TERBARU

Mengapa Tengku Putih "Memisahkan" Aceh dan Gayo?

Win Wan Nur, sastrawan aktivis, Orang Gayo Asli kelahiran Takengon. [istimewa]

Di luar begitu ke-brilian-an dan fenomenalnya karya Snouck dalam bidang antropologi terkait Aceh dan Gayo. Dalam dunia ilmiah, sosok Hurgronje tak bisa dilepaskan dari kontroversi.

Sosoknya menjadi kontroversi karena dalam dunia ilmiah, para ilmuwan sosial biasanya menarik jarak dari kepentingan kekuasaan, karya-karya mereka bebas nilai dan hasil kajiannya bisa dimanfaatkan oleh siapapun.

Berbeda dari beberapa antropolog barat seperti sebut saja Margaret Mead, Clifford Geertz atau John Bowen yang memang melakukan penelitian dengan tujuan ilmu pengetahuan tanpa embel-embel untuk digunakan buat kepentingan kekuasaan.

Snouck Hurgronje dalam kata pengantar bukunya, De Atjehers meski tidak dikatakan secara langsung, jelas menyatakan kalau bukunya itu dia buat untuk membantu Belanda menaklukkan Aceh.

Bahkan dalam Het Gajoland en Zijne Bewoners Hurgronje secara gambling menyatakan kalau penulisan bukunya ini “Pertama-tama harus digunakan sebagai penunjuk jalan bagi orang yang harus menanamkan pengaruh pemerintahan kita (Belanda) di tanah Gayo” ( Baca : Tanah Gayo dan Penduduknya halaman xxi).

Ini yang membuatnya tidak bisa dilihat sebagai seorang akademisi organik, melainkan sebagai alat kekuasaan kolonial buat menanamkan pengaruhnya.


Jadi, motif dari kerja besar Hurgronje dalam menulis karya, sudah jelas untuk menanamkan kekuasaan Belanda di Aceh, negeri yang diakui Hurgronje sendiri adalah negeri yang paling sulit ditaklukkan Belanda dibandingkan negeri manapun yang menjadi koloninya yang membentang dari Afrika sampai ke Amerika. Fakta yang membuat Belanda menjadi olok-olok para kolega Eropanya. 

Tapi, terkait dua buku Hurgronje ini, banyak masyarakat awam yang belum membaca kedua buku ini yang bertanya-tanya, mengapa dalam menulis bukunya Hurgronje memisahkan antara Aceh dan Gayo.

Jawaban atas pertanyaan ini, kalau kita tanyakan di wilayah pesisir dalam obrolan di warung kopi, jawaban klise yang akan kita dapat adalah “Snouck melakukan itu dengan maksud mengadu domba Aceh, memecah belah Aceh dan Gayo sehingga orang Gayo dan Aceh seolah merasa mereka berbeda.”

Jawaban klise di atas tentu sepenuhnya berdasarkan asumsi liar yang mengacu pada stereotip buruk tentang Snouck Hurgronje yang berkembang di Aceh, dan bisa dipastikan kalau orang yang mengatakan itu, sama sekali belum pernah membaca kedua karya antropolog yang di Aceh juga dikenal sebagai Tengku Putih ini.

Bagi orang yang sudah membaca kedua buku Snouck, dengan segera akan memahami kalau dua buku ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk dibaca oleh pribumi Aceh dan Gayo yang pada saat itu tingkat intelektualitasnya masih dipandang sangat rendah oleh Hurgronje.

Kalau kita baca pandangan yang dia tuliskan dalam bukunya itu, secara tersirat kita bisa membaca kalau dalam pandangan Hurgronje saat menulis bukunya, pada masa itu, orang Gayo dan Aceh bukanlah orang-orang yang sudah memiliki tingkat intelektual yang cukup memadai untuk membaca karyanya.

Jadi seperti yang dia sebutkan di prakata bukunya, dua buku itu memang dia maksudkan untuk mendukung pemerintah Belanda untuk menaklukkan Aceh.

Lalu mengapa Hurgronje harus membuat dua buku berbeda untuk Aceh dan Gayo?

Alasannya tentu saja sebuah kesadaran dari Snouck Hurgronje bahwa Aceh dan Gayo memang merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga untuk menaklukkannya tidak bisa digunakan dua pendekatan yang sama.

Dalam prakata Het Gajoland En Zijne Bewoners yang diterjemahkan oleh Budiman S menjadi Tanah Gayo dan Penduduknya Hurgronje dengan gamblang menyatakan kalau Gayo berbeda dengan Aceh.

Menurut Hurgronje, berbeda dengan orang Aceh yang begitu takut pada Ulee Balang-nya, orang Gayo adalah pribadi-pribadi “Republikan” yang sama sekali tidak merasa takut pada penguasa feodal.

Orang Gayo yang egaliter sama sekali tidak merasa perlu tunduk apalagi takut pada rajanya. Berbeda dengan orang Aceh yang takut-takut bercerita tentang keadaan kampungya, orang Gayo bebas saja menceritakan apapun tentang kampungnya.

Secara bahasa, ciri fisik dan budaya, Gayo juga sangat berbeda dengan Aceh. Karena itulah menurut Snouck, yang dalam pengantar bukunya mengatakan karya ini akan digunakan sebagai penuntun bagi van Daalen untuk menaklukkan Gayo. Usaha untuk menaklukkan Gayo, caranya tidak boleh disamakan dengan cara menaklukkan Aceh.

Kalau dalam menaklukkan Aceh, cukup dengan menaklukkan pemimpin-pemimpinnya, yang oleh Snouck Hurgronje didefinisikan lebih detail lagi dengan menaklukkan pemimpin agama. Dalam menaklukkan Gayo, harus dipastikan kalau orang Gayo sebagai pribadi-pribadi benar-benar sudah bisa ditundukkan. Inilah yang oleh van Daalen kemudian ditafsirkan dengan membantai semua orang Gayo yang masih melawan, tak peduli meski pemimpin satu kampung atau wilayah itu sudah bisa ditaklukkan.

Saat Gayo akhirnya sepenuhnya jatuh, kesimpulan ini pula yang kemudian digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam menguasai Gayo sepenuhnya. Pemerintah kolonial Belanda menghancurkan karakter egaliter rakyat Gayo dengan menciptakan penguasa-penguasa boneka berkarakter feodal di pemukiman-pemukiman Gayo, dengan mengambil para penguasa lama dan memformat ulang mereka dalam versi baru yang berkarakter feodal.

Sebagai contoh, di Isak. Sistem sosial kemasyarakatan Isak yang sebelumnya berbasis Sarak Opat, dihancurkan oleh Belanda dengan menempatkan seorang dengan jabatan Kejurun, sebuah jabatan yang sebelumnya sama sekali tak pernah dikenal oleh orang-orang Isak.

Orang yang ditempatkan oleh Belanda sebagai kejurun, bukan orang Isak, tapi Asa, putra Reje Linge yang bisa mereka setir. Belanda dengan cerdik, menyebut kekuasaan feodal yang mereka tanamkan itu sebagai kekuasaan “EDET”

Inilah yang kemudian menjadi penyebab, “Edet” menjadi musuh dan ramai-ramai dihancurkan oleh orang Gayo, pasca proklamasi 1945. Akibatnya, sampai saat ini di generasi yang lahir tahun 1960-an sampai seterusnya, generasi Gayo tak lagi banyak yang mengetahui adat Gayo yang sesungguhnya.

Jadi kesimpulannya, mengapa Hurgronje membuat dua buku berbeda tentang Aceh dan Gayo, bukanlah dengan maksud ingin mengadu domba. Tapi karena saat itu dia sudah sangat menyadari kalau Aceh dan Gayo adalah dua entitas masyarakat yang sangat berbeda.

SUMBER: suaragayo

No comments