berada pada bayang-bayang kekuatan pasar yang cenderung berpihak pada pemodal besar, dan sering menjadikan petani sebagai obyek pasar. 

Hal ini sering kali ditunjukkan dengan kondisi harga pasar yang fluktuatif, dimana saat petani mendapatkan panen berlimpah, justru saat itu harga panen menurun.

“Saat panen petani mengalami kegagalan, harga panen justru tinggi. Dalam sebuah kelembagaan pemerintah mestinya pemerintah berperan untuk melindungi petani dari kondisi pasar tersebut. Namun, upaya itu memang belum dirasakan oleh petani,” ujar Hariadi.

Saat pemerintah hadir melalui Peraturan Menteri Perdagangan No 27 tahun 2017 yang mengatur tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan acuan harga penjualan di konsumen, ternyata menambah buruk kondisi petani. Pemerintah melakukan pembatasan harga jual di petani, padahal harga pasar sedang bagus-bagusnya.

Temuan di Karawang dan Subang menunjukan, saat diberlakukan harga acuan pembelian pemerintah (HPP) pada petani dimana harga jual gabah kering panen pada tahun 2017 sebelum ditetapkan Permendag No 27/2017 adalah Rp 4.900 per kilogram, namun dengan menggunakan instrumen Permendag tersebut harga yang diterima petani menjadi hanya Rp 3.700 per kilogram. 


“Nilai ini mengalami penurunan sangat jauh yang menyebabkan penurunan penghasilan bagi petani,” tegas Hariadi.

Hasil penelitian ini semakin menambah suram gambaran petani dalam proses produksi beras secara keseluruhan. Penelitian KRKP tahun 2011 juga mengungkapkan, petani menjadi aktor rantai nilai gabah yang menerima manfaat ekonomi paling kecil. Petani hanya mendapatkan margin keuntungan 500 rupiah. 

Sementara pelaku lain seperti tengkulak, pengusaha penggilingan, hingga pedagang beras rata-rata mendapat keuntungan hingga Rp 1.500 per kg.

Situasi ini tentu saja tidak adil dan merugikan petani. Karena itu, diperlukan upaya penguatan rantai nilai dan bisnis gabah serta beras yang berkeadilan dan berkelanjutan. 

“Terciptanya rantai nilai dan bisnis yang adil dan berkelanjutan menjadi tanggung jawab semua pihak yang ada di dalamnya. Mewujudkannya tak cukup hanya dengan memberikan pemahaman bersama, namun juga adanya kelembagaan dan platform nasional hingga adanya aksi kolektif dari semua pihak pelaku rantai nilai beras,” kata Koordinator KRKP Said Abdullah.

Seorang buruh merapikan beras di Pasar Induk Cipinang, Jakarta. [via geotimes]

Temuan di tahun 2011 inilah, yang menurut Said, dijadikan dasar bagi KRKP melakukan penelitian untuk membedah peta aktor perberasan. 

“Secara khusus kajian ini ditujukan untuk mengenali dan memetakan para pelaku rantai nilai padi dan beras, memetakan peran, kepentingan, kekuatan dan relasi di antara para pihak yang terlibat dalam rantai nilai padi dan beras. dengan adanya pemetaan ini maka ke depan kita bisa merangkul semua para pihak tersebut untuk mewujudkan rantai nilai dan bisnis yang adil dan berkelanjutan tersebut,” tegas Said.

Dalam pemaparannya, Hariadi Propantoko, peneliti utama dalam kajian ini mejelaskan, hasil penelitian mengungkapkan adanya empat klasifikasi aktor perberasan terkait masalah kepentingan mereka terhadap harga gabah dan beras serta pengaruh mereka dalam menentukan hal itu. 

Pada level daerah, dari dua daerah sampel yang diteliti yaitu Karawang dan Subang, terdapat perbedaan signifikan terkait para aktor yang terlibat. Di Subang, rantai produksi hingga pemasaran beras hanya melibatkan empat aktor yaitu petani, penebas tingkat desa, penggilingan padi kecil (mitra bulog) dan bulog sub divisi regional.

Sementara di Karawang, rantainya lebih panjang dengan melibatkan 10 aktor mulai dari petani, calo desa, penebas, penggilingan padi kecil (mitra bulog) tengkulak antar desa, calo di pasar beras Cipinang, bulog sub divre, tim serap gabah petani (sergap) level desa (koramil), peternak, hingga penggilingan padi besar (PT Jatisari).

Hariadi mengatakan, aktor yang terlibat dalam rantai beras di Karawang lebih banyak karena Karawang merupakan daerah pertanian. "Sehingga masyarakat berlomba-lomba mencari celah untuk mengambil peran dalam kegiatan pertanian dalam hal ini adalah produksi dan distribusi gabah/beras," ujarnya.

Sementara pada tingkat nasional, aktor rantai beras yang terlibat dalam produksi hingga penentuan harga gabah/beras adalah PT Food Sation Tjipinang Jaya (FSTJ), Koperasi Pedagang Beras Cipinang, Pedagang di Pasar Induk Beras Cipinang, LPPM IPB, Dirjen Tanaman Pangan Kementan dan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (Kemendag).

Hariadi mengatakan, para pihak memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang berbeda-beda dalam kasus harga gabah dan atau beras. Hasil penelitian mengungkapkan, selain menempatkan petani dalam kriteria pertama, yaitu aktor yang memiliki kepentingan yang tinggi dalam rantai beras, namun memiliki pengaruh sangat rendah dalam menentukan harga komoditas beras, dipetakan pula aktor yang merupakan pemain kunci yang merupakan kelompok yang paling kritis karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang sama-sama tinggi.

Pada kelompok ini, terdapat aktor seperti Kementerian Perdagangan (kemendag), PT Food Station Tjipinang Jaya (FSTJ), Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), penggilingan padi kecil (PPK) dan pengepul besar. Para pihak ini merupakan pihak yang kerap memainkan harga padi atau beras baik pada tingkat petani, konsumen maupun yang memiliki mandat untuk mengatur perdagangan komoditas ini.

Kemdag dimana salah satu bagiannya adalah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perdagangan Dalam Negeri memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penguatan dan pengembangan perdagangan dalam negeri. 

Ditjen ini memiliki fungsi merumuskan kebijakan di bidang pengendalian distribusi dan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Salah satunya adalah padi atau beras melalui Permendag No 27 tahun 2017. Hal ini menunjukan bahwa pengaruh dari lembaga pemerintah ini sangat tinggi terhadap komoditas ini.

Suasana sebuah warteg. [sisihidupku]
FSTJ merupakan badan usaha milik daerah (BUMD) provinsi DKI Jakarta yang bergerak dalam bidang distribusi, penjualan, jasa pergudangan, pergudangan dalam resi gudang, jasa pertokoan dan pengangkutan beras. 

Lebih dari 4 dekade, membuat BUMD ini memiliki pengalaman yang kuat dalam melakukan tugasnya sebagai korporasi yang mengendalikan pasokan beras di wilayahnya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, pengaruh yang kuat dalam hal pasokan beras ini adalah saat terjadi kelangkaan dan kelebihan stok beras di pasar, BUMD ini dapat melakukan intervensi untuk mengendalikan stok dan harga.

Pengaruh ini tentunya berlaku di wilayah kerjanya. Hal berbeda apabila mendapatkan intervensi dari pemerintah berkaitan dengan penetapan harga seperti saat diberlakukannya HET. FSTJ tetap tunduk untuk mengeluarkan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Para pihak lainnya lainnya yaitu PIBC, PPK dan pengepul besar dimana skor pengaruh dan kepentingannya mereka sama dengan FSTJ, yaitu pada kepentingan yang tinggi dan pengaruh terhadap harga beras/padi yang tinggi. Mereka memiliki pengaruh pada wilayah kerjanya masing-masing, namun dalam konteks harga mereka akan patuh pada ketetapan yang dibuat oleh Kemdag.

Kriteria ketiga adalah aktor yang digolongkan sebagai context setter. Para pihak golongan ini memiliki kepentingan yang rendah namun memiliki pengaruh yang tinggi. Para pihak dalam kuadran ini dapat mendatangkan risiko, sehingga keberadaannya perlu dipantau dengan baik. 

Para pihak yang masuk dalam kuadran ini adalah Kementerian Pertanian (Kemtan). Kemtan secara langsung tidak berkepentingan dalam menentukan harga padi dan beras.
Namun posisi kemtan sebagai kementerian teknis yang merumuskan dan melaksanakan kebijakan produksi serta pengelolaan pasca panen padi bisa memberikan pengaruh kepada Kemdag dalam memberikan usulan berkaitan dengan harga panen dan beras. 
“Pihak ini bersifat pasif terhadap kebijakan harga padi dan beras, namun dapat berubah menjadi key players karena suatu peristiwa,” papar Hariadi.

Kriteria aktor keempat adalah para pihak dengan kepentingan rendah dan pengaruh yang rendah. Pihak ini digolongkan sebagai crowd. Dengan kata lain crowd adalah para pihak (instansi/masyarakat) yang mempunyai minat kecil dan kewenangan yang kecil. 
“Berdasarkan temuan di lapangan, para pihak yang terlibat dalam rantai nilai padi dan beras ini tidak ada yang masuk dalam kuadran ini,” jelas Hariadi.

Di luar empat kriteria tersebut, Hariadi memaparkan, ada beberapa para pihak yang menempati di antara kriteria yang ada. Koperasi Cipinang dan penebas desa menempati antara kriteria pertama dan kedua, yang memiliki kepentingan tinggi dan pengaruh yang sedang. 

“Koperasi Cipinang memiliki peran dalam mengorganisir para pedagang beras yang ada di PIBC. Koperasi ini memiliki pengaruh yang sedang dalam mengendalikan harga beras di PIBC. Sedangkan mereka sensitif terhadap stabilisasi harga beras di PIBC,” jelasnya.
Penebas desa juga mereka memiliki pengaruh yang sedang dalam hal penentuan harga kepada petani dan kepada penggilingan atau pengepul besar. Penebas Desa tidak bisa sebebas yang mereka inginkan untuk mengontrol harga gabah atau padi. Harga berkaitan erat dengan keberlangsungan usaha Penebas Desa. 

Acara Mappadendang, pesta panen masyarakat Bugis. [beritahati]




Harga yang stabil membuat kelompok ini merasa senang karena tidak dibayang-bayangi oleh perubahan harga dalam waktu cepat yang dapat mempengaruhi keuntungan yang mereka peroleh.

Kemudian ada calo desa yang berada pada posisi dengan kepentingan sedang dan pengaruh yang sedang. 

“Calo desa merupakan kelompok yang berada di suatu wilayah (desa) yang mengatur tarif (pungutan) ke penebas desa,” jelas Hariadi.

Tarif ini berdasarkan tonase gabah yang diangkut dari wilayah kekuasaan mereka. Kelompok ini tidak berpengaruh dengan adanya harga gabah dengan kondisi apapun, karena aturan main yang ada di Calo Desa adalah atas intervensi mereka sendiri, tidak tergantung dengan kondisi pasar atau ketetapan pemerintah. 

Berdasarkan uraian di atas perlu adanya suatu kelembagaan yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, peran dan potensi dari para pihak yang terkait dalam rantai beras. “Adanya keembagaan ini menjadi rekomendasi penting dari penelitian ini,” kata Hariadi.
Dia mengungkapkan, kelembagaan ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya konflik antar parapihak.

“Kejadian antara Calo Desa dengan bumper oknum Kepolisian dan Penebas Desa di Kerawang merupakan salah satu contoh konflik yang terjadi di lapangan akibat kelembagaan distribusi beras tidak berjalan. Atau kejadian penetapan HPP dan HET oleh pemerintah yang malah memperkeruh situasi di lapangan,” tegasnya.


“Kelembagaan dalam bentuk forum para pihak dapat diinisiasi untuk mewadahi atau mengakomodasi kepentingan parapihak dalam konteks perberasan. selain itu juga dapat dirumuskan platform bersama tentang model bisnis beras yang adil dan berkelanjutan. Forum beras dapat berupa dialog-diskusi atau aksi kolektif. Inisiasi forum ini menjadi bagian yang ditawarkan kepada parapihak yang diwawancarai untuk mengetahui tanggapan mereka,” pungkas Hariadi. (kontan)

No comments