Bahaya RUU Masyarakat Adat
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. [kogreskebudayaandesa]
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mencatat sejumlah materi berbahaya yang tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
"Draft yang
ada sekarang juga mengandung pasal-pasal berbahaya. Sehingga ada beberapa hal
yang tidak boleh masuk dalam undang-undang ini," ujar Rukka dalam webinar
bertajuk RUU Masyarakat
Adat, Rabu, 9 September 2020.
Dikatakan
Rukka, materi berbahaya pertama ialah tentang dimasukkannya klausul evaluasi
yang tercantum dalam Pasal 20 dan 21 RUU Masyarakat Adat. Dalam diktum disebut
bahwa evaluasi akan dilakukan untuk masyarakat adat setiap 10 tahun
pascapenetapannya oleh pemerintah.
"Jadi
evaluasi ini pada dasarnya bertentangan dengam semangat UUD. Jadi, masyarakat
adat punya asal-usul, sudah ada sebelum negara ini ada, tidak dibentuk oleh
negara. Sehingga negara tidak punya otoritas untuk mengevaluasi apalagi untuk
menghapus masyarakat adat. Karena itu salah satu bahaya dari pasal evaluasi
ini," ujar Rukka.
Menurutnya,
keberadaan klausul evaluasi amat bertentangan dengan semangat pengakuan,
semangat penghormatan terhadap masyarakat adat.
"Ternyata
dari awal, sejak dibuat (RUU Masyarakat Adat) sudah niat untuk dihapus
masyarakat adat. Pasal evaluasi ini sama sekali tidak tepat," ucap Rukka.
Kedua, sambung
dia, pengubahan judul RUU Masyarakat Adat menjadi RUU Masyarakat Hukum Adat.
"Sebenarnya penggunaan istilah masyarakat adat telah diterima oleh
masyarakat adat dan masyarakat umum," kata dia.
Ketiga,
proses pembahasan dan perlunya keterlibatan masyarakat adat dalam
menggodok RUU Masyarakat Adat. Pasalnya, masyarakat adat juga mempunyai hak untuk
menentukan rancangan regulasi yang baik.
"Karena
prinsip yang paling penting adalah masyarakat adalah yang punya hak untuk
megidentifikasi sendiri sebagai masyarakat adat, dan divalidasi oleh masyarakat
sekitarnya dan kemudian disahkan oleh pemerintah," ucap dia.
"Paling
penting adalah bagaimana prosesnya bisa murah, tetapi dia punya legitimasi
karena masyarakat adatnya bisa berpartisipasi dengan penuh," imbuh Rukka.
Keempat,
Rukka menilai, RUU Masyarakat Adat dapat menjadi jembatan untuk mengharmonisasi
kebijakan sektoral. Dia berpandangan, RUU itu perlu mengatur terkait proses
efisiensi birokrasi untuk menetapkan wilayah adat.
"Dan
draft yang ada sekarang belum menunjukkan itu. Sehingga memang harus dipastikan
sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU sektoral itu. Supaya apa? Mengatasi
masalah bangsa saat ini karena ketiadaan undang-undang masyarakat adat, dan
supaya masyarakat adat merasa punya rumah di negeri ini. Merasa bangsa
Indonesia ini rumahnya," tegas Rukka.
SUMBER: aline.id
No comments