Ketika Tergantung Pada Politik
COVID-19. [istock] |
Presiden Amerika Serikat (AS)
Donald Trump dan Presiden Brazil Jair Bolsonaro memiliki banyak kesamaan dari
segi politik. Namun salah satu kemiripan mereka nampak menonjol di tengah
pandemi Covid-19: keduanya meremehkan bahaya yang dibawa oleh virus corona.
Di kedua negara, beberapa
kelompok masyarakat menyerukan protes anti lockdown, yang didukung oleh
kedua presiden.
"Pandemi ini telah
dipolitisasi di Amerika Serikat," kata Costas Panagopoulos, peneliti
politik dari Universitas Harvard. "Banyak orang, terutama Presiden Trump,
seperti mengatakan bahwa dampak politik virus corona lebih penting ketimbang
dampak kesehatan.
Di masa di mana Amerika Serikat
sangat terpolarisasi secara politik, konsekuensinya sekarang adalah rakyat akan
bereaksi terhadap pandemi tergantung pandangan politiknya."
Sementara itu di Inggris, Perdana
Menteri Boris Johnson telah menerapkan lockdown, tapi dirinya dan
partai yang dipimpinnya, Partai Konservatif, telah dikritik karena meremehkan
penyebaran virus corona.
Pada 10 Mei, Boris mengumumkan
tahap awal pelonggaran lockdown di Inggris, namun survei menunjukkan
langkah itu lebih disambut baik oleh pemilih Partai Konservatif.
'Perpecahan'
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
telah mewanti-wanti bahwa perpecahan politik telah menghambat upaya-upaya dalam
memerangi virus corona.
"Perpecahan antara warga dan
perpecahan antara partai politik memperburuk pandemi," kata Direktur
Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pernyataan yang dirilis
pada 20 April.
"Jangan memanfaatkan virus ini untuk melawan satu sama lain atau untuk mendapatkan pemilih. Ini berbahaya. Seperti bermain dengan api."
Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus. [via liputan6] |
Amerika Serikat sekarang adalah
negara dengan jumlah kasus positif virus corona dan kematian tertinggi di
dunia.
Pemerintah AS belum
menerapkan lockdown berskala nasional dan lebih memilih memberikan
kewajiban tersebut ke setiap negara bagian atau kota.
Donald Trump menentang
kebijakan lockdown dan mendukung protes yang bermunculan di
wilayah-wilayah yang menerapkan karantina.
Di Twitter, ia menyerukan
"pembebasan" negara-negara bagian Minnesota, Michigan, dan Virginia.
Namun pandangan dan sikap atas
virus ini terbagi dua antara pendukung Partai Republik, partai Trump dan Partai
Demokrat.
Dalam sebuah survei yang dirilis
12 Mei, hanya 43 persen warga AS yang mengidentifikasi dirinya sebagai pemilih
Partai Republik menganggap Covid-19 sebagai ancaman kesehatan besar bagi
masyarakat.
Sementara itu 82% pendukung
Partai Demokrat memandangnya sebagai ancaman kesehatan serius. Jajak pendapat
lain menunjukkan pendukung Partai Republik lebih mungkin tidak memakai masker
saat berada di tempat umum ketimbang pendukung Partai Demokrat, 56% versus 74%.
Kepercayaan publik dipengaruhi
partai pilihannya
Pengetahuan publik soal
fakta-fakta tentang virus corona juga dipengaruhi oleh partai politik
dukungannya.
Pernyataan-pernyataan yang salah
atau menyesatkan soal virus corona yang dilontarkan tokoh politik mengakibatkan
tingginya level keacuhan soal Covid-19 di AS, Inggris, Jerman, dan Spanyol, berdasarkan
hasil analisis Reuters Institute of Journalism yang berbasis di Universitas
Oxford.
"Riset kami menunjukkan di
negara-negara itu, warga sayap kanan tidak tahu banyak soal virus corona,"
kata Rasmus Kleis Nielsen, salah satu peneliti. "Ini adalah warga yang
sama pintarnya, tapi mereka percaya pada politisi yang telah menggaungkan
narasi yang salah tentang virus corona."
Efek Bolsonaro
Presiden Brazil Jair Bolsonaro
secara terang-terangan mengacuhkan saran kesehatan guna mencegah terjangkit
Covid-19, yang disebutnya sebagai "flu biasa" pada akhir Maret. Sementara, Brazil memiliki jumlah kasus
positif virus corona terbesar ketiga di dunia, menurut data yang dihimpun oleh
Universitas Johns Hopkins. Toh, Bolsonaro masih dekat-dekat
dengan pendukungnya di tempat umum, bahkan berpartisipasi dalam sebuah kampanye
nasional yang digelar pada 15 Maret.
Presiden Brazil Jair Bolsonaro. [lupalagi] |
Periset dari AS dan Italia
meneliti jumlah kasus virus corona di Brazil bulan itu dan menemukan jumlah
infeksi baru lebih tinggi 20 persen di kota-kota dengan jumlah pendukung Bolsonaro
yang besar. Ini termasuk Sao Paulo, kota terbesar di Brazil dan Amerika
Selatan. Angka kematian resmi di Sao Paulo- 4.688- lebih tinggi dari angka
kematian resmi di China.
"Kami menyimpulkan perilaku
Bolsonaro mempercepat penyebaran Covid-19 di Brazil," kata riset tersebut.
"Percepatan penyebaran ini bukan hanya karena adanya perkumpulan manusia
ketika kampanye, namun juga adanya perubahan perilaku di antara pendukung
Bolsonaro yang tidak lagi mengindahkan aturan jaga jarak sosial."
Anthony Pereira, direktur Brazil
Institute di King's College London, mengatakan ia tidak terkejut dengan
perbedaan perilaku tersebut.
"Respon awal beberapa
pendukung Bolsonaro yang terkenal adalah dengan menyebut virus itu sebagai
'hoax'," kata Pereira.
"Jadi ketika presiden
menentang saran ilmiah dan medis tentang virus corona, para pendukungnya
mendukung argumennya karena mereka tidak mendapatkan informasi dari sumber
lain."
Masa-masa suram
Inggris menerapkan lockdown selama
tujuh minggu dari Maret sampai Mei. Ada beberapa warga yang protes, tapi
dibandingkan negara-negara lain, jumlahnya tidak banyak.
Pada 10 Mei, pemerintah, yang
dipimpin Partai Konservatif, mengumumkan pelonggaran beberapa aturan lockdown di
Inggris dan respon masyarakat atas pengumuman itu rupanya terbagi, tergantung
afiliasi politiknya.
Menurut jajak pendapat YouGov, 61
persen pendukung Konservatif sepakat dengan perubahan tersebut, sementara hanya
32 persen pendukung partai oposisi, Partai Buruh, yang sepakat.
Jika bicara soal sikap seputar
protokol kesehatan, mayoritas pendukung dari kedua partai rupanya berpandangan
serupa. Sebagian besar pendukung partai Konservatif dan Buruh mendukung
langkah-langkah jaga jarak sosial, seperti bekerja dari rumah, menutup sekolah,
dan melarang acara-acara besar.
Tim Bale, guru besar politik di
Universitas Queen Mary di London, menjelaskan paradoks ini.
"Sikap mereka terhadap
saran-saran yang diberikan oleh para ahli tidak ada hubungannya dengan aliansi
politik mereka, kiri atau kanan, tapi lebih dipengaruhi oleh populisme, yang
dapat ditemukan di keduanya," katanya. "Populis biasanya lebih
mempertimbangkan 'akal sehat' daripada pandangan ahli yang 'elit'."
Gender lebih berperan ketimbang
politik?
Gender mungkin lebih berpengaruh
ketimbang politik, menurut beberapa survei.
Perempuan pendukung Partai
Republik di AS lebih mungkin menerapkan social distancing ketimbang
pria Republik.
Periset psikologi mewawancarai
warga Inggris berusia 19 -24 tahun saat lockdown, dan mendapati lebih
dari 50 persen responden pria melanggar aturan berkumpul untuk bertemu dengan
teman-temannya. Sementara itu kurang dari 30 persen responden perempuan
melakukan hal serupa.
"Pria, secara umum, lebih
bersedia ambil risiko," kata Liat Levita, seorang psikolog dari
Universitas Sheffield, yang melakukan studi tersebut. "Tapi perbedaannya
sangat mencolok jika melihat bagaimana pria muda dewasa lebih melanggar aturan
itu ketimbang perempuan."
Saat politik justru salah
Di Jerman, partai sayap kanan AfD
mendukung protes anti restriksi karena virus corona. Jajak pendapat menunjukkan
kepopuleran AfD di Jerman merosot ke level terendah sejak 2017.
Sementara itu, partai oposisi
terbesar di Korea Selatan, United Future Price, mengkritik penanganan Covid-19
oleh pemerintah, termasuk keengganan mereka melarang warga China masuk ke
negara itu pada masa awal pandemi. Mereka sepertinya akan menang dalam pemilu
parlemen pada 15 April.
Tapi di hari pemilu, Korea
Selatan justru dipuji dunia atas langkah-langkahnya dalam mengurangi penyebaran
virus corona. Pada akhirnya, Partai Demokrat pimpinan Presiden Moon Jae-in
menang telak dan kini menjadi suara mayoritas di parlemen.
SUMBER: BBC
No comments