TERBARU

Sains dan “Atheisme Baru”

Goenawan Mohamad, penyair dan wartawan, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.

Ini bukan respons terhadap tulisan Hamid Basyaib dan Lukas Suwarso. Saya merasa tak perlu menanggapi keduanya, sebab saya tak menemukan argumen yang belum saya jawab di sana, khususnya di bidang theori tentang sains.
Jika ada yang baru adalah percobaan Hamid mencemooh esei-esei saya — mungkin karena ia tak tahu ada “genre” dan tradisi esei yang di dunia sudah bertahun-tahun dan di Indonesia ditunjukkan Asrul Sani dan Chairil Anwar. Sementara yang agak baru dari Lukas adalah bahwa dia, sedikit meniru-niru Hamid, menilai saya “Romantis”, “elitis”, “sinis.”
Saya tak akan membuat itu soal yang pantas dibahas di sini. Mungkin kelak — sambil mengajari mereka berdua telaah sastra. Saya kira polemik ini akan jadi kekanak-kanakan jika para pesertanya hanya mengambil pola “serang-tangkis-serang”. Akan lebih berharga jika kita mendapatkan wawasan yang baru, berkat proses tukar menukar pikiran.
Maka saya ingin kembali mengundang pembaca memasuki persoalan yang lebih ke dalam.
**
Semula, pembicaraan kita dimulai dari dua premis yang berbeda.
Yang pertama bahwa sains — dalam arti sains modern, persisnya ilmu-ilmu alam — adalah satu-satunya jalan ke arah kebenaran; dikatakan secara lain, sains adalah pengetahuan yang paling “legitimate” untuk menjelaskan semua bidang kehidupan.
Premis yang kedua menganggap tidak demikian. Saya, misalnya, menganggap klaim itu problematis.
Kita mulai dengan kutipan dari Rudolf Carnap, yang mewakili premis pertama:
“…the total range of life has many other dimensions outside science…within its dimension, science meets no barrier…When we say that scientific knowledge is unlimited, we mean: there is no question whose answer is in principle unattainable by science”.
Carnap adalah tokoh Positivisme Logis dari “Vienne Circle”. Pengaruh filsafatnya pudar sejak awal 1960-an, tapi pendapat yang saya kutip di atas langsung atau tak langsung punya gema yang luas, mungkin karena beberapa ilmuwan terkemuka menjunjung keyakinan yang sama.
Francis Crick, salah satu penemu DNA, misalnya: “Pengetahuan yang kita miliki, telah membuat sangat mustahil bahwa ada yang tak dapat dijelaskan oleh fisika dan kimia”.
Atau Richard Dawkins yang kini lebih berkibar. Bagi dia, sains sanggup menjawab pertanyaan yang mendasar, misalnya apakah ada makna dalam hidup, atau untuk apa kita di dunia, dan apa pula definisi manusia. “We no longer have to resort to superstition…”, kata Dawkins. Sains “satu-satunya alternatif bagi takhayul.”
Keyakinan semacam itu memang berkaitan dengan prestasi epistemik sains dan juga prestise sosial yang diraihnya. Sains langsung atau tak langsung bisa meminggirkan sumber pengetahuan lain, apalagi yang dianggap oleh “orang modern” sebagai “takhayul”. Kini kebanyakan orang Jawa tak akan lagi berpegang kepada “Primbon Betal Jemur”, melainkan membaca petunjuk dokter, misalnya untuk mengobati ambeien.
Selain primbon, ada agama — yang dalam pandangan Positivisme tak berbeda dari takhayul. Terutama kini dengan agama-lah perseteruan yang sengit berlangsung.
Einstein punya pandangan yang tajam tentang ini.
Bagi Einstein, konflik terjadi karena pelanggaran wilayah. Agama mengklaim kebenaran mutlak di semua hal, dan sebab itu merasa berhak menghakimi temuan sains. Yang terjadi adalah “intervensi pihak agama ke dalam wilayah sains”. Contoh terkenal adalah ketika Gereja melawan ajaran Galileo dan Darwin.
Tapi di pihak lain, kata Einstein, para wakil sains sering mencoba masuk sampai ke “fundamental judgement” mengenai nilai-nilai dan tujuan hidup, menilainya berdasar methode sains. Dengan itu ia menantang agama. Konflik pun terbit. “These conflicts have all sprung from fatal errors,” kata Einstein.
Tapi bisakah konflik dicegah? Bisakah garis demarkasi tegas dihormati masing-masing pihak? Kini kita melihat penyebaran ide-ide “atheisme baru” yang mengklaim bahwa temuan dan metode sains akan bisa membuktikan iman kepada Tuhan hanyalah waham — dan dengan itu ingin membebaskan manusia dari kesesatan.
Gerakan ini tampaknya punya alasan yang kuat dan peminat yang luas. Maklum: abad ke-21 adalah abad agama-agama jadi galak, represif, intoleran, dan memuntahkan darah. Fanatisme menjadi-jadi. Lebih jauh lagi, doktrin agama merasuki perguruan tinggi, hingga sains dibelokkan dan dunia akademi percaya bahwa bumi datar dan vaksinasi dosa.
Tapi tiap benturan keras, dalam ide dan politik, punya efek samping. Bahkan “collateral damage”. Dalam pergulatan sengit itu tak jarang para pembela sains dan para “atheis baru” terjerumus ke dalam dogmatisme dengan isi yang berbeda. Karl Popper menyebutnya dogmatisme “saintisme”.
Sikap para “atheis baru” bahkan mirip sikap kaum fundamentalis agama: gampang kesolot jika sains dikritik; a priori menolak orang yang pandangannya cocok dengan agama. Mereka tak mau mendengarkan suara yang lain, dan cepat melihat bahwa siapa yang tidak setuju “kami” adalah “golongan bumi datar” — seperti kaum fundamentalis cepat pasang label “murtad”, “bid’ah”, “heretik”.
Dan seperti kaum fundamentalis agama, mereka menampik filsafat. Dengan kata lain, mereka memilih pembekuan penjelajahan ide, “the freezing of inquiry”. Ulil Abshar Abdalla pernah mengecam gejala itu. Kritik yang lebih terkenal datang dari Massimo Pigliucci, seorang ilmuwan biologi dari Italia, seorang filosof sains — dan seorang atheis. Ia melihat “atheisme baru” berkelindan sengan saintisme. Para pengikutnya tampak bertujuan “menggantikan filsafat dengan sains”.
Bagi Pigilucci, sikap semacam itu merugikan sains dan atheisme sendiri. Maka ia menganjurkan:
“I think that atheists need to seriously reconsider how they think of human knowledge in general, perhaps arching back to the classic concept of “scientia,” the Latin word from which “science” derives, but that has a broader connotation of (rationally arrived at) knowledge. Scientia includes science sensu stricto, philosophy, mathematics, and logic...”
Penolakan terhadap filsafat mengakibatkan argumen mereka dangkal dan guyah. Ini juga yang menyebabkan para neo-positivis dan penganut “atheisme baru” menerima begitu saja anggapan Carnap bahwa “pengetahuan saintifik tak punya batas”.
Mereka “take it for granted” bahwa premis Carnap benar, mereka taklid, tanpa mempertanyakan soal-soal ini:
1 Apa gerangan yang ada pada manusia hingga dari dirinya lahir sains?
2 Jika itu “rasio”, benarkah dengan “ratio” jangkauan sains tak punya batas?
3 Tak adakah “prasarana” lain selain “rasio” yang ada pada manusia untuk mengetahui dunia?
4 Bagaimana sains meniadakan, atau lebih tepat meminggirkan, “prasarana” lain dalam diri manusia itu? Di tahun 1966, anthropolog Anthony Wallace denganyakin memprediksi, agama akan melorot dan tak punya dampak karena kemajuan sains: ‘Kepercayaan akan kekuatan supernatural akan menghilang, di seluruh dunia, sebagai akibat pengetahuan santifik yang makin memenuhi kebutuhan dan makin menyebar”. Berarti “prasarana” lain yang [pernah] ada pada manusia yang melahirkan agama akan digantikan “prasarana” yang melahirkan sains. Bagaimana prosesnya?
5 Apa dasar klaim para neo-positivis, bahwa sains — atau produksi pengetahuan yang mengadopsi metode ilmu-ilmu alam — adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang meyakinkan?
Akan lebih menarik dan mendalam seandainya percakapan (“polemik”) kita ini membahas pertanyaan-pertanyaan di atas — setelah kita berkali-kali diajak memasuki Istana Kristal untuk mengagumi parade kedahsyatan sains dan teknologi.
**.
Beberapa hari yang lalu saya ikut kuliah on-line Karlina Supelli yang diselenggarakan Komunitas Salihara. Dengan jelas, menarik dan menggugah pikiran, Karlina membahas “Kebenaran Ilmiah dalam Teologi dan Filsafat”.
Satu bagian dari kuliah Karlina yang penting bagi percakapan kita adalah pengertian apa itu ”“nalar” dan “pikiran” — dan perubahan maknanya dari masa ke masa, dari bahasa ke bahasa.
Baiklah kita berfokus pada “nalar”. Nalar, kata Karlina, bersifat diskursif dan analitik, dan bekerja dengan tenang, dingin, berjarak dari emosi dan nafsu, dan “tidak pandang bulu”. Tak kurang penting, untuk meminjam kata-kata Karlina Supelli, “Nalar dapat menjadi silet yang tajam untuk mencukur irasionalitas.”
Tampak, dengan nalar-lah manusia melahirkan hasil pikiran yang “universal”, “obyektif”, “tajam” dan “terang-jernih”.
Dari sini bisa disimpulkan, dengan prasarana “nalar” manusia melahirkan dan mengembangkan sains. Dengan kata lain, dari dan dengan penalaran-lah dasar sains dibangun. Manusia menemukan obyek-obyek di luar dirinya, dalam alam, dan manusia menjadi subyek karena obyek-obyek itu dikuasainya.
Secara diskursif, ia menangkap dan memasukkan obyek-obyek ke dalam pengertian. Menghadapi obyek-obyek yang beraneka-ragam, agar tidak bingung dan kacau, ia memfokuskan tatapannya pada hubungan mereka satu sama lain. Ia mengklasifikasi mereka, setelah menganalisa mereka. Dalam masing-masing obyek A, B, C, ia temukan aspek-aspeknya yang sama — misalnya bentuknya yang bundar. Dan berdasarkan aspek “kebundaran” itu obyek-obyek itu dikelompokkan jadi satu.
Dalam proses ini, sangat menentukan abstraksi. Dalam tulisan saya yang lalu, dalam jawaban kepada Hamid Basyaib, saya uraiakan sedikit proses abstraksi. Karena tampaknya pengertian dasar dalam epistemologi ini tak mudah difaham, di sini baiklah saya terangkan lagi, dengan cara sederhana. Dulu contoh saya air, yang dalam lambang kimia disebut H2O. Kini contoh saya kambing.
Abastraksi adalah proses ketika anak kambing saya yang ini dan anak kambing kamu yang itu, juga emak kambing yang kemarin dan eyang kambing yang akan datang, digolongkan dalam konsep “kambing”. Dengan itu manusia tak lagi repot berhubungan dengan masing-masing embik, melainkan dengan identitas “kambing”.
Hidup manusia lebih gampang dalam menghadapi dunia berkat abstraksi, yang melahirkan identifikasi, “nama” dan dalam jangkauan yang jauh lebih luas, angka. Sebagaimana dijelaskan Alfred North Whitehead dalam “An Introduction of Mathematics”, angka-angka berlaku untuk apa saja —“to tastes, to sounds, to apples and to angels, to the ideas of the mind and the bones of the body". Angka, bukan lagi “kursi”, “jagung”, “penduduk”, bukan lagi benda-benda yang kongkrit, beragam, berubah-ubah.
Dan dengan itu matematika pun lahir, berkembang, menjadi sang penjelas pengalaman manusia, dan menjadi ilmu tersendiri. Dalam tulisannya yang lain, “Mathematics in the History of Thought”, Whitehead menggambarkan dengan menarik prestasi manusia yang ia sebut “a very remarkable feat of abstraction” :
“During a long period, groups of fishes will have been compared to each other in respect to their multiplicity, and groups of days to each other. But the first man who noticed the analogy between a group of seven fishes and a group of seven days made a notable advance in the history of thought. He was the first man who entertained a concept belonging to the science of pure mathematics. At that moment it must have been impossible for him to divine the complexity and subtlety of these abstract mathematical ideas which were waiting for discovery. Nor could he have guessed that these notions would exert a widespread fascination in each succeeding generation. “
Bahkan tidak sebagai ilmu sekalipun, matematika berhasil mengubah pikiran kita — dan pada gilirannya, sejak abad ke-17, mengubah pengetahuan manusia menjadi sains modern.
Tapi Whitehead memperingatkan: matematika adalah “pikiran yang bergerak dalam lingkup yang sepenuhnya abstraksi” yang ditarik dari kasus-kasus tertentu. Tanpa menyadari asal usul ini, orang sering keliru menganggap kepastian pengetahuan matematika sebagai alasan untuk meyakini kepastian pengetahuan geometris. Padahal, dalam hal geometri, ada “geometrical condition” dalam obyek-obyek di alam itu. Dari pengalaman observasi kita, tak benar-benar tepat jika kita yakin tentang sifat eksak yang mengatur hal-ihwal yang kita temui dalam alam. “...so far as our observations are concerned, we are not quite accurate to be certain of the exact conditions regulating the things we come across in nature” .
Perlu saya tambahkan catatan: Whitehead, dengan kepiawaiannya sebagai matematikawan, adalah pemikir yang menolak rasionalisme; ia, dalam perkembangan pemikirannya kemudian, berada bersama mereka yang disebut kaum “empirisis”, bahkan “empirisme radikal”. Kata-katanya yang ringkas tapi mencakup seluruh dasar pemikirannya dalam “Process and Reality”: “No actual entity, no reason”. Tanpa realitas yang benar-benar hadir di dunia, tak akan ada akalbudi.
“Akalbudi”, kata Karlina Supelli, “melakukan kegiatan berpikir.”
Tapi “berpikir” tak hanya mengandalkan nalar. Peran nalar dalam proses berpikir terbatas adanya. “Berpikir”, menurut Karlina, “melibatkan nalar, tetapi bernalar hanya bagian dari berpikir.”
Saya kutip kalimat-kalimat Karlina:
“Akalbudi melakukan kegiatan berpikir. Di dalam bilik batin itulah berlangsung pergolakan pikiran, emosi, hasrat, dan kehendak. Akalbudi mengenang, berharap, mempercayai, mengimajinasi, memahami, menimbang dan memutuskan. Semua itu menggunakan dengan menggunakan fakta-fakta nalar; tetapi, nalar saja tidak cukup.”
Walhasil, jika sains dibangun dengan nalar — dan hanya berdasar nalar, — ia tak cukup membuat kita memahami secara penuh dunia-kehidupan. Dan memang bukan itu fungsinya.
Karlina mengingatkan, pada manusia, ada “intellectus” yang berbeda dari “ratio yang diskursif.” “Intellectus” memiliki kemampuan intuitif untuk menangkap langsung idea tanpa melalui hipotesis dan demonstrasi — agaknya itu juga yang dimaksud Bergon dengan “intuisi”. Dari “intellectus”, manusia mendapatkan “sapientia” . Artinya kearifan, karerna “mengkontemplasikan hal-hal tidak ragawi, menangkap prinsip-prinsip pertama secara intuitif.”
Sementara yang diperoleh nalar “scientia.“
Adapun sains/“scientia” dan nalar memang perkasa, tapi sejauh ini, manusia tetap hidup dengan “intellectus”. Mungkin kelak Artificial Intelligence akan bisa menghapusnya, dan kehidupan tak membutuhkann lagi “sapientia” . Persoalannya: akan niscaya lebih baikkah hasilnya?
**
Alkisah, di London, tahun 1851, di bawah Ratu Victoria, sebuah pameran agung dibentangkan seluas 10 hektar di Hyde Park, disebut “The Great Exhibition of the Works of Industry of All Nations”.
Pameran yang berlangsung antara Mei sampai dengan Oktober itu memperlihatkan secara spektakuler prestasi sains dan teknologi dari Eropa dan Amerika (dan sedikit dari negeri jajahan). Pusatnya di sebuah bangunan yang disebut Crystal Palace. Dalam katalognya yang panjang tercatat 13000 hasil inovasi teknologi abad ke-19.
Karl Marx, Charles Darwin dan Charles Dickens termasuk tokoh-tokoh yang hadir.
Penulis Rusia, Chernisevsky, yang dikagumi Lenin, ikut menonton. Ia sungguh terkesima. Novelnya yang terkenal, yang dalam versi Inggris berjudul “What is to be Done?” dipakai Lenin buat judul theorinya tentang revolusi. Novel Chernisevsky antara lain mengisahkan tokohnya, Pavlova bermimpi tentang Istana Kristal yang menakjubkan — yang jadi lambang masa depan Rusia yang merdeka, maju, perkasa.
Dostoyweski menulis yang berbeda. Dalam “Catatan Dari Bawah Tanah”, naratornya bertanya, agaknya ditujukan kepada Chernisevsky: “Kau percaya kepada istana kristal yang tak akan bisa dihancurkan selama-lamanya... bangunan yang tak dapat kau cibir, tak dapat kau sikapi dengan kasar, meskipun kau sembunyikan tinjumu...Nah, mungkin aku takut bangunan ini justru karena ia dibuat dari kristal dan tak dapat dihancurkan selama-lamanya, dan sebab aku tak akan bisa mencibir, meskipun dengan diam-diam...”
Dua perspektif yang berbeda — yang tampaknya selalu ada dari masa ke masa. Mereka yang fanatik, karena yakin akan kebenaran pandangannya, berteriak: Itu tak bisa! Harus percaya yang aku percaya!
Sejauh ini sejarah tak menyaksikan Utopia Chernisevsky dan yang ditanyakan Dostoyweski tak terdengar di tengah riuh pasar.
***
Jakarta, 24 Juni 2020.


Sumber: https://www.facebook.com/gmgmofficial/posts/3591399424207497?__tn__=K-R

No comments