Saintisme Bukan Istilah Peyoratif
Azis Anwar Fachrudin, peraih gelar master dari Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM.
Sebagian orang menolak penggunaan kata “saintisme” (scientism) karena maknanya peyoratif, dengan pengertian ia biasa dipakai untuk merendahkan penemuan ilmiah yang menentang keyakinan (seringnya keyakinan keagamaan) seseorang. Benarkah demikian?
Jika maksud klaim itu merujuk pada penggunaannya dalam perbincangan publik umum, mungkin benar dalam sebagian kasus. Tapi jika maksudnya adalah penggunaannya dalam perdebatan akademis, atau lebih khusus lagi dalam wacana agama-dan-sains, tidak. Ia absah sebagai sebuah deskripsi tentang suatu posisi filosofis tertentu.
Dalam wacana agama-dan-sains setengah abad mutakhir, saintisme merujuk pada pandangan atau ideologi bahwa sains adalah penjelasan paling valid dan paling objektif bagi segala hal yang ada. Sekali lagi: penjelasan paling valid dan paling objektif bagi segala hal yang ada. Boleh juga dikatakan, saintisme ialah paham yang menyatakan bahwa sains adalah Kebenaran itu sendiri (dengan “K” kapital) dengan cakupan total pada segala yang ada. Redaksi dari definisi-definisi yang diajukan boleh jadi berbeda, tapi acuan maknanya pada esensinya sama.
Dengan makna ini, tidak ada yang peyoratif sama sekali, karena ia mengacu secara deskriptif pada suatu ideologi. Buku-buku dan artikel-artikel jurnal ilmiah sudah ditulis untuk mengritik saintisme, bukan saja oleh para teolog, melainkan juga kalangan dari latar belakang filsafat bahkan tak sedikit dari para praktisi sains itu sendiri. (Misal, jika mau baca artikel untuk pembaca populer, ini tulisan panjang dari profesor biologi: "The Folly of Scientism" https://www.thenewatlantis.com/publications/the-folly-of-scientism)
Sebagai ilustrasi seperti apa makna yang diacu kata “saintisme”, saya berikan tiga contoh.
Pertama, pernyataan terkenal Stephen Hawking di pembukaan buku The Grand Design (2010) bahwa “filsafat telah mati” karena gagap mengejar kemajuan sains. Bagi Hawking, pertanyaan tentang apa watak sejati realitas, yang biasanya menjadi ranah filsafat, kini sudah bisa dijawab fisika. Dengan kata lain, filsafat tidak lagi berguna, karena otoritasnya sudah diambil sains.
Kedua, pernyataan kimiawan Peter Atkins dalam artikelnya Science as Truth (1995) bahwa sains memiliki “kompetensi universal” untuk menjelaskan segala hal dan bersifat superior atau mengatasi ilmu-ilmu sosial humaniora.
Ketiga, pernyataan Richard Dawkins dalam River Out of Eden: A Darwinian View of Life (1995): “The universe that we observe has precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose, no evil, no good, nothing but pitiless indifference.”
Jika kalimat Dawkins ini dimaksudkan sebagai apa yang maksimal bisa sains berikan, karena ia hanya bisa mengakses yang material atau empiris (alias setia pada “naturalisme metodologis”), tidak ada masalah. Tetapi jika itu dimaksudkan untuk merefleksikan kebenaran dari segala yang ada (“naturalisme ontologis”), bahwa begitu pula watak sejati kehidupan manusia; yakni tidak ada baik dan jahat; tidak ada tujuan bagi kehidupan; bahkan tidak ada pikiran dalam otak manusia, dan karena itu filsafat akal budi tidak ada gunanya; maka klaim itu berubah menjadi klaim saintisme.
Dengan tiga gambaran itu, dari sekian banyak contoh lain yang biasa muncul dari kelompok neo-ateis, penggunaan kata “saintisme” tepat menyasar posisi filosofis yang hendak diacu. Tidak ada yang peyoratif dalam hal ini. Kritik yang dilancarkan terhadap saintisme juga tidak berbeda dengan kritik terhadap posisi filsafat lain. (Yang membuat neo-ateis disebut neo-ateis dan berbeda dari ateis-ateis lama yang ada hingga awal abad 20 persis ada pada keyakinan saintisme itu.)
Saintisme yang demikian ini hendak menjadikan sains mengatasi semua bidang ilmu, termasuk filsafat, yang melahirkan sains itu sendiri. Ia menyatakan bahwa segala yang ada hanyalah yang material. Tidak berlebihan jika dikatakan, saintisme sebenarnya ialah materialisme berbaju sains.
Bila hendak diperas dalam dua paragraf singkat apa kritik utama pada saintisme, sesungguhnya tidak benar-benar sulit. Sains tidaklah bisa mendaku sebagai kebenaran itu sendiri sebab kebenaran sains bertumpu pada kebenaran lain, yakni keyakinan metafisis yang harus diasumsikan benar agar sains bisa bekerja—yang pernah saya tulis di postingan lama Fesbuk saya. Di antara contoh keyakinan metafisis itu ialah: bahwa hukum logika dan matematis benar (kebenaran koherensial); pikiran bisa tepat merefleksikan dunia eksternal (kebenaran korespondensial); kausalitas riil adanya; induksi valid sebagai metode; dst.
Karena bertumpu pada kebenaran lain, sains sendiri tidak bisa membuktikan kliam “sains adalah satu-satunya penjelasan paling valid bagi segala hal”. Untuk bisa menyatakan ini, sains butuh topangan lain, yakni filsafat. Menjelaskan kebenaran klaim itu dengan bekal sains saja, selain tidak bisa difalsifikasi secara empiris, juga akan berarti swa-rujukan (self-reference): sains benar karena sains itu sendiri benar.
Dengan demikian, yang gusar dengan saintisme seharusnya bukan saja kalangan agamawan, tetapi juga para filsuf, para ilmuwan sosial, dan bahkan semestinya juga para ilmuwan alam itu sendiri. Kalangan yang kerap mendelegitimasi agama kerap menggunakan kata “God-of-the-gaps”. Sebenarnya dengan nalar saintisme, kita juga bisa memakai frasa “philosophy-of-the-gaps” untuk ranah kajian filsafat yang belum bisa dijelaskan sains.
***
Boleh jadi ada yang keberatan, bahwa saintisme yang demikian itu bukan satu-satunya definisi. Saintisme dalam penggunaan awalnya berarti “sikap ilmiah” (scientific attitude), untuk membedakannya dari dogma.
Keberatan ini bagi saya terasa trivial. Jika demikian yang dimaksud, maka itu bukanlah makna yang diacu dalam penggunaan dan kritik terhadap “saintisme” dalam wacana agama-dan-sains setengah abad mutakhir. (Kasih tahu saya ya jika anda menemukan dalam wacana agama-dan-sains ada kritik terhadap saintisme dengan acuan makna “sikap ilmiah”.)
Menyatakan kritik terhadap saintisme keliru karena sama saja mengkritik “sikap ilmiah” adalah sebentuk “genetic fallacy”, yakni kesalahan pikir karena menyalahkan suatu konsep berdasarkan asal konsep itu dan bukan bagaimana konsep itu dipahami ketika diajukan oleh orang yang menggunakannya saat ini.
Saya kasih ilustrasi untuk memahami hal ini.
Misal, kata “dogma” itu sendiri. Sekarang ini ia cenderung bermakna kebenaran yang diterima begitu saja tanpa sikap kritis. Tapi “dogma” bermakna asali “pendirian filosofis” (philosophical tenet). Ini sama dengan kata “doktrin”: awal mulanya ia bermakna netral saja, yakni “ajaran” (teaching). Kini ia cenderung berkonotasi ajaran agama. Ketika orang mengkritik sikap dogmatis dengan mengacu pada makna asalinya, padahal bukan itu makna yang dikehendaki lawan bicara, maka itu adalah falasi. Dengan memakai makna asalinya, klaim bahwa “sains adalah penjelasan paling valid bagi segala hal” juga merupakan sebentuk dogma.
Misal lain, kata “sains” itu sendiri. Makna asalinya adalah “pengetahuan” secara umum. Kata “ilmu” dari bahasa Arab merupakan padanan yang pas dengan makna ini. Di zaman pra-modern, khususnya dalam kurikulum Aristotelian, kata “sains” yang diacu saat ini bernama “natural philosophy” (ini frasa yang dipakai Newton dalam Principia Mathematica); dan kata “natural philosophy” dipakai untuk membedakannya dari “moral philosophy” (yang mencakup politik, ekonomi, dan etika). Dalam wacana agama-dan-sains mutakhir, kata “sains” cenderung mengacu secara spesifik pada “ilmu-ilmu alam”. Jadi ketika orang mengkritik santisme saat ini, kata “sains” yang dimaksud di dalamnya adalah ilmu-ilmu alam, bukan sains yang bermakna pengetahuan secara umum. Jika anda membuka buku tentang agama-dan-sains terbitan mutakhir, dan anda mengharapkan di dalamnya ada polemik agama dengan ilmu sosial, anda perlu berharap juga bahwa harapan anda kemungkinan besar tak terpenuhi.
Demikianlah. Bukan kata yang primer, tetapi makna dibalik kata itulah yang seyogianya dijadikan rujukan. “La musyahhata fil-isthilahat; tidak ada permasalahan dalam soal istilah,” kata al-Ghazali ketika mengajak agar tak mudah terpukau pada istilah para filsuf. “Inna al-‘ibrah bil-ma’na,” lanjutnya, “karena yang dipegangi adalah makna yang dikandungnya.”
Saya pribadi bahkan punya usulan. Jika kata “saintisme” membuat diskusi terdistraksi oleh persoalan semantik, istilahnya boleh diganti, yang penting makna yang diacu sama. Bagaimana, misalnya, jika kata saintisme kita ganti saja jadi “sun-go-kong-isme”?
Sumber: https://www.facebook.com/azis.a.fachrudin/posts/3129793053775204
No comments