TERBARU

Romantisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad (Bagian 2 dari 6 Tulisan)


Hamid Basyaib, mantan wartawan dan aktivis lulusan Fakultas Hukum UII, kini menjabat sebagai Komisaris Balai Pustaka.

Prosedur metodologis juga mungkin mencakup modeling, yang mungkin dikerjakan oleh ilmuwan lain dari sisi teoretis, misalnya ahli fisika kuantum atau fisika partikel, pakar biologi molekuler dan sebagainya, yang pasti melibatkan penerapan matematika. Dan matematika bukanlah sekadar angka-angka (meski namanya mirip aritmatika).
Matematika malah makin cenderung meminimalkan pelibatan angka dan lebih menonjolkan simbol-simbol lain. Inilah sebabnya matematika disebut sebagai bahasa ilmu, sebagaimana bahasa Inggris dinyatakan sebagai bahasa pergaulan internasional.
Persamaan mashur Einstein tentang teori relativitas, misalnya, hanya mencantumkan satu angka sebagai tanda kuadrat saja; semua elemen lainnya adalah huruf, simbol sesuatu yang konseptual dan bisa sangat panjang elaborasi matematis maupun verbalnya.
Pembuatan model bukan berarti mereduksi realitas, seperti didakwakan Goenawan, tapi demi memungkinkan sesuatu itu diteliti untuk diketahui. Tanpa modeling, maka rembulan, dalam posisinya terhadap bumi, misalnya, hanya bisa dilihat-lihat saja dari jarak jutaan kilometer sambil ditebak-tebak tanpa ujung pangkal, dan pada umumnya tebakan itu salah besar.
Misalnya pengarang lagu memuja kecantikan gadis pujaannya dengan menyamakannya dengan rembulan atau bulan purnama -- suatu pemujaan yang membuat ahli astrofisika terheran-heran, prihatin, tapi kemudian mungkin tersenyum maklum akan ketakmengertian sang perjaka malang.
Model, penetapan simbol-simbol, menurut Goenawan merupakan pemiguraan [framing] atas realitas, seperti dikatakan Martin Heidegger, yang terlalu sering dikutipnya. Ia mencontohkan apa yang terjadi dalam kerja ilmu kimia. Segala jenis air, misalnya, kata dia, diringkus dengan simbol H2O. Padahal air yang dirumuskan dengan simbol kimia itu berbeda – ada air minum, air di vas bunga, air di comberan. Ini kritik yang aneh sekali.
Padahal tiap hari ia sendiri meringkus realitas dengan bahasa. Realitas memang tidak pernah bisa dihadapi langsung apa adanya. Ia terlalu kompleks. Bahasa dengan sendirinya adalah konseptualisasi atas realitas -- dengan demikian ia niscaya "meringkus”, “mereduksi”, “memigura”.
Dalam contoh air tadi, misalnya, air – terdiri atas huruf-huruf a, i dan r dalam bahasa Indonesia – adalah simbol untuk sejenis benda cair dalam bahasa sehari-hari ataupun bahasa literer. Dalam bahasa kimia ia disebut H2O, dan dari segi struktur atomik dan sifat-sifatnya sama saja antara H2O comberan atau air pegunungan. Jika orang menyebut “bumi”, apakah orang itu bermaksud mengatakan bahwa ia sedang menunjuk sesuatu yang berisi 8.000.000 spesies dengan segala macam kompleksitasnya?
Jika penyair menyebut “laut” dalam puisinya, apakah ia mencakup proses terbentuknya hal itu beserta miliaran biota yang ada di dalamnya? Bumi, laut, pohon, pisang goreng, soto babat, gunung dan semua kata lain adalah simbol dalam bahasa literer. Tapi Goenawan tidak pernah mengeluhkan peringkusan dan reduksionisme kronis atas realitas ini. Tanpa pernah melihat the elephant in the room, ia hanya sibuk mempersoalkan pemiguraan oleh bahasa sains -- tidak kena pula.
Sains memigura realitas, kata Goenawan, dan ia mengajukan alternatif cara melihat yang bebas dari pigura: seni. Alternatif yang ditawarkannya ini benar-benar mengejutkan. Seni mana yang bukan merupakan pigura atas realitas? Dalam seni, pemiguraan itu bahkan bisa terjadi berlapis-lapis, dan dengan demikian reduksi yang terjadi pun berlapis-lapis.
Riwayat hidup Alexander Hamilton dipigura oleh seorang pakar ilmu politik menjadi biografi, lalu dari pigura itu Lin-Manuel Miranda memiguranya menjadi drama musikal “Hamilton”, sensasi teater sejak beberapa tahun lalu di Amerika dan Eropa. Goenawan sendiri terlalu sering memigura pigura.
Jika ia ingin menulis suatu realitas tertentu, ia lebih sering mengutip datanya dari karya fiksi, misalnya The Name of the Rose karya Umberto Eco [maaf, saya lupa judul asli Italianya], yang entah berapa kali sudah dikutipnya sejak bertahun-tahun lalu – tentu saja juga ada kutipannya dalam polemik ini. Ini problem lain dalam mode presentasinya: meminjam "analisis" dari karya fiksi untuk paparannya tentang peristiwa-peristiwa faktual.
Bagaimana dengan pandemi yang melingkupi kita hari-hari ini? Jangan kuatir, ada novel Albert Camus yang menjelaskannya, yang juga sering dikutipnya. Pemiguraan ratusan halaman yang dilakukan Eco dan Camus itu dipigura lagi oleh Goenawan dalam bentuk satu halaman tulisan di majalah.
Bagaimana sesungguhnya masalah korupsi, misalnya di Indonesia? Ada pigura yang dibuat Anton Chekov tentang realitas itu dalam bentuk cerita pendek, dan dipigura lagi oleh Sjumandjaja menjadi film “Si Mamad”, dan dari pigura atas pigura inilah Goenawan membuat pigura berupa esai. “Korupsi adalah korupsi karena sebuah garis batas,” tulisnya, tiba-tiba.
Esai itu ditutup secara “ajaib”: “Berangsur-angsur, korupsi, yang melintasi garis batas, berakhir jadi cerita hantu. Hantu itu bernama ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’ – sesuatu yang sebenarnya bukan 100 persen ‘Negara’, bukan pula ‘kesatuan’, sesuatu antara ada dan tiada, seram dan tak menentu.”
Kita tak punya harapan apapun tentang pemberantasan korupsi. Hantu yang “seram dan tak menentu,” bahkan eksistensinya “antara ada dan tiada”, tidak mungkin punya hubungan apapun dengan instrumen legal dan aparat hukum.
***
Tanpa modeling, tidak mungkin seorang astrofisikawan mengerti apa dan bagaimana kondisi di planet Jupiter; atau ahli biologi molekuler tak mungkin tahu bahwa asam amino – unit struktural dan unsur utama pembentuk protein dalam semua sel hidup di dalam tubuh -- asal muasalnya dari luar bumi.
Sebab suhu yang memungkinkannya berdenyut dan menggerakkannya di masa awal -- dulu sekali, miliaran tahun lalu -- tidak pernah ada di bumi. Begitulah menurut Abdus Salam, pemenang Nobel Fisika 1979 yang di tahun-tahun terakhir karirnya menekuni biologi molekuler; dan dengan teorinya itu ia diduga akan mendapat Hadiah Nobel kedua jika tak keburu wafat.
Demikian pula, jika tanpa model, ahli neurosains tidak bisa menjelaskan bagaimana proses sinapsis bekerja di otak manusia; bagaimana suatu informasi diproses melalui rangkaian rumit yang melibatkan berjuta-juta neuron otak. Dan dengan pengetahuan itu suatu proses dan strategi belajar mungkin dapat disusun untuk membuat murid sekolah memahami dengan efektif dan efisien jenis pengetahuan atau pelatihan tertentu.
Dengan itu pula mungkin akhirnya bisa diketahui kapan saat yang paling tepat untuk memberi pelajaran apa; jenis makanan apa yang memungkinkan otak bekerja optimal, dan lain-lain. Sekarang ahli neurosains bisa mengetahui kenapa seorang yang sukses, misalnya, cenderung sukses terus dalam hidupnya, dan kenapa yang gagal cenderung selalu gagal.
Mereka mampu menunjukkan jejak-jejak memori sukses dan gagal itu dalam otak manusia, lalu bahkan bisa memberi saran-saran praktis bagaimana cara memperkuat memori sukses (agar orang bisa lebih sering berhasil) dan meminimalkan memori gagal itu (supaya orang tidak selalu gagal).
Apa yang dikenal sebagai insting atau naluri bertindak, menurut neurosains tidak ada; semua tindakan manusia adalah hasil kalkulasi biokimia yang berpusat di otak. Jika saya dikejar anjing dan saya punya dua pilihan untuk menyelamatkan diri -- melompati pagar atau masuk ke dalam rumah orang lain -- otak saya akan menghitung: berapa besar risiko masing-masing di antara kedua pilihan itu, mana yang lebih cepat antara saya melompati pagar atau masuk ke rumah orang.
Kalkulasi biokimia itu muncul bukan dalam bentuk angka-angka, melainkan berupa perasaan berani ataupun takut. Misalnya, saya memilih lompat pagar meski dengan risiko terluka, karena pilihan itu lebih mungkin berhasil. Artinya saya lebih memilih peluang cidera karena melompat daripada terluka karena digigit anjing.
Semua proses itu berlangsung sangat cepat, dalam hitungan picosecond [satu per triliun detik], dan untuk keperluan pengukuran ini pun ilmuwan mengembangkan metode pengukuran yang semakin presisi, meski dalam kenyataan sehari-hari kita tidak sanggup membayangkan berapakah durasi seperseribu detik, misalnya, apalagi satu picosecond.
Imajinasi manusia tidak mampu membayangkan durasi sesingkat itu, sebagaimana tak mampu membayangkan jarak geografis jutaan tahun cahaya. Tetapi matematika menemukan cara berupa penciptaan simbol-simbol, sehingga meski hal itu tak terjangkau imajinasi manusia, ia bisa dihitung.
Saya masih saja heran, misalnya, mengapa proses pengunduhan buku seribu halaman ke dalam telepon saya hanya berlangsung satu detik saja; jadi downloading itu, dengan hitungan kasar, berlangsung selama seperseribu detik per halaman buku – dan saya tetap tak sanggup, meski sudah berusaha keras, membayangkan kecepatan sepesat itu. Sebagaimana saya juga tak sanggup membayangkan ukuran virus, ketika seorang ilmuwan mengatakan dalam benda sebesar titik di akhir kalimat ini bisa berkumpul satu juta virus. Alhamdulilah matematika mampu menjangkau wilayah itu dengan simbolisasi.
Hal-hal semacam itulah yang menjadi bahan baku untuk dialihkan ke dalam machine learning yang berbasis artificial intelligence, dan kini makin mewarnai kehidupan umat manusia; dijadikan algoritma untuk mesin pencari Google, smartphone dan sebagainya.
Sekadar info: mantan Wakil Presiden Boediono, seorang ahli ekonomi, pernah menulis di Kompas, menekankan betapa pentingnya sistem pendidikan kita memanfaatkan temuan-temuan mutakhir di bidang neurosains, disiplin yang kini paling maju, sebagaimana diadopsi di Cina, Singapura dan lain-lain, agar pendidikan kita tidak semakin tertinggal.
***
Begitu pula yang terjadi di bidang fisika partikel. Pada 1964, fisikawan Universitas Edinburgh Inggris Peter Higgs menggagas adanya partikel penggerak [force-carrier] yang menggerakkan tiga unsur pembentuk materi (positron, neutron dan elektron), yang sebelumnya dianggap sebagai elemen elementer dalam materi.
Berdasarkan permodelan yang dibuatnya, Higgs, saat itu seorang fisikawan muda yang kurang dikenal, menduga di balik ketiga hal itu ada partikel lain yang menggerakkan mereka. (Dalam Standard Model fisika, "partikel penggerak" itu disebut boson; dan partikel yang digerakkan dinamai fermion).
Sejak itu perburuan atas partikel tersebut, yang dinamai "boson Higgs" (tapi "barang"nya tidak ada, dan selamanya hanya ada dalam pengandaian) menjadi pencarian terbesar yang mendebarkan seluruh dunia. Bahkan konsorsium sains Eropa CERN membangun Large Hadron Collider (LHC) di bawah-tanah perbatasan Swiss-Prancis, suatu terowongan 27 kilometer yang sangat mahal, antara lain untuk memburu boson Higgs (RRT kini sedang membangun collider serupa yang jauh lebih panjang, 100 kilometer).
Beberapa tahun lalu CERN mengumumkan indikasi adanya boson Higgs mulai terlihat. Wartawan sains segera memburu berita itu dan menulis seolah-olah boson itu sudah pasti ditemukan. Wartawan menyebut boson itu "God particle", istilah Pemenang Nobel Fisika Leon Lederman untuk menjuduli buku karyanya, karena diasumsikan sebagai "causa prima" – dengan penamaan itu diisyaratkan bahwa Tuhan tidak ada; penggerak segala sesuatu adalah boson Higgs.
CERN mengklarifikasi: pertama, data tentang keberadaan boson Higgs belum menunjukkan signifikansi statistik [berdasarkan statistik Bosonic], jadi belum bisa ditarik konklusi yang meyakinkan; kedua, mereka tidak pernah menyebut boson itu "partikel Tuhan"; ini adalah penamaan oleh media massa. Peter Higgs sendiri tidak suka dengan istilah itu.
Pada Maret 2013 CERN mengkonfirmasi boson Higgs memang ada. Pada Desember, Higgs dan Francois Englert mendapat Hadiah Nobel untuk Fisika karena prediksi teoretis mereka – bukan temuan mereka yang bisa dilihat dan dikendarai. Pengakuan atas teori semacam ini besar maknanya. Sebagai perbandingan: partikel graviton, yang diteorikan merupakan force-carrier gravitasi, belum diakui; belum dimasukkan ke dalam Standard Model, suatu model yang menyediakan kerangka pemahaman hampir semua gejala fisika, selain gravitasi.
Tapi eksistensi boson Higgs sudah diakui sebelum ia dikonfirmasi oleh CERN; sejak 2012 ia dimasukkan ke dalam Standard Model fisika partikel, yang disepakati pada 1970an. Dengan masuknya Higgs maka sejauh ini, dengan dua partikel fundamental utama di alam semesta (jumlahnya memang cuma dua), yaitu partikel dalam keluarga fermion (dari nama fisikawan Italia Enrico Fermi; dan digambarkan dengan statistik Fermi-Dirac) menjadi 12, dan dalam keluarga boson (dari nama fisikawan India Satyendra Bose) menjadi lima.
Dari 17 partikel itu, hanya satu, photon, yang kurang-lebih berinteraksi langsung dengan manusia karena photon adalah partikel cahaya; kita berinteraksi dengannya dalam bentuk penerangan di rumah dan sebagainya. Sedangkan enam belas partikel lainnya tidak pernah kita ketahui dan tak pernah dilihat manusia, tapi semua fisikawan tahu mereka ada.
Seorang fisikawan besar bahkan mengaku ia tidak tahu esensi partikel-partikel itu, tapi ia tahu mereka ada dan apa yang ia lakukan dengan partikel-partikel itu berjalan -- "I don't know them exactly but it works", katanya. Paul Dirac, raksasa fisika Inggris, menyarankan orang untuk tidak bertanya apa gerangan partikel-partikel itu, sebab pertanyaan ini tidak bermakna; pertanyaan yang bermakna adalah: bagaimana partikel-partikel itu berperilaku.
Cerita panjang tentang partikel dan bagaimana fisikawan di seluruh dunia menghadapinya menunjukkan bahwa debat usang tentang empirisisme dalam sains, yang masih muncul dalam polemik ini, benar-benar penyederhanaan masalah yang sulit dipercaya; suatu keterbelakangan informasi yang keterlaluan di tengah mudahnya info didapat sekarang ini.
Lukas Luwarso dalam tanggapannya menyebut gejala itu sebagai “nostalgis dan anakronis.” Sudah lebih dari satu abad para fisikawan yang telah mengubah wajah dunia hampir tak pernah mendengar istilah itu, karena semua yang mereka kerjakan sepenuhnya abstrak, tapi bisa dibuktikan dengan matematika – bahkan kemudian dibuktikan dalam wujud teknologi.
***
Tentang apa yang disebut ilmu-ilmu sosial (social sciences), tradisi risetnya masih muda, dan pada umumnya berupaya meniru apa yang telah mapan pada ilmu-ilmu alam (natural sciences atau life sciences; sudah lebih dari setengah abad tidak ada lagi yang menyebutnya ilmu pasti atau exact science).
Ilmu-ilmu sosial tidak akan pernah mencapai status saintifik setara, meski mereka terus berusaha menguantifikasinya dengan memanfaatkan statistik – misalnya untuk riset opini publik -- karena tidak akan mungkin mencapai tingkat rigorness seperti ilmu-ilmu alam dalam pengujian temuan-temuannya. Karena itu setiap “science” disebut, itu artinya natural science.
Universitas Harvard merupakan penemu metode riset sosial, ketika sekelompok ilmuwan sosialnya terpanggil untuk turut memulihkan situasi pasca Perang Dunia II, khususnya dalam konteks Marshall Plan, proyek bantuan besar-besaran Amerika Serikat untuk membangun Eropa yang luluh lantak.
Tentu saja “panggilan jiwa” ini sekaligus berarti “panggilan ekonomis”. Sebagaimana perusahaan media “terpanggil” untuk menyajikan berita yang benar, karena publik “berhak mendapat informasi yang benar”, tapi berita berkat “panggilan jiwa” itu dijual sehingga perusahaan bisa untung dan bisa menggaji wartawannya.
Kelompok ilmuwan sosial Harvard itulah yang menciptakan desain riset sosial, yang kemudian ditiru oleh semua universitas lain (juga kemudian oleh berbagai think tank non-universitas), tentu dengan macam-macam penyempurnaan dalam prosesnya.
Sebelumnya ilmuwan sosial juga seperti filosof, “komputer ijen”, yang merenung-renung seorang diri dan melakukan riset individual, lalu muncul dengan berbagai “grand theory”, seperti dikerjakan Max Weber, Emile Durkheim atau Sigmund Freud; atau juga Karl Marx.

Karena status pionirnya itu Harvard sampai baru-baru ini (mungkin hingga hari ini) rutin mengadakan kursus pembuatan desain dan proposal riset sosial. ***


Sumber: 
https://www.facebook.com/hamid.basyaib/posts/10158386956469894

No comments