TERBARU

Semua Merasa Paling Ber-Pancasila

Abad Badruzaman, santri kelahiran Ciamis yang kini berkhidmat di IAIN Tulungagung, Jawa Timur -- antara lain sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama.

Monggo saja. Meski dulu jaman SD waktu disuruh Bu Guru nyanyiin Garuda Pancasila, pas bait "Pribadi bangsaku" berubah jadi "Pribang pribangsaku...". Meski gak hapal betul lambang per-sila. Bahkan kalo pas grogi bisa jadi ada satu sila yang gak hafal atau kebalik-balik tempatnya: kemanusiaan jadi persatuan atau kerakyatan atau keadilan. Kekeliruan-kekeliruan yang terdengar jadi kelucuan-kelucuan itu sama sakali nggak mengecilkan besarnya semangat setiap kita untuk sekuat tenaga ber-Pancasila.

Semua ngerasa paling membela Pancasila. Silakan saja. Itu berarti bahwa tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan soal komitmen kita untuk ber-Pancasila dan membelanya. Jangan-jangan yang sesungguhnya terjadi bukan tentang siapa merasa paling ber-Pancasila, bukan soal siapa ngerasa paling membelanya, melainkan masing-masing punya tafsir sendiri-sendiri tentang Dasar Negara. Beda tafsir adalah jamak belaka. Bahkan kalau berada di koridor yang benar serta dikelola dengan baik malah dapat memperkaya makna dan meluaskan wawasan. Yang tercela dan harus diwaspadai adalah orang atau golongan yang memutlakkan tafsirnya dan diam-diam menyelubungkan agenda jahat terhadap negara dan bangsa ini di balik tafsir yang dimutlakkannya.

Saya nggak begitu ngikutin berita terkini terkait RUU HIP yang bikin heboh itu. Saya hanya sependapat dengan mereka yang mengkritisinya dari sisi waktu pembahasan yang tidak tepat, urgensinya di saat mana kita sudah punya BPIP, dan beberapa term yang amat terbuka terhadap polemik seperti Trisila dan Ekasila meski term-term itu didahului kata: "ciri pokok" dan "terkristalisasi". Sama seperti kata-kata addinu huwal 'aqlu; agama adalah akal. Nalar awam terlalu lemah untuk mengunyah kata-kata itu, alih-alih memahami seperti yang diinginkan si pengucap, mereka malah bisa menyerang si pengucap sebagai pemuja akal dan menuhankannya.

Daripada daripada...mending masing-masing kita berusaha sekuat yang kita bisa untuk jadi insan-insan Pancasila. Jangan disalahpahami sebagai tindakan mengubah Pancasila jika saya mengatakan bahwa tiap sila memiliki kata-kunci buat memudahkan kita mengamalkan dan menghayatinya. Yaitu secara berurutan: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Bagi saya sendiri, lima nilai dasar ini sudah "mentok" sehingga gak perlu diekstrak lagi menjadi kurang dari lima. Lima butir itu merupakan lima kristal terbaik, terpilih, dan termahal sehingga gak perlu dikristalisasi lagi jadi Ekasila misalnya, kuatir malah butir-butir kristal yang lain tak terlihat kilau dan pesonanya.

Balik lagi ke usaha kita menjadi insan-insan Pancasila. Pancasila mungkin tersenyum senang dengan pengakuan lisan kita bahwa kita mencintai, membela dan menjunjung tinggi Pancasila, bahkan terkadang pengakuan itu kita pekikkan dengan suara lantang. Tapi yang lebih diinginkan Pancasila dari kita tentu saja sistem nilai dan tata-laku yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Sila Ketuhanan harus melambari sekaligus menjiwai segenap lelaku manusia Indonesia sehingga setiap sisi hidup mereka memiliki nilai ketuhanan dan sepenuhnya ditempuh guna mendapatkan ridha-Nya. Tuhan tidak hanya disebut Asma-Nya seiring hitungan biji-biji tasbih seusai salat, melainkan harus membersamai kita kapan dan di mana serta dalam keadaan apa pun.

Ketuhanan yang dianut harus melahirkan lelaku terpuji yang bukan cuma menjadikan seseorang taat di tingkat ritual tapi juga saleh di ranah sosial. Nilai Ketuhanan harus melahirkan Kemanusiaan. Dalam Quran manusia adalah sebaik-baik bentuk penciptaan (QS 95:4) yang telah dimuliakan serta dilebihkan-Nya atas banyak makhluk lainnya (QS 17:70). Saya yakin Kitab Suci yang lain juga menghembuskan semangat yang sama.

Sila Persatuan mendorong kita untuk mengembangkan sikap senasib-sepenanggungan. Negeri ini terlalu besar untuk dikerdilkan dengan egoisme apa pun: suku, agama, ras, dan golongan. Mozaik kebhinekaan bangsa ini terlalu indah untuk dikoyak oleh paham sempit golongan tertentu yang memandang kebhinekaan bukan sebagai kekayaan melainkan malah ancaman. Negara-bangsa ini tidak berdiri lewat ketaksengajaan, melainkan hasil rumusan dan pikiran matang para pendirinya yang telah berhasil mengenyahkan egoisme dan kepentingan primordial mereka masing-masing. Tidak perlu alergi dengan nasionalisme sejauh ia bermakna pentingnya membela kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sepanjang nasionalisme berarti cinta Tanah Air, maka tak perlu dalil untuk sebuah cinta karena dalil tersahih bagi cinta adalah cinta itu sendiri yang meminta pecinta mewujudkannya lewat tindakan. Sepanjang cinta Tanah Air tidak diperagakan sambil menginjak-injak bangsa lain, cinta itu suci belaka.

Sila Kerakyatan meminta para pemimpin rakyat memimpin dengan hikmat-kebijaksanaan. Kerakyatan menuntut para wakil rakyat bermusyawarah untuk memaslahatkan kehidupan rakyat, bukan cuma mensejahterakan hidup mereka (para wakil rakyat) saja.

Dan sila Keadilan harus menyeluruhi segenap aspek kehidupan sosial rakyat negeri ini. Keadilan sosial bukan ada di podium berupa janji-janji saat kampanye buat merebut hati rakyat, lalu selepas kampanye janji-janji menguap untuk kemudian datang kembali saat musim kampanye tiba lagi.

Jika memang Ekasila mau-gak-mau harus ada, bukan untuk mengganti Pancasila tapi untuk mengekstraksi atau mengkristalisasi atau apa pun sebutannya, maka menurut saya Ekasila itu adalah Ketuhanan. Sebab, sebagai insan bertuhan, saya percaya spirit Ketuhanan menuntut penganutnya untuk berperikemanusiaan, mencintai persatuan dan persaudaraan, memperjuangkan kerakyatan, dan selalu berpihak pada keadilan.

Mudah-mudahan tulisan ini tidak menyinggung siapa pun, dan memang tidak dimaksudkan untuk itu. Ini hanya apa yang saya pahami tentang Pancasila yang kedudukannya sebagai dasar negara saya terima sepenuh jiwa.

Sumber: https://www.facebook.com/abualitya/posts/10217518742216745

No comments