Risalah Sains dan Beberapa Masalahnya
Goenawan Mohamad, penyair dan wartawan, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.
Disampaikan pada webinar Hari Kebangkitan Nasional dengan tema
“Berkhidmat pada Sains”
Saya bukan saintis dan tidak punya latar belakang pendidikan sains.
Saya akan susah payah berbicara, dan lebih susah-payah lagi
berkhidmat kepada sains. Bagi saya sains seperti halnya kesenian,
12
dunia yang lebih saya kenal, bukanlah sebuah bidang kerja atau
keahlian, yang harus disikapi dengan khidmat tetapi dengan kritis.
Tadi disebut peran sains dalam pandemi ini, dan memang menjadi
sangat penting di Indonesia dan juga di mana-mana. Keputusan
publik yang penting dalam pandemi ini umumnya didasarkan pada
pendapat pada ilmuwan. Terutama para epedemiologist dan
virologist, meskipun sains bukan segala-galanya.
Ada satu percakapan yang melibatkan Einstein di Princeton tahun
1946. Para saintis ditanya, “Anda bisa membuat bom atom. Bisa
menelaah struktur atom, tapi tidak bisa mendevice secara politik,
yang membikin atom tidak merusak kita?”
Einstein menjawab: “Itu sederhana. Sebab politik lebih susah
daripada fisika.”
Einstein tidak mengglorifikasi sains. Dan memang tidak sepatutnya
diglorifikasi. Dalam banyak hal sains itu pemilik problem. Dan itu
bukan soal baru. Sains itu prestasinya luar biasa dan karena itu
memperoleh otoritasnya.
Dalam pemikiran mutakhir, mulai abad ke-19 mulai ada kritik
terhadap sains. Martin Heidegger mengatakan: “Science doesn’t
think.”
Pada mulanya adalah ketika Galileo Galilei mengubah paradigma
sains berdasarkan matematika. Edmund Husserl mengatakan Galileo
dalam menemukan paradigma matematika dan pada saat yang sama
objek-objek dalam kehidupan menjadi angka-angka dan terlepas
dari akar-akar primordialnya dalam kehidupannya. Lalu sains
disibukkan menjadi alat untuk mencapai tujuan. Akhir-akhir ini
malah terjadi kompetisi, bukan dimulai oleh para periset, tetapi
oleh badan-badan atau ketua badan yang mengusahakan funding dan
sebagainya, dan itu diarahkan untuk memecahkan soal.
Ilmu atau sains punya dua peran, yaitu menafsirkan dunia dan
mengubah dunia. Sekarang menafsirkan dunia sudah disisihkan
menjadi mengubah dunia. Dengan prestasi yang hebat, sains kemudian
membuat jarak dengan kehidupan. Ilmu bukan tidak berguna, justru
berguna, tetapi ada hal-hal lain yang terlepas dari ilmu. Einstein
13
bilang sederhana dan agak lucu, bahwa politik lebih sukar dari ilmu.
Ada hal-hal yang lebih rumit/complicated yang tidak dapat
dipecahkan oleh ilmu.
Jika ilmu mengklaim bisa menjadi agul-agul untuk menyelesaikan
semuanya, termasuk mengatasi pandemi, saya kira agak sombong.
Popper bilang, ilmu menuju kebenaran, bukan kepastian. Ketika
tindakan harus dilakukan, kepastian diperlukan. Tetapi kepastian
akan selalu luput oleh ilmu. Problemnya adalah ilmu tidak
memberikan formula yang selesai dan di situlah kekuatan ilmu.
Bukan keulungan pemikiran ilmu melainkan penyelamatan manusia,
dan itulah yang dilakukan oleh dokter-dokter STOVIA, yang
dipersonifikasi oleh Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. Dokter Tjipto
adalah pahlawan yang melawan wabah.
Lulusan STOVIA belum dianggap dokter oleh orang-orang Belanda.
Dalam melawan wabah, komitmennya adalah menyelamatkan orang
yang sengsara, bukan mengunggulkan ilmu. Mencari jawab pada
COVID-19 juga repot. Yang paling baik adalah yang dilakukan dokter
dan perawat di rumah sakit. Itu sumbangan terbesar, bukan keilmuan
tetapi pengabdian.
No comments