TERBARU

Jejak Ulama Besar Madinah di Tasikmalaya


Ahmad Ginanjar Sya'ban, santri kelahiran Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat, yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Banyak mengurai naskah dan kitab lama karya ulama Nusantara.
Berikut ini adalah kitab “Misykât al-Anwâr fî Sîrah al-Nabî al-Mukhtâr” (مشكات الأنوار في سيرة النبي المختار) karya Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî al-Madanî (w. 1940 M/1359 H), seorang ulama besar Madinah al-Munawwarah yang pernah lama menetap di Tatar Sunda di usia tuanya.
Kitab ini ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan Melayu aksara Arab (Jawi), berisi kajian biografi Nabi Muhammad SAW (siroh nabawiah). Dalam kolofon, disebutkan kitab ini diselesaikan pada bulan Ramadhan tahun 1341 (bertepatan dengan April 1923) di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Keterangan pada sampul kitab menginformasikan jika ia dicetak oleh percetakan milik Haji Sobari di Tasikmalaya, sekaligus dijual dan didistribusikan oleh al-Maktabah al-Mishriyyah milik Syaikh ‘Abdullâh b. ‘Afîf yang berbasis di Cirebon.
Tertulis pada halaman sampul:
كتاب// مشكات الأنوار/ في سيرة النبي المختار/ جمع الراجي عفو ربه الصيب/ علي بن عبد الله الطيب/ أمين الفتوى الشافعية/ ببلدة خير البرية/ غفر الله له ولوالديه وللمسملين آمين

(Kitab “Misykât al-Anwâr fî Sîrah al-Nabî al-Mukhtâr”, dihimpun oleh seorang yang mengharapkan ampunan Tuhannya yang melimpah, yaitu ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib, seorang pejabat lembaga kemuftian [amîn al-fatwâ] madzhab Syafi’i di kota sang makhluk terbaik [Madinah Munawwarah], semoga Allah mengampuninya, kedua orang tuanya dan seluruh umat Muslim. Amin)
Tertulis juga keterangan berikut:
يطلب هذا الكتاب من مؤلفه بتاسكملايا ومن الشيخ عبد الله بن عفيف بشربون// حقوق الطبع محفوظة للمؤلف المذكور/ طبع بمطبعة الحاج شوبري تاسكملايا

(Kitab ini bisa didapat dari pengarangnya di Tasikmalaya, juga dari Syaikh ‘Abdullâh b. ‘Afîf di Cirebon// Hak cetak terjaga atas nama pengarang/ Dicetak di percetakan Haji Sobari Tasikmalaya)
Dalam kata pengantar (halaman 4), tertulis keterangan berikut ini dalam bahasa Arab dan Melayu Jawi:
وبعد فهذا جزء لطيف في بعض شؤون الحضرة المحمدية اقتطفته من معتمد السير لتستنير بقراءته أولو النفوس الطاهرة الزكية وسميته مشكاة الأنوار في سيرة النبي المختار

دان كمدين درفد ايت مك اين بهݢين يڠ كچيل فد مڽتاكن ستڠه كلاكوان٢ حضرة نبي محمد. تله اكو فتك اكندي درفد يڠ معتمد درفد ببراف كتاب سيره مڠمبل تراڠ دڠن ممباچڽ اوليه ببرف اورڠيڠ ممفڽائي نفس يڠ سوچي. دان تله منمائي اكو اكندي مشكاة الأنوار في سيرة النبي المختار
(Dan kemudian daripada itu, maka ini bahagian yang kecil pada menyatakan setengah kelakuan-kelakuan Hadirat Nabi Muhammad. Telah aku petik akan dia daripada yang mu’tamad daripada beberapa kitab siroh, mengambil terang dengan membacanya oleh beberapa orang yang mempunyai nafsu yang suci. Dan telah menamai aku akan dia “Misykât al-Anwâr fî Sîrah al-Nabî al-Mukhtâr”)
Saya menjumpai naskah asli kitab ini dengan tahun cetak di atas (1923 M/1341 H) di rumah al-Fadhil Kiyai Ahmad Muhibbuddin Mu’thi Abdul Mu'ty, keluarga pengasuh pesantren Nurul Fata, Cikondang, Sukabumi, yang banyak menyimpan naskah kitab-kitab tua ulama Sunda.
* * * * *
Selain isi kandungan kitab “Misykât al-Anwâr” yang memuat kajian sejarah hidup Nabi Muhammad, tampaknya aspek sosio-historis yang melatar belakangi keberadaan kitab ini juga sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Kitab “Misykât al-Anwâr” ditulis di Tasikmalaya, dalam dua bahasa (Arab dan Melayu Jawi), yang mana penulisnya adalah Syaikh ‘Alî b. ‘Abdillâh al-Thayyib al-Azharî, yaitu seorang ulama besar dari Madinah al-Munawwarah di Hijaz yang juga pejabat lembaga kemuftian madzhab Syafi’i. Lembaga kemuftian adalah sebuah lembaga yang memiliki otoritas resmi untuk mengeluarkan keputusan-keputusan hukum-yuridis (fikih) agama Islam.
Selain itu, Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî juga tercatat sebagai tokoh penting dalam sejarah persebaran Tarekat Tijaniyah di Nusantara, khususnya di Tatar Sunda. Dalam bukunya “Sejarah Pesantren; Jejak, Penyebaran, dan Jaringanya di Wilayah Priangan" (hal. 265), Dr. Ading Kusdiana menyebutkan Tarekat Tijaniyyah di Nusantara mulai berkembang di Nusantara secara signifikan pasca datangnya Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî ke Hindia Belanda pada tahun 1920-an. Saat itu, ada banyak ulama Jawa Barat yang datang untuk menjumpai beliau, di antaranya adalah KH. R. Muhammad Nuh (Cianjur), KH. Ahmad Sanusi Gunungpuyuh (Sukabumi), KH. Syuja’i Kudang (Tasikmalaya), KH. Usman Domiri (Bandung), KH. Badruzzaman Biru (Garut), KH. Abbas Buntet (Cirebon) dan lain-lain.
Sejarah hidup Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib al-Azharî juga terangkum dalam kamus biografi berbahasa Arab berjudul “Natsr al-Jawâhir wa al-Durar” karangan Yûsuf al-Mar’asylî (hal. 895).
Dalam kamus tersebut, diterangkan jika Syaikh ‘Alî b. ‘Abdullâh al-Thayyib lahir di Madinah al-Munawwarah pada tahun 1271 Hijri (1854 M). Ayahnya adalah Syaikh ‘Abdullâh al-Thayyib, seorang ulama besar Madinah sekaligus tokoh sesepuh klan “al-Thayyib”, sebuah rumpun marga yang genaloginya menyambung sampai ke Rasulullah SAW.
Keturunan keluarga al-Thayyib juga banyak yang menetap di wilayah Mesir Selatan (sha’îd) yang mayoritas penduduknya menganut fikih madzhab Maliki. Di Mesir, keluarga al-Thayyib tercatat sebagai keluarga terhotmat dan memiliki reputasi tinggi. Ulama besar Mesir sekaligus Grand Syaikh Al-Azhar saat ini, yaitu Syaikh Ahmad b. Muhammad al-Thayyib, berasal dari keluarga ini. Ayahnya, yaitu Syaikh Muhammad al-Thayyib, adalah mufti madzhab Maliki di kawasan Luxor, Mesir Selatan.
Setelah belajar kepara para ulama besar Madinah dari masa kecil hingga remajanya, Syaikh ‘Alî al-Thayyib kemudian pergi ke Kairo, Mesir, untuk menimba ilmu di institusi Al-Azhar. Di sana beliau belajar beberapa tahun lamanya kepada beberapa ulama besar Al-Azhar, seperti Syaikh Syams al-Dîn al-Imbâbî (w. 1313 H), Syaikh ‘Abd al-Rahmân al-Syarbînî (w. 1326), Syaikh ‘Abd al-Hâdî Najâ al-Ibyârî dan lain-lain.
Sekembalinya ke Madinah, Syaikh ‘Alî al-Thayyib aktif dalam dunia ilmu pengetahuan. Beliau mengajar di Masjid Nabawi dan juga membuka kelas keilmuan di rumahnya. Syaikh ‘Alî al-Thayyib juga banyak melakukan rihlah ilmiah, seperti ke Istanbul, India dan Nusantara. Di Nusantara, Syaikh ‘Alî al-Thayyib bermukim cukup lama, lebih dari dua dekade.
Dalam “Nats al-Jawâhir”, Syaikh ‘Alî al-Thayyib diberitakan pertamakali masuk ke Nusantara pada tahun 1918 M (1336 M) dan bermukim selama 22 tahun lamanya (hingga tahun 1940 M/1359 H). Menjelang wafatnya, beliau bersafar kembali ke kota kelahirannya di Madinah dan wafat di sana pada tahun 1940 M.
Jejak Syaikh ‘Alî al-Thayyib di Nusantara juga terekam dan sumber kolonial Belanda. G.F. Pijper, cendikiawan Belanda yang meneruskan jabatan C. Snouck Hurgronje sebagai penasehat pemerintahan kolonial untuk urusan pribumi dan keislaman. Dalam bukunya “Fragmenta Islamica: Beberapa Studi Mengenai Sejarah Islam Di Indonesia Awal Abad XX” (hal. 82), Pijper menyebut Syaikh ‘Alî al-Thayyib sebagai penyebar Tarekat Tijaniyah yang bermukim di Cianjur, Bogor dan Tasikmalaya.
Tampaknya, Syaikh ‘Alî al-Thayyib lebih banyak tinggal di kawasan Tatar Sunda yang berpemandangan indah dan berhawa sejuk. Keindahan alam Pasundan tampaknya telah memikat hati Syaikh ‘Alî al-Thayyib. Merujuk pada catatan Pijper, Syaikh ‘Alî al-Thayyib mula-mula tinggal di Cianjur selama kurang lebih 3 tahun lamanya dan memimpin Madrasah Mu’âwanah al-Ikhwân. Di Cianjur, beliau dekat bersama KH. R. Muhammad Nuh dan juga KH. R. Tholhah (kalipah Cianjur). Setelah itu beliau tinggal di Bogor dan memimpin Madrasah al-Falâh. Selanjutnya beliau bermukim di Tasikmalaya selama beberapa tahun lamanya.
Terkait Tarekat Tijaniyah ini, saya teringat sekitar tahun 2009 dulu pernah diajak oleh Syaikh Feri Rahmawan Asma Fery Rahmawan Asma untuk mengunjungi Zawiyah Tijaniyah di distrik Bab al-Sya'riyyah di kawasan Kairo Tua.
* * * * *
Ketika berada di Nusantara, Syaikh ‘Alî al-Thayyib pernah berdebat dengan pimpinan kelompok puritan, yaitu Ahmad Surkati. Dalam “Natsr al-Jawâhir”, disebutkan jika Syaikh ‘Alî al-Thayyib merasa sangat sedih dengan perilaku kolompok puritan-modernis di Nusantara yang sering menyerang amaliah kaum tradisionalis Muslim Nusantara dan juga bersikap konfrontatif terhadap tradisi komunitas Arab Yaman keturunan Rasulullah di Nusantara (habaib). Tentang situasi ini, al-Mar’asylî menulis:

وحزنه حال الجماعة الإرشادية وهجومهم على آل البيت الشريف. فصنف في الرد عليه. وناظر رئيسهم الشيخ أحمد بن محمد السوركتي في مسجد عمفيل سنة 1347 هـ وحصل بهذه المناظرة الخير العميم لأهل الحق، وظهر الباطل من الحق
(Syaikh ‘Alî al-Thayyib sangat sedih dengan perilaku jemaat al-Irsyad, yang mana kelompok tersebut merendahkan para keturunan Nabi. Syaikh ‘Alî al-Thayyib pun berdebat dengan ketua jemaat al-Irsyad yaitu Syaikh Ahmad Surkati. Hal ini terjadi di Masjid Ampel tahun 1347 H [1929 M]. Dalam perdebatan itu, Syaikh ‘Alî al-Thayyib berhasil menunjukkan mana ajaran yang benar. Kebatilan pun menjadi tampak terpisahkan dari kebenaran)
Debat yang terjadi antara Syaikh ‘Alî al-Thayyib dengan Syaikh Ahmad Surkati tampaknya terjadi tidak hanya sekali. Di antara karya Syaikh Ahmad Surkati ada yang berjudul “al-Masâ’il al-Tsalâts” dan ditulis pada tahun 1925. Karya ini berisi rangkuman perdebatan antara Syaikh Ahmad Surkati dengan Syaikh ‘Alî al-Thayyib seputar masalah pemurnian (purifikasi) ajaran Islam yang menyerukan kembali kepada al-Qur’an dan hadits secara tekstual, ijtihad, taqlid, sunnah, bid’ah, ziarah kubur, tawassul, dan tradisi Muslim tradisionalis lainnya.
Wallahu A’lam
Sukabumi, Kapit (Dzulqaedah) 1441 Hijri/ Juni 2020 Masehi
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban


Sumber: 
https://www.facebook.com/ahmad.ginanjarsyaban/posts/10158413122774696

No comments