TERBARU

Kepastian Sains dan Pencarian Kebenaran


Lukas Luwarsomantan Ketua AJI dan berbagai organisasi pers internasional.

Menarik membaca esai Goenawan Mohamad (GM) tentang “Sains dan Masalah-Masalahnya”, menanggapi tulisan AS Laksana, “Sains dan Hal-Hal Baiknya.” Uraian GM membawa saya, peminat sains dan filsafat, ke perdebatan nostalgic wacana intelektual paruh pertama era 1900-an. GM memanggil nama-nama filsuf besar, seperti Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan Karl Popper untuk menegaskan posisi sentimennya pada sains.
Filsuf besar dengan pemikiran besar memang memikat untuk diundang dalam perdebatan tema yang esoterik, seperti ihwal kepastian atau kebenaran. Dan faktual, memang perang gagasan di masa lalu, yang kemudian kerap memunculkan “isme-isme” mazhab pemikiran atau ideologi, selalu menarik sebagai kajian. Sangat inspiratif untuk menggugah dan mengasah intelektualitas, sebagai refleksi atas perubahan, perkembangan, kemajuan, termasuk kemandekan.
Dialektika pemikiran besar dalam upaya menafsirkan dunia telah melahirkan sejumlah “mazhab” berpikir. Dari rasionalisme, empirisme, idealisme, positivisme, post-modernisme, dan entah apa lagi. Para pemikir besar berdialektika dan berkontradiksi sejak awal mula munculnya fajar pemikiran. Tesis Heraklitus dengan panta rhei (realitas selalu berubah) mendapat antitesis Permenides (realitas abadi, tak pernah berubah), dan Plato men-sintesis: yang berubah cuma realitas fisik, realitas ide tidak berubah.
Dialektika pemikiran berlanjut menyangkut epistemologi, “bagaimana kita tahu apa yang kita ketahui tentang realitas”. Antara pemikir yang berparadigma rasionalisme (Rene Descartes), empirisme (David Hume), kritisisme (Immanuel Kant), idealisme (Hegel), Intuisionisme (Henri Bergson), Positivisme (Auguste Comte), fenomenologi (Edmund Husserl), hermeneutika (Martin Heidegger), rasionalisme-kritis (Karl Popper), post-strukturalisme (Derrida, Lyotard). Masing-masing menawarkan perspektif untuk menafsirkan dunia, untuk mendapatkan kepastian dan kebenaran.
Diskusi soal tema besar bIsa didekati dengan dua cara, dengan merujuk dan menelaah gagasan-gagasan sebagai rangkaian compendium pemikiran yang saling menegasi, melengkapi, dan memperkuat. Atau memilih paradigma spesifik yang selaras dengan cara berpikir kita dalam membidik persoalan. Mengangkat tesis atau persoalan baru, sebagai metode dialektis untuk memancing pemikiran, meskipun menggunakan paradigma lama.
Sains sebagai metode berpikir untuk memahami atau menafsirkan dunia muncul dari proses dialektika pemikiran manusia yang panjang. Namun metode sains sebagai cara mendeskripsikan dunia berbasis bukti yang bisa diuji, baru muncul sekitar 300 tahun terakhir. Mengupas sains bisa dilakukan dengan membongkar basis paradigmatiknya (seperti yang coba dilakukan GM), atau mengurai pencapaian dan temuan-temuannya, khususnya temuan baru, yang berkorelasi dalam perubahan paradigma pemikiran.
GM mengritik sains dengan pendekatan “fenomenologi” Husserl, “hermeneutik” Heidegger, dan “rasionalisme-kritis” Karl Popper. Beberapa poin kritiknya adalah: (1) Sains bukan lagi metode menafsirkan dunia, melainkan hanya pendukung teknologi, sebagai si pengubah dunia. (2) Sains menjadi panglima otoritas pengetahuan ilmiah, mengedepankan kepastian, bukan pencarian kebenaran; (3) Penganut “scientiesm” berpandangan sempit, tapi pongah. Tak mengenal kritik atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran modern; (4) Sains hanya diwakili ilmu alam, atau ilmu riset kuantifikasi.
Sejumlah poin gugatan pada dunia sains yang cukup menohok. Narasi GM mengajak kita untuk kembali menyoal basis paradigma sains, yang pernah dipertanyakan para pemikir besar pada zamannya. Namun di tahun 2020, sains terbukti terus berkembang pesat dan membuat berbagai penemuan baru dan membuka pemahaman baru. Wacana yang dipaparkan GM menyoal sains terasa bernuansa nostalgik, kalau bukan anakronistik.
Sebagai pemaparan historiografi perdebatan pemikiran, kritik GM terhadap sains mungkin valid. Namun mempersoalkan sains, antara lain, karena kecewa epidemiologi sebagai “otoritas” tidak segera bisa memberi “kepastian” tentang wabah Covid-19 adalah hiperbolik. GM mengajak sains agar “mau tak mau perlu mengistirahatkan prosesnya sendiri”. Sembari mengutip “the art of systematic over-simplification” Karl Popper, GM menggugat sains: “tak bisa berpanjang-panjang melakukan riset — dan berbantah — untuk misalnya menentukan sifat virus yang jadi biang keladi epidemi.”
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk merespon poin-poin tudingan GM pada sains, melainkan sekadar sebagai pendamping. Melengkapi beberapa hal yang terlewat dari tulisan GM , terkait paradigma sains.
Kepastian Sains
Dalam artikel “Paradigms lost” (Aeon, 2015), David Barash, ahli biologi evolusioner, menyebut sains bukan sekedar tubuh pengetahuan, namun proses dinamis rekonfigurasi pengetahuan yang terus berproses dan berubah. Berdiam diri (istirahat) adalah satu hal yang sains tidak akan lakukan. Terlebih dalam situasi krisis kemanusiaan. Memahami realitas melalui sains adalah kerja yang terus berlangsung
(work in progress). Progres yang tak bisa dihentikan untuk memahami bagaimana dunia bekerja, dengan terus meningkatkan akurasi dan validitasnya. Siapapun yang memiliki aspirasi untuk selalu well-informed perlu mengetahui bukan hanya temuan-temuan sains yang penting, namun juga pada esensi paradigma sains.

Berbeda dari ideologi, sains adalah proses berpikir yang fleksibel untuk menerima perubahan sejalan dengan perkembangan pemahaman tentang dunia. Thomas Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolution” menegaskan, pengetahuan berkembang melalui revolusi sains—perubahan paradigma—secara radikal. Paradigma baru menggantikan yang lama, setiap perubahan paradigma membentuk pemahaman baru. Revolusi sains mirip revolusi sosial, namun tanpa genangan darah.
Artikel Lori Chandler “Science Doesn't Find Truth, It Understands Change,” (Bigthink, 2015), mendeteksi gejala merebaknya sentimen negatif pada sains, termasuk di kalangan terpelajar. Meskipun orang umumnya menyukai manfaat sains, namun sikap bingung kerap terjadi dalam memahami apa itu sains. Ketidakpercayaan (distrust) pada sains merebak karena adanya perubahan atau ketidakpastian (pengetahuan kesehatan sering tidak pasti, soal bahaya kolesterol, misalnya). Sementara manusia ingin segala sesuatu serba pasti, jika hari ini terjadi pandemi, maunya lusa sudah tersedia obat atau vaksinnya.
Terkait sifat virus penyebab pandemi Covid-19, misalnya, ketidakjelasan menyangkut asal virus dan ketidakpastian pengobatannya, menyebabkan sebagian orang lebih menyukai teori konspirasi ketimbang penjelasan saintifik. Bahwa meneliti mutasi virus dan sifatnya—termasuk pembuatan vaksin serta obatnya—tidak mudah dan perlu waktu, sepertinya sulit diterima. Tidak heran jika orang kemudian memilih penjelasan teori konspirasi yang serba pasti.
Manusia baru mengetahui keberadaan virus pada 1892. Penemunya ahli tanaman dari Rusia, Dmitri Ivanovsky, botanis yang kemudian dikenal sebagai bapak virologi. Ivanovsky tidak sengaja menemukan virus saat meneliti penyakit yang menyerang perkebunan tembakau. Sejak penemuan itu, sedikit demi sedikit “dunia virus” mulai terungkap. Dunia mikroba baru, yang sebelumnya sama sekali tidak diketahui.
Setelah “berkenalan” dengan virus lebih dari 100 tahun, hingga saat ini saintis belum sepenuhnya mampu memahami dengan pasti organisme ini. Bukan cuma karena ukurannya sangat kecil, namun juga karena keanekaragamannya. Virus dengan cepat mampu bermutasi menjadi jenis baru. Yang sejauh ini diketahui, penyebabnya Covid-19 adalah virus baru dari keluarga virus Corona. Keluarga virus ini memicu wabah SARS (Severe acute respiratory syndrome) di 29 negara, pada 2002-2003. Virus ini dinamai SARS-CoV-1, sementara Covid-19 diamai virus SARS-CoV-2. Sumber asal virus diperkirakan sama, dari kelelawar. Virus biang keladi Covid-19 sudah diidentifikasi, namun masih perlu waktu untuk bisa mengatasinya.
Sains mengakumulasi pengetahuan, melakukan validasi dan invalidasi, seringkali memerlukan waktu yang panjang. Ketika alat untuk mengobservasi dan meneliti alam semakin canggih (dari mikroskop elektron hingga teleskop Hubble), dunia mikro sub-partikel atom dan dunia makro galaksi semakin tervalidasi. Informasi dan pengetahuan terus terakumulasi, berbagai penemuan baru terus terungkap. Dunia terus menerus membuka misterinya pada sains. Pengetahuan dan informasi baru mengubah perspektif manusia. Dulu bumi dikira datar, matahari dan bintang mengelilingi bumi, kini kita tahu itu salah.
Saat ini sejumlah fakta saintifik dinegasi dan dipersoalkan—dari bumi datar, pendaratan manusia di bulan, perubahan iklim, bahaya vaksinasi, hingga Covid-19 senjata biologis buatan manusia. Tentu, mempertanyakan fakta sains sah-sah saja, sejauh berbasis pada metode sains. Persoalannya, orang lebih menyukai teori konspirasi atau asumsi yang membuat nyaman, ketimbang fakta sains yang merisaukan. Atau berpaling pada pseudo-sains, sejauh memberikan penjelasan yang menyenangkan.
Karl Popper dalam risalahnya “Conjectures and Refutations” mengulas problem yang membedakan sains dan pseudo-sains. Memilah astronomi dengan astrologi; membedakan teori evolusi dengan kreasionisme (intelligent design); atau ilmu alam dengan ilmu sosial (humaniora). Melalui penerapan prinsip falsifikasi, Popper membuat garis demarkasi yang jelas antara yang sains dengan yang bukan.
Popper mengajukan “Thesis of refutability” sebagai metode menguji teori sains, yaitu dapat disalahkan. Pernyataan atau hipotesis bersifat saintifik jika dimungkinkan untuk disangkal. Popper membuat analogi “angsa putih” yang terkenal. Tugas sains bukan memverifikasi bahwa semua angsa putih, karena asumsi angsa pasti putih. Tugas sains justru berupaya mencari angsa hitam sebagai falsifikasi atas cara berpikir induktif bahwa angsa pasti putih.
Popper membandingkan Teori Relativitas Einstein dengan Teori Dialektika Sejarah Karl Marx dan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan menggunakan metode falsifikasi, bagi Popper, Teori Einstein lebih saintifik dari teori Marx dan Freud. Menyangkal Teori Relativitas cukup mudah, dengan membuktikan cahaya tidak berbelok di seputar matahari, seperti yang Einstein prediksi. Jika cahaya lurus-lurus saja maka teorinya salah. Menyalahkan teori Marx atau Freud jauh lebih sulit, terlalu banyak variabel yang inkonsisten dan sulit diprediksi, sehingga sulit difalsifikasi. Teori Marx dan teori Freud tidak bisa sepenuhnya dianggap sains.
Popper mengamini kritik David Hume pada logika induktif yang secara logis sulit dijustifikasi. Kebenaran induktif bersifat psikologis (contoh, karena terbit setiap malam, maka bulan pasti muncul nanti malam; mangga muda hijau masam, maka semua mangga hijau pasti masam). Popper bukan cuma sepakat dengan Hume dalam soal kritik atas logika induktif, namun menjabarkan dalam metode falsifikasi untuk menolak “kepastian” semu.
Dalam “The Logic of Scientific Discovery,” Popper menyebut, alih-alih memberi kepastian definitif (mutlak), kebenaran sains bersifat tentatif dan aproksimatif. Satu teori sains diamini karena pemaparannya lebih baik dan lebih akurat. Teori gravitasi Newton yang selama 200 tahun dianggap "kebenaran", kemudian terbukti tidak cukup akurat dalam memprediksi revolusi planet Merkuri mengelilingi matahari. Teori Relativitas Einstein bisa lebih akurat dari Teori Newton—namun bukan berarti Teori Gravitasi salah atau tidak berlaku lagi. Boleh jadi Teori Einstein juga akan direvisi suatu saat nanti. Sains tidak menawarkan kepastian absolut, selalu terbuka untuk dikoreksi dan diperbaiki. Ini adalah ciri kerendah-hatian etos saintifik; bahwa sains sebagai produk ingenuitas manusia bisa keliru atau kurang akurat.
Popper menyebut diri penganut pemikiran critical rasionalism, kombinasi dari ontologi empiris dengan epistemologi rasionalis. Ia bersikap rasional kritis untuk mengeliminasi “dogmatisme” dalam sains, khususnya sebagai kritik atas paradigma Positivisme yang diusung Auguste Comte. “Karena pengetahuan kita terbatas, sedangkan ketidaktahuan kita tak terbatas.” Ia memastikan, tugas sains bukan mencari (memverifikasi) kebenaran, melainkan mengeliminasi (mengurangi) kesalahan, agar kebenaran bisa semakin didekati. Bag Popper: Truth is beyond human authority.
Pencarian Kebenaran
Upaya “mencari kebenaran”, terinspirasi pemikiran Popper, perlu dimulai dengan membuat garis pemisah yang jelas antara sikap subyektif dan obyektif. Dengan metode demarkasi sains vs pseudo-sains dan falsifikasi. Dimulai dengan memilah antara yang epistemik (bagaimana kita tahu) dengan yang ontologis (realitas yang ada).
Upaya mencari kebenaran bersifat subyektif. Tidak ada pengetahuan epistemik yang obyektif. Termasuk sains dengan metode ilmiahnya. Pengetahuan epistemik adalah konstruksi manusia. Kita menamai susunan atom, struktur kimia, organisme, spesies, hingga sistem planet dan galaksi secara arbriter berbasis konsensus (dalam hal ini konsensus subyektif saintis dan ilmuwan).
Menafsirkan realitas ontologis adalah upaya mencari makna hidup. Pencarian makna lazimnya adalah wilayah agama, spiritualitas, atau filsafat. Sains tidak menyentuh pemaknaan, karena abstrak. Pertanyaan saintifik yang valid bukanlah “apa makna kehidupan”, melainkan “bagaimana membuat hidup lebih bermakna”. Makna hidup pada akhirnya harus dihadapkan atau didamaikan dengan “hal-hal yang tidak menyenangkan” dengan dunia. Misalnya soal penderitaan, ketidak-adilan, kejahatan, termasuk pandemi.
Manusia tidak perlu mencari kebenaran, melainkan cukup bagaimana menjalani hidup dengan benar. Kebenaran mungkin tidak akan ditemukan, karena tidak jelas lokus-nya. Namun manusia bisa merumuskan hal-hal benar. Kebenaran pada akhirnya adalah soal konsensus manusia, seperti kebenaran moralitas, misalnya, adalah sebuah probabilitas. Alih-alih terobsesi kebenaran, lebih relevan memastikan untuk terus-menerus berupaya mengurangi kesalahan. Rhichard Rorty dalam “The Contingency of Language” menyatakan “truth Is made rather than found.” Kebenaran sebagai konstruksi manusia, bisa dikonstruksi dan didekonstruksi.
Bukan tugas sains untuk mencari dan menemukan kebenaran. Sains hanya membantu menjelaskan realitas dunia. Secara umum, temuan sains telah membuka kesadaran manusia untuk meninggalkan paradigma antroposentris yang mengistimewakan manusia sebagai pusat dunia. Manusia tidak istimewa, cuma satu dari sekian banyak mahluk hidup, dan bukan ciptaan entitas supranatural. Stephen Hawking menyebut: “manusia adalah buih kimia di permukaan tipikal planet, yang mengorbit mengelilingi tipikal matahari, di tepian tipikal galaksi.”
Manusia muncul dari proses evolusi kehidupan yang panjang, berbagi genetik dengan semua mahluk hidup, dari bakteri, buah mangga, sampai gorila. Secara genetik perbedaan manusia dan simpanse kurang dari dua persen. Namun perbedaan kecil ini memungkinkan manusia membangun metropolitan, membuat roket, mendarat di bulan dan mungkin menjelajahi planet; sementara simpanse tetap simpanse. Apa yang membedakan? Manusia memiliki sains, simpanse tidak. Ini kebenaran faktual yang patut dirayakan.
Sains perlu disyiarkan sebagai pegangan hidup, karena tidak seperti ideologi, politik, atau keyakinan, yang sering memecah-belah, sains menyatukan manusia. Untuk pertama kali dalam sejarah peradaban, manusia bisa bersatu dalam satu metode, satu pemikiran bersama, mengabaikan latar belakang kultural dan identitas.
Khususnya saat ini, di era pasca-kebenaran (post-truth), fakta-alternatif, politik identitas dan semangat tribalisme semakin menggejala. Ketika perdebatan atau tafsir tentang realitas mulai mengarah ke pemikiran anti-sains. Ketika pikiran tanpa-nalar memiliki platform yang sama dengan yang nalar. Maraknya obscurantisme, teori konspirasi, matinya ekspertise, terpilihnya politikus busuk (Donald Trump dan sejenisnya).
Paradigma sains mendesak untuk dikampanyekan, oleh kita yang memiliki nalar, sebagaimana politik dikampanyekan. Bukan untuk tujuan kekuasaan, tapi untuk membangun budaya nalar, menyemai scientific temper (perangai ilmiah) sebagai gaya hidup. Sains penting, karena, mengutip fisikawan Richard Feynman: “metode bagi manusia agar tidak mudah dibodohi; karena sejatinya manusia adalah mahluk yg paling gampang dibodohi."

Sumber: https://www.facebook.com/lukas.luwarso/posts/10157427833700794

No comments