Anomali Indonesia
Demo anti Ahok, Oktober 2016. [tribunnews] |
Noorca M. Massardi, penyair/novelis dan wartawan, kakek dua cucu, tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan.
Indonesia memang negara anomali sejak kelahirannya. Bersuku-suku tapi (masih) bisa bersatu. Beratus bahasa daerah tapi mau berbahasa satu. Berpenduduk mayoritas muslim tapi bukan negara Islam. Terpapar teknologi informasi paling canggih di dunia, tapi kenyataan sehari-hari masih sangat terkebelakang. Nyaris bebas buta huruf, tapi menjadi negara terburuk karena tidak doyan membaca.
Demokrasi Indonesia juga sudah bermetamorfosis a la Indonesia. Diawali demokrasi parlementer, menjadi demokrasi terpimpin, lalu demokrasi Pancasila-Orde Baru, akhirnya, menjadi demokrasi semaunya, pasca 1998. Kendati negara hanya mengakui satu ideologi, yakni Pancasila, namun pada dasarnya, partai-partai politik yang ada tidak menjadikannya sebagai ideologi tunggal. Maka berbeda dengan di negara demokratis lainnya, partai-partai yang berkuasa dan yang beroposisi, tidak punya ideologi sama sekali. Setiap pemilihan umum, tidak pernah ada pertarungan antarideologi. Tidak ada kiri lawan kanan. Tidak ada ideologi agama lawan sekularisme. Karena semua partai politik hanya mengakui satu kesamaan ideologi: pragmatisme. Tujuannya pun satu dan sama: kekuasaan dan uang.
Maka pasca 1998, dari pemilu ke pemilu, dari pemerintahan ke pemerintahan, partai-partai politik hanya memanfaatkan emosi massa sesaat, untuk meraih suara terbanyak dan akhirnya mendapatkan kursi di parlemen. Massa yang pada setiap kampanye pemilu legislatif dan pemilu presiden, dibujukrayu dan dihasut sentimen primordialnya, begitu usai pemilu, lalu ditinggalkan.
Contoh paling spektakuler adalah dalam kampanye pemilihan Gubernur DKI Jakarta April 2017. Penolakan terhadap kandidat populer Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dengan memanfaatkan emosi massa melalui sentimen agama, berhasil dimenangkan Anies Baswedan. Suasana “perang saudara” yang seolah di ambang pintu (pokoknya ganti Ahok), lenyap seketika Anies terpilih. Sesudah itu, radikalisme, ancaman kerusuhan akibat sentimen suku, agama, ras, antargolongan (SARA), tidak terjadi. Mengapa? Karena baik partai pendukung pemenang, maupun partai pendukung yang kalah, sama-sama hanya memiliki satu ideologi: pragmatisme (kekuasaan dan uang). Begitu kekuasaan diraih, dan uang dalam pelbagai bentuknya disalurkan, kondisi kembali tenang. Kekuasaan terbagi merata di parlemen DKI, dan aneka janji dan fanatisme selama kampanye, hilang tanpa bekas. Bahkan para pemilih tidak peduli lagi apakah gubernur baru mereka bekerja atau tidak.
Apa yang terjadi di DKI Jakarta (2017), bisa terproyeksikan (dan sedang direkaulang) pada pemilihan legislatif dan pemilu presiden 2019. Kampanye menghalalkan segala cara, membakar emosi massa dengan sentimen SARA, digelar di hampir seluruh wilayah. Aneka riset dan survei elektoral menunjukkan, kenaikan suara pendukung capres/cawapres penantang (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno) dari waktu ke waktu terus meningkat. Sementara suara pendukung capres/cawapres petahana (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) cenderung menurun. Walau pun, perubahan itu terjadi hanya karena mereka yang belum menentukan pilihan mulai melirik ke salah satu pasangan calon.
Apa pun yang terjadi pada 2019, tampaknya juga akan mengulang apa yang terjadi pasca 1998. Semua partai politik, pada dasarnya, dan pada tahapan awalnya, akan berusaha meraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif, yang mendahului Pilpres. Karena itu, maklum bila mereka tidak terlalu peduli pada naik-turunnya popularitas kedua pasangan capres/cawapres. Termasuk dari parpol pendukung masing-masing capres/cawapres. Mereka lebih peduli kepada berapa jumlah perolehan suara/kursi di DPR/DPRD. Semakin banyak kursi yang mereka dapatkan, semakin tinggi posisi tawar mereka terhadap pemerintahan pusat/daerah siapa pun kelak pemenangnya.
Mengingat tidak adanya pertarungan ideologi, dan karena mereka hanya menganut pragmatisme (kekuasaan dan uang), mereka yang seolah-olah bermusuhan dalam persaingan perebutan suara pemilihan anggota legislatif (pileg), pada saatnya, semua akan saling menawar dan memberi konsesi. Tiadanya ideologi yang kuat, pasca 1998, juga mengakibatkan tiadanya kekuatan mayoritas tunggal, yang mampu membentuk pemerintahan sendiri. Karena itulah, siapa pun pemenangnya, harus berkoalisi dengan partai lain. Bahkan dengan yang berseberangan sekalipun. Kabinet Joko Widodo (2014-2019) menunjukkan hal itu. Dinamika politik pragmatis menghasilkan kompromi semua parpol yang semula bersaing, baik dalam pileg maupun pilpres, untuk duduk dalam pemerintahan yang sama.
Panorama itulah yang akan terulang pasca pileg/pilpres 2019. Siapa pun pemenangnya, mereka harus berkoalisi. Tidak ada yang akan peduli pada emosi massa yang sudah dibakar untuk menjatuhkan lawan selama kampanye paralel pileg/pilpres. Karena para politisi yakin dan sudah melihat, suhu tinggi pada pilgub DKI Jakarta, ternyata tidak berdampak apa pun dalam realita kehidupan. Mereka juga tahu, bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan pelupa.
Gambaran itu menunjukkan, andai pun pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin (JW-MA) kalah, tidak ada satu pun partai politik pendukung mereka, yang akan menangisi kekalahan JW-MA. Tidak akan ada tangis darah. Sebab semua parpol itu akan dengan ikhlas dan mudah berkoalisi dengan Prabowo Subianto – Sandiaga Uno (PS-SU), yang tidak akan memiliki suara mayoritas di DPR RI. Demi kelancaran pemerintahan, semua parpol pendukung PS-SU akan menyambut baik bergabungnya parpol pendukung JW-MA. Yang mungkin akan bersedih hanyalah Partai Demokrasi Indonesia –Perjuangan (PDIP), yang terpaksa harus kembali menjadi oposisi - mungkin dengan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).
Begitu pula sebaliknya. Bila JW-MA memenangi (lagi) pilpres 2019, parpol pendukung mereka sekarang, juga akan ikhlas dan menyambut baik, bila Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto, mau bergabung dengan partai berkuasa. Demi kelancaran jalannya pemerintahan, dan dukungan mayoritas kursi di DPR. Yang penting, siapa pun pemenangnya, partai politik Indonesia membutuhkan kekuasaan dan uang untuk mempertahankan eksistensinya. Walau pun harus bergabung dengan lawan bebuyutan. Sesuatu yang mustahil terjadi di Eropa atau Amerika Serikat. Karena demokrasi a la Indonesia, adalah anomali dalam sistem demokrasi Barat. Sebagaimana bangsa dan negara Indonesia sejak awalnya. Bangsa pemaaf dan pelupa.
*) Kolom ini diposting penulisnya di akun Facebook bersangkutan. Dimuatulang di sini atas izin penulisnya.
No comments