TERBARU

Niat Baik Berbuah Kontroversi


KH. As'ad Said Ali, mantan Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015) dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Menulis sejumlah buku terkait Pancasila dan terorisme.

Sore tadi saya dikirimi KH Mashuri Malik draft RUU HIP, dan saya sudah baca dua kali. Atas dasar itu, untuk sementara saya memberi beberapa catatan.

Pertama, tidak dicantumkan TAP MPRS no 25 th 1966, tentang pembubaran dan pelarangan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kedua, dalam bab pokok pikiran dicantumkan “Agama, Rohani, dan Budaya” dalam satu baris. Hal ini mencerminkan pandangan sekularisme yang berlawanan dengan sila pertama Ketuhanan YME.

Ketiga : dua butir di atas cukup bagi saya untuk mengambil kesimpulan, maksud baik membuat Haluan Ideologi Pancasila telah dinodai oleh dendam ex PKI.

Pendapat ini saya tujukan pada kalangan internal Nahdlatul Ulama untuk bersama sama mencermati. Sejarah tidak boleh terulang ketiga kalinya. Cukuuup… Lebih baik DPR fokus menangani ancaman Corona.

Namun, terlepas dari pro dan kontra yang muncul, RUU HIP pada hemat saya adalah gagasan besar dari pemrakarsanya, yang saya tidak tahu siapa. Betapa tidak? Jika kita lihat dengan presrektip husnudzan, penggagas tampaknya berniat ingin menjaga Panca Sila dari himpitan berbagai tekanan ideologi yang tumbuh di tengah arus globalisasi. Namun kita tiba-tiba tersentak karena di dalamnya mengundang banyak kontroversi dan publik kemudian ramai mendiskusikannya.

Penyusun naskah akademik dan draft HIP itu tampaknya tergesa gesa,sehingga apa yang disajikannya kurang tepat. Ini bisa dilihat dari hal yang paling elementer saja, yakni istilah “haluan” dalam kalimat “Haluan Ideologi Pancasila”. Secara semantik kalimat ini tidak tepat, karena Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebuah staats fundamental norm yang mengarahkan dan membimbing visi bangsa : jadi tidak perlu Undang-Undang yang levelnya lebih rendah, sebab hal demikian berarti akan mereduksi.

Barangkali haluan yang dimaksud adalah arah pembangunan jangka panjang dan menengah. Jika ini yang dimaksudkan, MPR adalah satu-satunya lembaga yang mempunyai wewenang menafsirkan Pancasila agar bisa menjadi acuan pembangunan tersebut. Walau, tentunya apa yang akan dilakukan MPR itu mesti melalui proses diskursus Pancasila dan penyerapan aspirasi di masyarakat dan kajian akademik.

Dalam konteks seperti itu, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sebenarnya adalah institusi yang berperan sebagai jembatan antara MPR dengan masyarakat dalam diskursus ataupun sosialisasi tentang Pancasila. Dengan demikian BPIP sesungguhnya lebih tepat di bawah MPR, bukan di bawah lembaga eksekutif. Dengan begitu, Pancasila akan terhindar dari kemungkinan “tafsir tunggal” dari pemerintah yang berkuasa, seperti pernah dituduhkan kepada pemerintah Orde Baru.

No comments