TERBARU

Media Cetak pada Era Digital

Teddy K.Wirakusumah, dosen Komunikasi Visual dan pengampu Prodi Magister Fikom Unpad.
Pemahaman yang hidup dan berkembang selama ini; kualitas media yang menyajikan berita dinilai berdasarkan tingkat aktualitasnya. Semakin cepat menampilkan peristiwa terkini keberadaannya kian dihargai. Kelebihan televisi dan radio dibandingkan suratkabar dan majalah salah satunya karena soal satu ini. Namun, terkait kecermatan mennyajikan detail dan perolehan pemahaman yang utuh, suratkabar dan majalah tak tergantikan mengingat sifat televisi dan radio yang selintas lihat dan selintas dengar. Kelebihan dan kelemahan masing-masing media ini saling melengkapi satu sama lain. Oleh sebab itu sejarah membuktikan dalam jangka waktu yang sangat lama masing-masing media tersebut bisa terus berdampingan dengan rejekinya masing-masing.

Namun, kehadiran komputer dan internet sebagaimana yang kita saksikan sekarang membuat peta pemahaman media massa konvensional yang terpelihara selama ini perlu dikonstruksi ulang. Televisi dan radio kini menyediakan rekaman yang bisa diakses, bahkan diunduh jika perlu. Suratkabar dan majalah pun sekarang menambah layanan online yang selalu di-update setiap waktu. Lalu bagaimana nasib pers cetak?

Industri pers cetak nampaknya menghadapi masalah serius terkait tingkat penjualan yang terus menurun. Untuk mengatasi kerugian jumlah oplah dikurangi. Namun, semakin rendah oplah keberlangsungan industri pers cetak tersebut semakin terancam, karena pemasukan industri ini selain dari penjualan media itu sendiri, juga dari jumlah pemasang iklan. Penurunan oplah  sangat berpengaruh, karena pihak pengiklan akan berpikir ulang memasang iklan di media cetak yang oplahnya semakin meredup secara perlahan.
Ramalan Philip Meyer, sang penulis The Vanishing Newspaper mungkin akan benar terjadi, media cetak akan benar - benar mati pada tahun 2040. Melihat semakin merosotnya oplah media cetak dekade terakhir ini boleh jadi ramalan bukan hanya isu belaka.

Gejala ini sudah terjadi pada industri pers cetak di luar negeri dalam kurun dasawarsa terakhir, terutama di Amerika Serikat.  Lebih dari 40 koran di Amerika telah menghadapi kebangkrutan. Krisis ekonomi dan internet menjadi hantaman ganda bagi industri koran dan media cetak lainnya di Negeri Paman Sam. Mulai dari menutup resmi usahanya sampai menggantinya ke media online. Sebut saja diantaranya Surat kabar Tribune, The New York Times, Newsweek, Reader's Digest, The Washington Post dan Boston Globe, dll.

Di Indonesia walau belum tampak nyata benar, permasalahannya hampir serupa. Pers cetak Indonesia harus segera beradaptasi dan terus bertahan menghadapi perubahan- perubahan yang ada. Jika tidak segera menyesuaikan dengan kebutuhan  masyarakat yang telah ditunjang berbagai teknologi canggih, jangan heran kalau mereka akan ditinggalkan.

Sejumlah pers cetak tampak sudah mulai bergegas, namun upaya adaptasi pun rupanya masih tampak setengah hati. Upaya digitalisasi media menjadi electronic paper atau epaper misalnya. Jika diperhatikan, hingga saat ini ternyata belum ada satupun penerbit pers yang telah menerbitkan digitalisasi media miliknya secara utuh dan lengkap yang dapat diakses secara terbuka (online) sejak penerbitan pertama. Pers cetak yang masih eksis, idealnya berada paling depan dalam membuat digitalisasi media yang diterbitkan secara utuh. Mengingat – seharusnya – memiliki koleksi arsip yang lebih lengkap bahkan sejak pertamakali terbit.

Upaya digitalisasi rupanya masih dilihat sebatas trend. Sebagian bahkan memandangnya sebagai aktivitas pengarsipan. Padahal, upaya digitalisasi dapat dipandang sebagai peluang bisnis untuk mendulang keuntungan berdasarkan upaya yang sudah susah payah dihasilkan dari masa lalu. Mungkin itu sebabnya suratkabar-suratkabar di Amerika dan Eropa sudah mendigitalisasikan pers cetaknya yang terbit diawal abad 18. Di Asia, sejak 2014 pers cetak yang terbit di Cina sudah pula digitalisasikan. Menjadi fakta menarik bahwasanya upaya digitalisasi suratkabar Indonesia yang terbit antara 1931-1940 dilakukan justru oleh Belanda. Misal yang lain,Koran Sin Po, surat kabar yang terbit di Jakarta pada 1910 -1965 juga digitalisasikan oleh Australia. Hal ini membuktikan bahwa perhatian dan kepedulian mengenai digitalisasi pers cetak di Indonesia justru dimiliki orang asing. Terlepas bahwa Belanda memiliki keterkaitan sejarah dan pernah memiliki akses terhadap arsip di jamannya, kita harus mengkui telah kalah selangkah.

Pers cetak digital yang dapat diakses secara online sejak penerbitan pertama merupakan sumber yang luar biasa bernilai bagi ilmuwan. Dapat menginspirasi beragam penelitian, terutama penelitian historis dan analisis tekstual Namun, minat untuk mengetahui masa lalu sesungguhnya bukan cuma urusan ilmuwan. Minat untuk mengetahui masa lalu bisa menjadi kebutuhan siapapun. Banyak orang tertarik jika dapat dengan mudah menemukan informasi tentang orang orang-orang terkenal atau bahkan orang-orang tertentu (orang tua, sahabat, bahkan dirinya sendiri) yang pernah dimuat di surat kabar pada masa silam namun urung terarsipkan. Atau hal sederhana lainnya, siapapun mungkin ingin tahu ada periswa apa sajakah yang diberitakan suratkabar saat dirinya dilahirkan. Jika hal demikian disadari, tak berlebihan kiranya jika orang bersedia membayar biaya berlangganan demi mendapatkan sepotong informasi yang dikabarkan di masa silam.

Hiruk pikuk pilpres sejak 2014 dan kini 2019 di Indonesia merupakan fenomena unik yang tersangkut dengan kajian komunikasi politik, pertarungan media, konflik ideologi, peran lembaga survey, partisipasi relawan, wacana media sosial, pencitraan publik, debat pakar, dan lain sebagainya. Daya tariknya tak boleh dipandang sebagai peristiwa hangat hari ini, tapi bisa jadi topik yang punya pesona yang menggugah keinginantahuan banyak orang 20 bahkan 30 tahun yang akan datang.  Bukan hanya nasional, namun berpotensi secara global. Dengan demikian mungkin bisa dikatakan Pers Online adalah bisnis hari ini, tapi Pers Cetak Digital sekaligus investasi untuk masa depan

Hanya memang, sejak dini mindset bisnis media seperti yang dianut sekarang perlu didefinisikan ulang.  Jenis media akses, format penyajian image dan tekstual digital, kemudahan penelusuran informasi,  kemudahan translasi, dan yang terakhir harus berubah sistem dan materi promosi. Selamat Hari Pers Nasional.

SUMBER : Pikiran Rakyat, 8 Februari 2019, halaman 18.

No comments