“al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk fî Syarh Nashîhah al-Mulûk”: Kitab Etika Politik dan Tata Negara yang Dikirim oleh Ulama Makkah untuk Sultan Banten di Tahun 1637
Ahmad Ginanjar Sya'ban, santri kelahiran Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Banyak mengurai naskah dan kitab lama karya ulama Nusantara.
Di antara koleksi manuskrip langka yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta adalah manuskrip kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk fî Syarh Nashîhah al-Mulûk” (bernomor kode A ?). Kitab tersebut merupakan karya Syaikh Muhammad ‘Alî b. ‘Allân al-Shiddîqî al-Makkî (dikenal dengan Ibn ‘Allân, w. 1647 M).
Syaikh Ibn ‘Allân sendiri tercatat sebagai salah satu ulama sentral dunia Islam yang berkarir dan berkedudukan di kota suci Makkah pada awal abad ke-17 M. Beliau banyak mengarang karya monumental (kitab) dalam pelbagai bidang ilmu keislaman yang masih dijadikan rujukan hingga pada masa saat ini.
Di antara karya-karya Syaikh Ibn ‘Allân adalah “Dalîl al-Fâlihîn” (sebagai syarah atas kitab hadits “Riyâdh al-Shâlihîn” karya Imam al-Nawawî, w. 1277 M), juga “al-Futûhât al-Rabbâniyyah fî Syarh al-Adzkâr al-Nawawiyyah” (hadits), “Dhiyâ al-Sabîl” (tafsir), “al-Mawâhib al-Fathiyyah” (tasawuf), “al-Manhal al-‘Adzb” (sejarah), “Ithâf al-Fâdhil” (bahasa), “Badî’ah al-Ma’ânî” (theologi), “al-Thalatthuf fî al-Wushûl ilâ al-Ta’arruf” (fikih) dan lain-lain.
Karya Syaikh Ibn ‘Allân lainnya adalah “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” dalam bidang etika politik dan tata negara. Karya tersebut merupakan komentar atau penjelasan (syarah) atas karya monumental Hujjah al-Islâm al-Imâm al-Ghazzâlî (w. 1111 M) yang berjudul “Nashîhah al-Mulûk”.
Manuskrip dari kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” karya Syaikh Ibn ‘Allân saat ini tersimpan sebagai koleksi PNRI Jakarta. Kitab inilah yang akan kita perbincangkan dalam tulisan kali ini.
* * * * *
Syaikh Ibn ‘Allân membuka karyanya “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” dengan menulis basmalah, hamdalah, syahadat, shalawat dan doa-do’a kebaikan. Setelah itu, Syaikh Ibn ‘Allân menulis:
أما بعد. فيقول فقير رحمة مولاه. اللائذ به في سره ونجواه. الفقير الحقير. المذنب الكسير. محمد علي بن محمد علان بن إبراهيم بن محي السنة محمد علان بن أبي الوقت السعيد الشهيد عبد الملك بن علي بن مجدد المائة الثامنة كما هو مشهور على الألسنة شيخ المحقق الطيبي والخطيب التبريزي مؤلف المشكاة نور الدين بن مباركشهاة الصديقي البكري الأشعري الشافعي خادم السنة النبوية بالحرمين الذي خصصه مولاه بإقراء صحيح الحافظ البخاري وختمه في وسط كعبة الله
(Ammâ ba’du. Maka berkatalah seorang hamba yang fakir atas rahmat Tuhannya, yang senantiasa menghambaNya dalam kerahasiaan dan munajatnya, seorang yang fakir lagi hina, yang banyak dosa dan lemah, yaitu Muhammad ‘Alî b. Muhammad ‘Allân b. Ibrâhîm b. [Muhyissunnah] Muhammad ‘Allân b. [Abî al-Waqt al-Sa’îd al-Syahîd] ‘Abd al-Malik b. ‘Alî b. [Mujaddid Abad Delapan Hijri yang masyhur, Syaikh al-Muhaqqiq al-Thayyibî wa al-Khatîb al-Tabrîzî, pengarang kitab “al-Misykât”] Nûr al-Dîn b. Mubâraksyâh, al-Shiddîqî al-Bakrî, al-Asy’arî al-Syâfi’î, pelayan Sunnah Nabi di Haramayn [Makkah-Madinah], yang mendapatkan anugerah dari Tuhannya untuk membaca kitab Shahih Bukhari dan mengkhatamkannya dari dalam Ka’bah).
Dalam kata pengantar di atas, Syaikh Ibn ‘Allân menyebutkan identitas jatidirinya dengan sangat lengkap. Beliau menyebut genealogi nama-nama leluhurnya yang merupakan ulama besar rujukan dunia Islam dari garis trah keturunan Abu Bakar al-Shiddîq RA. Leluhurnya yang ke-7, yaitu Syaikh Nûruddîn b. Mubâraksyâh, adalah mujaddid [pembaharu Islam] abad ke-8 Hijri. Selain itu, Syaikh Ibn ‘Allân juga menyebut ideologi keislamannya sebagai ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) yang mengikuti madzhab Imam Asy’ari dalam theologi (ilmu kalam), dan madzhab Imam Syafi’i dalam yurusprudensi (ilmu fikih).
Syaikh Ibn ‘Allân kemudian melanjutkan perihal kitab karangannya ini:
هذا شرح لطيف على عنوان منيف علقتُه على كتاب حجة الإسلام. الذي باهى به نبينا موسى (....) في المنام. شيخ مشايخ الأنام. العالم العلامة. الحبر (....) الإمام أبي حامد محمد بن محمد بن محمد الغزالي الأشعري معتقدا الشافعي مقلدا. تغمده الله برحمته. وقدس سره العزيز وزاد في كرامته ورفعته. المسمى بنصيحة الملوك
(Karangan ini adalah sebuah syarah yang lembut atas sebuah karya yang elok. Aku menulisnya sebagai penjelasan atas kitab karya seorang Hujjah al-Islâm, yang mana Nabi Musa membanggakannya dalam sebuah mimpinya [?], seorang mahaguru [syaikh masyayikh] ummat, seorang yang alim allamah, al-Imâm Abû Hâmid Muhammad b. Muhammad b. Muhammad al-Ghazzâlî, yang menganut madzhab Imam al-Asy’ari dalam akidahnya, dan madzhab Imam Syafi’i dalam fikihnya. Semoga Allah membanjirinya dengan rahmatNya, mensucikan rahasianya yang mulia, menambah kemuliaan dan keluhurannya. [Karya Imam al-Ghazzâlî tersebut] yang berjudul “Nashîhah al-Mulûk”.
Terkait judul kitab, Syaikh Ibn ‘Allân kemudian memberikan keterangan:
وسميتُه نصح الناصح الصحيحة في شرح النصيحة، والمنهج الواضح السلوك في شرح نصيحة الملوك. جعله الله خالصا لوجهه الكريم وسببا للفوز بجنات النعيم
(Aku mekamakan kitab ini dengan “Nushah al-Nâshih al-Shahîhah fî Syarh al-Nashîhah, juga dengan “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk fî Syarh Nashîhah al-Mulûk”. Semoga Allah berkenan menjadikan karya ini tulus ikhlas untukNya, juga menjadi penyebab agar bisa masuk surga jannatun na’im)
Dalam kolofon, disebutkan jika karya ini diselesaikan oleh pengarangnya, yaitu Syaikh Ibn ‘Allân, dalam bentuk “musawwadah” (belum diedit) pada 20 Zulkaedah tahun 1046 Hijri (bertepatan dengan 16 April 1637 Masehi). Tertulis di halaman paling akhir manuskrip:
قال مؤلف هذا الشرح المبارك ...... وكان الفراغ من تسويده في العشرين من ذي القعدة والشروع منه من أوائل شوال. مجملة المدة المصروفة لكتابته نحو شهر وعشرة أيام. والحمد لله وحده. وذلك بمحلي من المدرسة القايتبائية تجاه بيت الله الحرام زاده الله من الجلالة والاحترام
(Berkata pengarang kitab syarah yang diberkahi ini …… Telah selesai menulis karya syarah ini pada tanggal 20 Zulkaedah [1046 Hijri/ 16 April 1637 Masehi], dengan memulainya pada awal bulan Syawwal. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk menulisnya adalah sebulan sepuluh hari. Segala puji bagi Allah jua. [Proses penulisan itu dilakukan] di tempatku di Madrasah al-Qaitbay di seberang Masjidil Haram, semoga Allah senantiasa menambah keagungan dan kemuliannya)
Terdapat juga keterangan jika naskah “musawwadah” tersebut kemudian disalin ulang dalam bentuk “mubayyadhah” (sudah diedit) oleh murid sang pengarang yang bernama Muhammad b. Ahmad al-Asadî al-Syâfi’î. Tertulis di sana:
وقد وقع اكمال هذه المبيضة في يوم الثلاثاء ثالث شهر ذي الحجة الحرام عام ست وأربعين بعد الألف. على يد العبد الفقير الى الله تعالى محمد بن أحمد الأسدي الشافعي. غفر الله له ولوالديه والمسلمين آمين
(Telah selesai menyempurnakan salinan “mubayyadhah” dari kitab ini pada hari Selasa, 13 Zulhijjah tahun 1046 Hijri [8 Mei 1637 Masehi], oleh hamba yang fakir kepada Allah Ta’ala, Muhammad b. Ahmad al-Asadî al-Syâfi’î, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya juga seluruh umat Muslim. Amin)
* * * * *
Menariknya, manuskrip dari kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk” ini diberikan sebagai hadiah oleh pengarangnya (Syaikh Ibn ‘Allân) kepada muridnya yang berasal dari Nusantara, yaitu Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir dari Kesultanan Banten (Sultan Banten ke-IV, m. 1624—1651 M).
Sebagaimana disebutkan dalam teks “Babad Banten” (ditulis sekitar tahun 1662), bahwa pada tahun 1636 Sultan Banten Abu al-Mafakhir Abdul Qadir mengirim tiga orang utusannya ke Makkah untuk bertemu dengan Syarif Zaid yang menjadi penguasa Makkah saat itu (m. 1631-1666), juga Syaikh Ibn ‘Allân yang menjadi ulama paling terkemuka di kota suci itu. Para utusan Sultan Banten itu hendak meminta “legitimasi religius” dari Syarif Makkah, mengajukan beberapa pertanyaan yang direquest oleh sang sultan, meminta penjelasan tentang kitab “Nashîhah al-Mulûk” karya al-Ghazzâlî, kitab “al-Muntahî” karya Hamzah Fansuri (sufi dari Aceh) dan satu kitab tentang ajaran “wahdatul wujud” (kemungkinan kitab “al-Tuhfah al-Mursalah” karya Fahdlullâh al-Burhânpûrî, w. 1620). Utusan juga membawa serta beberapa hadiah dari Sultan Banten berupa rempah-rempah, antara lain cengkih, lada, pala dan kesturi.
Dua tahun kemudian (1638), para utusan Banten pun kembali dengan membawa beberapa hadiah balasan dari Syarif Makkah. Babad Banten menyebut hadiah tersebut berupa potongan kiswah Ka’bah, potongan tirai penutup makam Nabi Muhammad, serta bendera Nabi Ibrahim.
Selain itu, dibawa serta pula sebagai hadiah lain berupa dua buah kitab karya Syaikh Ibn ‘Allân sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Sultan Banten, yaitu kitab “al-Mawâhib al-Rabbâniyyah fî Jawâb al-As’ilah al-Jâwiyyah” (yang berisi fatwa-jawaban dari Syaikh Ibn ‘Allân atas sepuluh buah pertanyaan yang diajukan oleh Sultan Banten untuknya), juga kitab “al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk fî Syarh Nashîhah al-Mulûk” (yang berisi penjelasan tentang isi kitab “Nashîhah al-Mulûk karya Imam al-Ghazzâlî yang dijadikan bacaan, pedoman dan acuan utama dalam etika politik dan tata negara oleh Sultan Banten).
Fakta sejarah di atas mengukuhkan jika kitab “Nashîhah al-Mulûk” karya al-Ghazzâlî menjadi bagian yang terintegrasi dengan sistem politik di Kesultanan Banten (Burhanudin, 2012: 47). Sultan Banten Abu al-Mafakhir Abdul Qadir pun tampak menjadikannya sebagai acuan dan cerminan etik dalam berpolitik dan menjalankan kekuasaannya. Dikirimnya karya Syaikh Ibn ‘Allân (al-Manhaj al-Wâdhih al-Sulûk) berupa penjelasan atas kitab tersebut kepada Sultan Banten juga menunjukkan sang sultan sangat serius mempelajari dan menelaah isi kandungan kitab tersebut. Di luar Banten, kitab “Nashîhah al-Mulûk” rupanya juga terintegrasi dengan sistem politik beberapa kesultanan Nusantara lainnya. Karena itu menurut Lambton (1981: 117), kitab “Nashîhah al-Mulûk” adalah karya yang menjadi bagian penting dalam sejarah politik dan tata negara di Nusantara pada abad ke-17.
Pada masa yang bersamaan, di beberapa kesultanan lain di Nusantara, juga lahir beberapa karya intelektual yang didedikasikan sebagai nasihat politik dan tata negara untuk para raja dengan prinsip-prinsip ajaran Islam (Marrison, 1955: 61), seperti kitab “Serat Nitipraja” yang ditulis oleh Sultan Agung dari Kesultanan Mataram di Jawa pada tahun 1641 (ditulis dalam bahasa Jawa aksara Jawa), juga kitab “Tâj al-Salâthîn” yang ditulis di Kesultanan Aceh oleh Bukhari al-Jauhari (al-Johori?) sekitar tahun 1603 (ditulis dalam bahasa Jawi [Melayu aksara Arab]). Burhanudin (2012: 48) mengatakan jika “Tâj al-Salâthîn” adalah salah satu teks terpenting tentang ide-ide politik Islam di Nusantara. Teks ini secara khusus ditulis untuk menjadi panduan keagamaan bagi para raja. “Tâj al-Salâthîn” tidak hanya digunakan di Aceh, tempat di mana ia ditulis, tetapi juga di Jawa dan Sulawesi. Carey (1975: 344) mencatat bahwa “Tâj al-Salâthîn” disalin di Keraton Yogyakarta di Jawa pada 1831 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa untuk digunakan oleh Sultan Hamangkubuwono I dalam menjalankan politiknya di kerajaan. Teks ini juga populer di kerajaan Islam di Makassar, Sulawesi Selatan, di mana ia memengaruhi penulisan sebuah karya sastra politik untuk melegitimasi kaum aristiokrat kerajaan yang baru masuk Islam, yaitu “Budi Istirahat Indra Bustanil Arifin” (Pelras, 1993: 149).
Di masa-masa berikutnya, khazanah intelektual Islam Nusantara kian diperkaya oleh karya-karya dalam bidang etika politik dan tata negara ini. Di antara karya-karya tersebut adalah “Serat Wulang Reh” (bahasa Jawa aksara Jawa) yang ditulis di lingkungan Kesultanan Surakarta oleh Pakubuwana IV (m. 1768-1820), kitab “Tsamarât al-Muhimmah” (bahasa Melayu aksara Arab) yang ditulis di lingkungan Kesultanan Riau Penyengat oleh Raja Ali Haji pada tahun 1857, juga kitab “Jawharah al-Ma’ârif” (bahasa Melayu aksara Arab) yang ditulis di lingkungan Kesultanan Bima pada tahun 1882 (Fathurrahman dalam Chambert-Loir, 2010: 191).
Wallahu A’lam
Sukabumi, Sya’ban 1441 Hijri/April 2020 Masehi
Sumber: https://www.facebook.com/ahmad.ginanjarsyaban/posts/10158115566784696
No comments