Perbedaan Sains dan Saintisme
Budhy Munawar Rachman, sebagaimana ditulis Wikipedia: "Salah satu dari penerus pemikir Islam progresif yang melihat Islam dari kacamata yang lebih terbuka, toleran, dan demokratis." Lulusan STF Driyarkara yang kini mengajar di almamaternya, selain di Universitas Paramdina.
Sedang ramai diskusi di fb soal sains dan saintisme terutama dari Goenawan Mohamad, A.S. Laksana, dan para penanggapnya seperti Ulil Abshar Abdalla, Taufiqurrahman, F. Budi Hardiman, Fitzerald Kennedy Sitorus, Husain Heriyanto, dan masih banyak lainnya.
Saya dalam status ini, ingin ikut berbagi pikiran bahwa saintisme itu adalah pandangan yang menyempitkan sains. Sains hanyalah salah satu cara manusia mengerti realitas. Ada banyak cara lain manusia bisa mengetahui realitas, misalnya bisa melalui filsafat, teologi, mistisisme dan seterusnya. Ketika seseorang mengatakan bahwa realitas hanya bisa diketahui melalui sains, itu adalah “saintisme”.
Menurut saya, sains itu mempunyai dua muka. Jika kita menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah "sebuah kenyataan yang sempurna," maka kita akan melihat sains sebagai hanya kebenaran indrawi. Sains pernah mengukuhkan bahwa kebenaran mutlak adalah yang didasarkan pada panca-inderawi saja. Pandangan ini disebut “saintisme.” Karena itu, pertanyaannya adalah, "Apakah ada sesuatu hakikat yang berada di luar sains?" Saintisme akan menjawab tidak ada. Kebenaran hanyalah kebenaran material yang bisa dideskripsi¬kan melalui hukum-hukum sains saja.
Melawan pandangan saintisme itu, yang sekarang mulai ditinggalkan orang, sangatlah menarik, kalau kalau kita bisa melihat pada "tanda-tanda", bahwa sains bisa membawa kita kepada suatu hakikat yang ada di seberang sains. Sesuatu yang tidak terpikirkan oleh saintisme.
Kita akan melihat "tanda-tanda" yang merupa¬kan petunjuk kepada adanya realitas di seberang sains. Kita catatkan terlebih dahulu "tanda-tanda" itu, melalui “tesis-tesis” perjalanan kita untuk menunjukkan adanya realitas di seberang sains (Tesis-tesis berikut saya ambil dari Huston Smith, Forgotten Truth, The Common Vision of the World’s Religions, pada bab “The Place of Science,” [New York: Harper San Francisco, 1992], h. 96-117). Tesis-tesis itu kita coba dalami dalam rangka untuk menyangkal pandangan saintisme.
1. Sesuatu itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada lahiriahnya.
2. Selain dari yang kita lihat pada sisi lahiriahnya, terdapat "sesuatu yang lebih dari itu".
3. "Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat diketahui dengan cara yang biasa dilakukan.
4. Walaupun begitu, ia bisa diketahui dengan cara-cara yang memadai untuk itu, cara yang luar biasa.
5. Cara-cara tersebut memerlukan penyuburan (cultivation) atau penyemaian.
6. Dan cara itu, juga memerlukan alat.
Tesis 1: Sesuatu Itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada lahiriahnya
Salah satu dari tugas sains adalah menunjukkan hakikat dari kenyataan. Apa yang paling menakjubkan dari sains modern, adalah kemampuannya dalam menunjukkan bahwa kenyataan tidak seperti apa yang dapat kita lihat secara langsung. Jika kita mengatakan bahwa meja ini bersifat pejal, maka sains akan mengatakan bahwa, pada hakikatnya tidak begitu. Sebab, jika kita bisa melihat atau mengecilkan meja sampai kepada tingkat elektron, maka yang akan kita lihat adalah ruang kosong, rasio ruang dan materi di situ adalah, seperti bola dan ruang permainannya (lapangan bola). Begitu juga, jika kita mengatakan meja itu statis. Itu tidak benar, kata sains, karena kita akan melihat di dalamnya, ada aktivitas elektron yang berkelil¬ing memutari intinya berjuta-juta kali dalam sesaat.
Inilah contoh bahwa setiap saat, indrawi kita "menggambarkan sesuatu," tetapi indra kita telah dirancang sedemikian rupa sehingga tidak memberitahukan kepada kita perkara yang sebenarnya. Bayangkan saja, jika nenek moyang kita dulu melihat bukan beruang, tetapi elektron-elektron yang berputar, tentu saja ia sudah dimakan oleh beruang itu! Inilah yang dinamakan bahwa, “Sesuatu itu tidaklah seperti apa yang kita lihat pada lahiriahnya.”
Dengan kesadaran ini, maka kita didorong kepada kesadaran suatu "kenyataan lain" dari kenyataan yang sehari-hari kita lihat dengan mata kepala kita. Sains menunjukkan bahwa indra kita telah memperdayakan kita. Ini mengingatkan kepada pandangan tradisional-keagamaan, bahwa "yang lahiriah itu mengelirukan" (our sensibilities mislead). Agama mendakwah bahwa ia telah memberitahu kita tentang suatu alam lain, tentang sesuatu yang tersembunyi di balik alam ini, yang bisa kita pegang, lihat dan sentuh. Kita mungkin berpikir bahwa dakwahan agamaini palsu, tetapi jika ia memang benar, kemungkinannya ia adalah sukar atau sekurang-kurangnya sukar seperti fisika modern, atas sebab yang sama.
Keterangan ini, juga mengingatkan kita kepada pemikiran Sufisme yang sering membuat dua lapisan bacaan: antara yang “terlihat” dan “tak terlihat.” Atau dalam filsafat India yang menyatakan tentang maya. Apa yang disebut maya ini sebenarnya bukanlah bahwa, “dunia ini adalah khayalan,” tetapi bahwa “cara dunia memamerkan dirinya kepada kita adalah mengelirukan.” Permadani yang dibentangkan di hadapan kita, dan mengundang kita untuk menai¬kinya adalah sebuah permadani ajaib, tetapi ia menyihir; ia menipu. Frithjof Schuon, dalam Spiritual Perspectives and the Human Facts, h.169 mengatakan bahwa, "kehidupan ini adalah perjalanan satu mimpi, satu kesadaran, satu ego melalui mimpi kolektif dan kosmis. Kematian menarik mimpi tersebut dari mimpi keseluruhannya, dan mencabut akar yang telah diturunkan ke mimpi umum. Alam ini adalah satu olahan mimpi dari mimpi yang banyak. The Self alone is awake." Dalam konteks ini, ada do’a yang “aneh” dari Kitab Suci Yahudi dan Kristen, “Maka didiklah kami menghitung hari-hari kami, semoga akan terbit kearifan di hati kami” (Mazmur 90:12).
Tesis 2: Selain dari yang kita lihat pada sisi lahiriahnya, terdapat "sesuatu yang lebih" dari itu, Dan “itu” menakjubkan.
Kita sudah melihat bahwa sifat sebenarnya dari “sesuatu itu,” secara radikal “berbeda” dari yang tampak. Mereka, para saintis menyetujui bahwa "yang berbeda" itu, lebih tinggi tingkatannya dari segala yang kita alami dalam penglihatan sehari-hari.
Sains adalah ilmu yang berurusan dengan kuantitas. Maka istilah "sesuatu yang melebihi" itu dalam sains selalu dinyatakan dalam bentuk angka-angka. Misalnya, kita mendapatkan bahwa cahaya dari sebuah galaksi yang agak besar, dan paling dekat dari bumi memerlukan dua juta "tahun cahaya" untuk sampai ke bumi. Jumlah molekul dalam 4 1/2 dram air (kira-kira 1/2 ons), dan sebagai tetapan avogadro adalah 6,023 x 1023, atau kira-kira 600.000 milyar molekul. Kepada keajaiban angka-angka seperti itu, agama biasanya mengatakannya dengan cara kualitatif, misalnya "Penderitaan yang kita alami pada masa kini tidak seberapa besar dibandingkan dengan kemuliaan dan keindahan yang akan kita alami kelak."
Dari fisika mikro, kita juga mengetahui bahwa adanya zat yang 100 milyar kali lebih kecil dari elektron. John Weller memberitahukan kita bahwa cakrawala yang kita ketahui ini, 13 milyar tahun umurnya, dan 26 milyar tahun cahaya yang terjauh, jauhnya dari bumi. Angka-angka ini mempunyai platform yang begitu besar, sehingga menjadikan sains berkata secara mistis, sebagai tak terbatas atau tak tergambarkan, maka dianggap “infinite”.
Tesis 3: "Sesuatu yang lebih" itu, tidak dapat diketahui dengan cara yang biasa dilakukan
Biasanya, para saintis (ilmuwan) menggambarkan atas besaran yang sukar dibayangkan di atas, dengan kata "mengagumkan" (Siapa yang bisa membayangkan angka bermi¬lyar-milyar di atas). Tetapi sebenarnya, ini baru permulaan, yang belum apa-apa. Karena, kajian sains belakangan ini mengemuka¬kan sesuatu yang tidak dapat diterka oleh pikiran kita. Inilah yang terjadi pada teori relativitas dan mekanika kuantum.
Selama abad kedua puluh, penemuan-penemuan fisika modern telah meruntuhkan paradigma Newtonian. Runtuhnya paradigma ini, terjadi akibat perkembangan teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum. Teori relativitas, yang merupakan fisika kecepatan tinggi pada jarak-jarak yang besar, yang membantah asumsi Newton tentang ruang dan waktu absolut, telah menguasai pandangan sehari-hari kita tentang dunia. Ruang dan waktu direlatifkan oleh Einstein, ketika unsur kecepatan cahaya menjadi variabel dari gerak. Dengan demikian, panjang ruang dan panjang waktu adalah sesuatu yang relatif, tergantung keadaan pengukurnya.
Sementara itu, mekanika kuantum, yang merupakan fisika tentang dunia mikro subatomik, merombak total pandangan tentang materi. Asumsi lama bahwa, atom-atom dunia mikroskopik adalah versi berskala kecil dari dunia sehari-hari, harus segera ditinggalkan. Mesin deterministik Newton digantikan oleh alam yang diatur dengan hukum-hukum kemungkinan, bukan hukum sebab akibat yang memberikan kepastian. Perkembangan ini mengakibatkan terbukanya ruang “mistik” dalam penjelasan fisika, juga menjadi fenomena yang tak pernah terduga, karena fisika sebelumnya sangat bersifat materialistik dan sekular dalam melihat kenyataan alam.
Pernyataan paling revolusioner dari fisika kuantum mengenai hakikat kenyataan alam adalah tentang sifat dualitas dunia subatomik. Contoh paling terkenal tentang sifat ini adalah cahaya, yang bisa diamati sebagai gelombang elektro-magnetik atau partikel-partikel foton, tergantung dari rancangan percobaan yang diterapkan padanya. Niels Bohr menjelaskan ini melalui prinsip komplementaritas. Prinsip ini mengatakan bahwa, gambaran dunia subatomik sebagai partikel dan gelombang merupakan dua penjelasan yang saling melengkapi tentang satu kenyataan yang sama, kendati kita tidak bisa memperolehnya secara sekaligus. Percobaan yang dirancang untuk mendeteksi gelombang hanya dapat mengukur aspek gelombang dari elektron. Sedangkan percobaan yang dirancang untuk mendeteksi partikel, hanya dapat mengukur aspek partikelnya. Sebuah percobaan tak mungkin mengukur kedua aspek itu secara serempak.
Prinsip ini mempunyai efek epistemologis berkaitan dengan objektivitas yang selama ini dijunjung setinggi langit oleh fisika. "Tidak benar bahwa fisika adalah tentang alam sebagaimana adanya. Fisika adalah tentang alam sebagaimana yang kita ketahui," begitu Bohr mengomentari implikasi dari prinsip komplementaritas ini.
Dualitas partikel-gelombang ini dilanjutkan oleh prinsip ketidakpastian Heisenberg yang membicarakan dualitas posisi-momentum. Prinsip ini mengatakan bahwa, kita hanya dapat mengamati secara teliti separuh dari kenyataan keadaan fisik suatu sistem. Artinya, kalau kita dapat mengukur dengan teliti kecepatan suatu partikel, maka pengukuran posisinya menjadi tidak teliti. Sebaliknya, semakin teliti kita mengukur posisi suatu partikel, semakin tidak teliti pengukuran kecepatannya.
Kedua prinsip ini, memperlihatkan kenyataan dunia subatomik yang tidak bisa dilepaskan dari kesadaran pengamatnya. Jika fisika klasik mengasumsikan adanya dunia di luar sana dalam keadaan pasti, dan tak tergantung pada tindakan pengamat, maka kedua prinsip ini menampilkan gambaran kenyataan yang sebaliknya: pengamat dan yang diamati saling berkaitan erat.
Objektivitas ilmiah seakan lenyap pada tingkat subatomik, digantikan dengan subjektivitas pengamat. Apa yang dapat kita ketahui ditentukan oleh perangkat percobaan kita. Dengan demikian, keyakinan tentang objektivitas menjadi ilusi. Melalui pengamatan, ternyata kita menciptakan kenyataan, bukan mengeksplorasinya.
Ketidakpastian ini, menurut Heisenberg, bukan disebabkan oleh ketidakmampuan manusia atau keterbatasan alat, tetapi meru¬pakan sifat yang melekat pada alam semesta. Alam pada tingkat subatomik seakan mengelak untuk diketahui manusia (bandingkan dengan apa yang disebut “maya” dalam filsafat India.
Keutuhan yang tak terbagi. Einstein tidak bisa menerima kenyataan kuantum yang serba tidak pasti ini. Bagi Enstein, tidak mungkin alam diciptakan dengan aturan yang tidak bisa diketahui. "Tuhan tidak sedang bermain dadu," katanya. Keberatan utama Einstein terletak pada prinsip ketidakpastian. Berharap dapat membuktikan bahwa di balik dunia kuantum yang ganjil ini, tersembunyi kenyataan yang selaras dengan tradisi deterministik fisika klasik, maka pada 1935, Einstein, Podolsky, dan Rosen merancang sebuah percobaan untuk mem¬buktikan bahwa ketidakpastian kuantum tidak bersifat inheren, tetapi disebabkan oleh tidak memadainya alat yang digunakan.
Percobaan ini ingin memperlihatkan bahwa kita bisa mengukur posisi dan kecepatan elektron secara serempak pada saat yang sama. Upaya ini gagal, tetapi justru memperkuat aspek lain yang lebih menakjubkan dari dunia subatomik, yaitu prinsip non-lokalitas. Prinsip ini mengatakan bahwa partikel-partikel subatomik, dapat saling mempengaruhi secara seketika dari jarak yang jauh, tanpa ada penyebab lokal. Seakan-akan ada interaksi yang lebih segera dari kecepatan cahaya antara partikel-partikel itu.
Prinsip ini mempunyai jangkauan implikasi yang sangat jauh. Jika kita dapat membayangkan alam semesta sebagai sebuah jaringan partikel-partikel yang saling berinteraksi dalam sebuah sistem kuantum, maka prinsip ini mengungkapkan sifat kesalinghubungan di alam semesta. Ini merombak secara menyeluruh pandangan klasik tentang kausalitas yang terbatas pada efek-efek lokal.
Pada tahun 1951, David Bohm melihat aspek lain dari percobaan Enstein, Podolsky dan Rosen. Sambil melanjutkan keraguan Enstein perihal prinsip ketidakpastian, David Bohm berpendapat bahwa prinsip ini muncul hanya karena ketidakmampuan kita untuk menjelaskan sesuatu yang lebih mendasar dari teori kuantum. Menurut Bohm, kenyataan bahwa partikel-partikel subatomik dapat berhubungan secara langsung, justru disebabkan karena adanya kesatuan di balik realitas kuantum. Apa yang kita persepsikan sebagai partikel-partikel yang terpisah dalam sebuah sistem subatomik, sebenarnya tidak terpisah, melainkan merupakan perluasan dari sesuatu yang lebih fundamental pada tingkat kenyataan yang lebih tinggi. Bohm menyebut tingkat kenyataan partikel-partikel itu sebagai “explicate order”, sementara realitas dasar yang merupakan sumber-sumber itu diistilahkan Bohm sebagai “implicate order”.
Huston Smith menyebut, pandangan-pandangan yang dipaparkan di atas, memunculkan epistemologi, yang menuntut cara baru dalam memahami alam, yang dise¬butnya dengan “counterintuitive”, yang mengatasi kategori ruang dan waktu seperti lazimnya selama ini dipahami dalam sains. Persamaan filosofis bagi pengertian “counterintuitive” ini adalah “ineffable” (di luar kemampuan kata-kata) dan “apophatic”. Kenyataan ini, tentu saja telah menimbulkan skandal dalam sains, justru karena terbukanya ruang paradoks dalam sains. Padahal selama ini, seperti dikatakan W.T. Stace dalam The Teaching of the Mystics, "sifat paradoks adalah satu ciri lazim semua ajaran mistik". jadi bukan ciri sains, yang ”rigorous”.
Tesis 4: "Kelebihan" itu tidak bisa diketahui dengan cara biasa. Meskipun begitu, ia bisa diketahui dengan cara-cara yang luar biasa.
Apa yang kita lihat dari perkembangan sains baru ini, menuntut kita "berjalan lebih jauh." Pada mekanika kuantum, sebagaimana dikatakan Schilling, dalam The New Consciousness in Science and Religion, bahwa, "Kesimpulan...akan paradoks materi-gelombang... dicapai... dengan memakai simbol matema¬tika semata (tentang mekanika kuantum), dan pada umumnya dengan mengelakkan konsep yang mempunyai gambaran-gambaran." Ini memunculkan semacam ."visi mistik," dalam sains yaitu:
Pertama, visi alam yang baru itu adalah sesuatu yang terlalu hebat untuk diungkapkan dengan kata-kata. Apa yang diketahui adalah terlalu sedikit, atau masih jauh dari pengetahuan biasa, dan hampir tidak dapat dinyatakan atau dikabarkan kepada mereka yang tidak terlibat dalam bidang itu.
Kedua, visi ini menunjukkan bahwa eksistensi itu disifatkan sebagai perpaduan yang tidak langsung. Misalnya materi dan energi adalah satu. Ruang dan waktu adalah satu. Ruang dan gravitasi adalah satu.
Ketiga, penemuan visi ini menghidupkan rasa bahagia. Dan,
Keempat, rasa bahagia ini bukan suatu kebetulan, tetapi ia adalah akibat logis dari penyebab yang mengakibatkannya: yaitu pencapaian kesatuan wujud dalam sains. Ini begitu penting ditekankan, karena tanpa pencapaian kesatuan wujud, visi ketakjuban akan direndahkan kepada pengalaman mistikal biasa, yang sering dianggap sebagai perasaan. Padahal pengalaman mistik bukan perasaan, tetapi suatu “noetic” (yang berkaitan dengan pengetahuan dan visi). Mengambil ungkapan dalam mistisisme, "Manusia yang mendekati Tuhan tidak pernah gembira, karena ia adalah kegembiraan itu sendiri" begitu Master Eckhart.
Tesis 5: Cara-cara mengetahui yang luar biasa itu, memerlukan penyuburan (“Cultivation”) atau Penyemaian.
Apa yang penting dari realitas sains adalah perlunya kesungguhan dalam dedikasi. Untuk menjadi seorang ahli fisika, sekarang ini memerlukan waktu yang lama. Teori relativitas bisa dihapal dalam beberapa menit, tetapi kajian bertahun-tahun tentang teori ini, belum juga menjamin penguasaan atas teori tersebut.
Sehingga kesungguhan di dalam sains, menyerupai dedikasi para wali dan orang yang bercinta Ilahi; setelah mencapai kebersihan diri, maka pengalaman mistikal menjadi mudah dan biasa. Walaupun seperti dikatakan Bayazid, "pengetahuan tentang Tuhan tidak bisa dicapai dengan usaha, tetapi hanya mereka yang benar-benar beru¬saha untuk mendapatkannya saja, akan menemuinya."
Tesis 6: Pengetahuan mendalam memerlukan alat.
Sains pasti memerlukan alat. Sains misalnya mempunyai teleskop, kamera, spektroskop, dan sebagainya. Mistik pun mempunyai alat, yang terdiri dari dua macam. Untuk masyarakat yang buta huruf, ada dan dikenal mitos, sedangkan bagi penduduk yang berperadaban lebih maju, ada dan dikenal Kitab Suci (Sacred Text). Pada masyarakat yang tidak didatangi nabi, ia bisa mencapai kebenaran dengan melalui kesadaran diri yang mendalam, karena "Sifat ketuhanan ada dalam diri manusia." Kata Huston Smith, "hukum, peraturan dan prinsip penghidupan yang diwahyukan adalah ibarat membongkar rahasia langit, dan mengumumkan keagungan Tuhan, tetapi di dalam agama, alat-alat khusus juga bisa dipakai".. Atau seperti dikatakan penyair mistik Blake bahwa, "jika pintu akal budi dibuka dan dibersihkan, setiap sesuatu itu akan kelihatan seperti pada hakikatnya yang sebenarnya, karena ia adalah infinite."
Pandangan ini sejalan dengan Paul Dirac yang mengatakan bahwa, "segala materi tercipta dari substratum yang tidak bisa dicapai atau ditanggapi, dan penciptaan materi ini meninggalkan di belakang mereka sebuah “lubang” dalam substratum yang kelihatan seperti anti-materi. Substratum itu sendiri tidak dapat secara tepat dikatakan benda, memandanginya memenuhi semua ruang, dan tidak bisa diketahui dengan penelitian sains. Dari segi lain, ia kelihatan seperti sesuatu yang kosong, tidak merupakan benda, dan tidak pula dapat dikesani, tetapi senantiasa ada. Ia adalah suatu bentuk benda yang tidak bersifat benda, yang darinya semua benda diciptakan."
Akhirnya
Sekarang makin disadari bahwa sains bisa menjadi jalan memahami realitas kosmos, mengikuti jalan lain yang lebih tua, seperti mistik. “Mystics have known about it for thousands of years. Science is now discovering it”. Sains tidak lagi mendominasi, tapi melengkapi jalan mistik yang banyak membicarakan tema-tema seperti kesadaran. "Consciousness and the physical universe are connected," begitu kata Michael Talbot, seorang penulis buku-buku bertemakan fisika baru dan mistisisme. Melalui mistik dan sains, muncullah apa yang sekarang disebut "the cosmic connection". Dan rupanya, ini hanyalah istilah untuk zaman sekarang. Padahal, dahulu kala sudah dikenal dan populer dengan istilah “kesatuan wujud”. Akhirnya, menarik, “The newphysics is offering us a scientific basis for religion” kata Michael Talbot lagi. Kalau saintisme menolak agama, sains malah bisa menjadi basis untuk agama, khususnya. agama dalam dimensi mistisismenya.
Inilah perbedaan sains dan saintisme yang sangat jelas.
Sumber:
https://www.facebook.com/budhymunawar.rachman.7/posts/1602629073227382
No comments