Tak Sebatas Ada Tidaknya TAP MPRS XXV
Tak hanya kalangan islamis-modernis, kalangan Islam tradisional pun menyoal RUU HIP. Bagi mereka, selain menimbulkan tafsir tunggal atas Pancasila, RUU ini bisa memicu perdebatan lama yang tak pernah usai: Perdebatan ideologis.
Penolakan terhadap RUU
HIP tak hanya muncul dari kalangan Islam modernis. Tapi, juga lingkungan Nahdhatul
Ulama (NU) – yang kerap diidentikan sebagai sayap Islam tradisional. Melalui Ketua
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya PBNU Rumadi Ahmad, PBNU mengatakan,
persoalan RUU HIP tak sebatas pada tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor
XXV/MPRS/1996 soal Pembubaran PKI dan Larangan Ajaran Komunis/Marxisme sebagai
konsideran RUU. Tapi, lebih jauh lagi.
"Soal TAP MPRS itu
hanya salah satu persoalan," kata Rumadi seperti dikutip Kompas.com, Senin,
16 Juni 2020. "Kalau soal tidak
adanya TAP MPRS XXV, kalau TAP itu dimasukkan, kan selesai, mudah," tambah
dia.
Di luar soal TAP MPRS itu, kata
Rumadi, RUU HIP bermasalah pada landasan pemikiran dan sejumlah pasalnya yang
menyangkut Trisila dan Ekasila. RUU itu juga dinilai membuka peluang terjadinya
konflik ideologi. Padahal, harusnya seluruh pihak menjaga Pancasila sebagai
satu-satunya ideologi negara. "RUU ini disusun dengan cara yang sembrono,
kurang sensitif dengan pertarungan ideologi," ujar Rumadi.
Rumadi Ahmad [facebook/rumadiahmad/jokomuridandesign] |
Ia mengingatkan, saat Indonesia didirikan, sudah terjadi pertarungan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Hal ini dibuktikan dengan adanya peristiwa pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Benturan ideologi itu kembali
berlangsung pada 1959, kala Sidang Konstiante berlangsung. Kelompok Islam ingin
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Akibatnya, karena perdebatan itu tak
menemukan titik temu dan berlarut-larut, muncullah Dekrit Presiden 1959. Negara
dinyatakan kembali ke UUD 1945.
Dan 2000, upaya kalangan Islamis
itu kembali muncul. “Mereka ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta dalam
Amandemen UUD 1945,” kata Rumadi.
Melihat semua itu, kata
Rumadi, PBNU berpandangan, keberadaan RUU HIP justru akan kembali menyeret
Indonesia pada konflik ideologi semacam itu. "RUU HIP justru memberi ring
kontestasi ideologi itu," ujar Rumadi.
Kalangan liberal, menurut dosen Hukum Tata Negara Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
melihat RUU seperti UU yang menghalalkan fasisme Negara, sementara bagi
kelompok islamis, RUU ini dilihat sebagai upaya "menyingkirkan agama".
“Bahkan sebagian sudah ada yang mulai teriak: RUU ini memberi ruang untuk
komunisme,” kata Rumadi, sebagaimana disebutkan nu.or.id.
Alih-alih membuat
undang-undang yang menyinggung ideologi, PBNU menyarankan supaya DPR dan
pemerintah memfokuskan pembahasan RUU tersebut pada penguatan Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) sebagai lembaga implementasi Pancasila. "Soal
ideolginya sudah cukup dalam konstitusi dan sejumlah UU yang sudah ada,"
kata Rumadi.
Sementara itu, Sekretaris Umum Ikatan
Sarjana Nahdhatul Ulama (ISNU) M Kholid Syeirazi menyatakan, RUU HIP
hanya memunculkan penafsiran tunggal terhadap Pancasila. “Dan itu tak
ubahnya yang terjadi pada masa Orde Baru,” tandas Kholid, sebagaimana dikutip
sebuah situs online, Ahad, 14 Juni 2020.
Lebih jauh, Kholid menilai, RUU itu tidak sesuai dengan semangat dan dinamika kehidupan berbangsa saat ini. “RUU HIP tidak diperlukan,” kata Kholid.
Menurut
dia, tak perlu penafsiran baku terhadap Pancasila sebagai ideologi. Selain itu,
Pancasila juga tidak perlu pelembagaan. “Penafsiran baku akan memicu tafsir
tunggal dari pemerintah, sehingga menutup penafsiran dari pihak lain yang
sangat dibutuhkan dalam proses pematangan sebuah bangsa. Konsekuensinya, pemerintah
bisa seenaknya menetapkan pihak mana yang pancasilais dan siapa yang anti
Pancasila,” kata Kholid.
Kholid
mengatakan, yang dibutuhkan sekarang adalah penerjemahan Pancasila ke
dalam ideologi kerja. "Saat ini, Indonesia butuh UU Sistem Perekonomian
Nasional yang merupakan penjelmaan Pancasila sebagai ideologi kerja. Daripada
kelembagaan ideologisasi Pancasila...,” kata dia.
M Kholid Syeirazi [facebook] |
Sebelumnya,
sejumlah badan otonom di lingkungan NU juga melakukan penolakan serupa. GP Ansor, misalnya, tegas meminta DPR menunda pembahasan RUU kontroversial
ini. Bahkan, Ketua Umum Pimpinan GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas, RUU ini bukan
saja harus mencantumkan secara jelas Ketetapan (Tap) MPRS XXV Tahun 1966
tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). “Tapi, juga Perppu No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi
landasan hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan atau ideologi transnasional,
hendaknya juga dicantumkan sebagai konsideran” ujar Yaqut, Kamis, 11 Juni 2020.
Sebelumnya lagi, 8 Juni 2020, mantan Wakil Ketua Umum PBNU KH
As’ad Said Ali, berkomentar lewat akun Facebooknya. “Cukup bagi saya untuk
mengambil kesimpulan, maksud baik membuat Haluan Ideologi Pancasila telah
dinodai oleh dendam eks PKI,” kata KH.As’ad.
Berikut postingan lengkap pria yang juga mantan Waka BIN itu:
“Sore tadi saya dikirimi KH Mashuri Malik draft RUU HIP, dan saya sudah
baca dua kali. Atas dasar itu, untuk sementara saya memberi beberapa catatan.
Pertama: tidak dicantumkan TAP MPRS no 20 th 1966, tentang pembubaran dan
pelarangan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Kedua: dalam bab pokok pikiran, dicantumkan 'Agama, Rohani,
dan Budaya' dalam satu baris. Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang
berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan YME. Ketiga: dua butir di atas cukup
bagi saya untuk mengambil kesimpulan, maksud baik membuat Haluan Ideologi
Pancasila telah dinodai oleh dendam eks PKI.
“Pendapat ini saya tujukan pada kalangan internal Nahdlatul
Ulama untuk bersama sama mencermati. Sejarah tidak boleh terulang ketiga
kalinya. Cukuup. Lebih baik DPR fokus menangani ancaman Corona,” tulis Kyai
As'ad.
Dua
hari kemudian, Kyai As’ad kembali berkomentar. Kali ini, terdengar lebih kalem.
“Terlepas dari pro dan kontra, RUU HIP pada hemat saya adalah gagasan besar
dari pemrakarsanya, yang saya tdk tahu siapa,” kata Kiyai As’ad. “Penyusun
naskah akademik dan draft HIP itu tampaknya tergesa gesa,sehingga apa yang
disajikannya kurang tepat,” kata KH As’ad, di bagian lain postingannya. Komentar lengkap KH As'ad bisa dibaca di sini.
No comments