TERBARU

Sastra Indonesia dan Peranakan Tionghoa

 

Sejumlah buku karya penulis Tionghoa koleksi Museumustaka Peranakan Tionghoa, Tangerang Selatan, Banten. [kompas]

Indonesia adalah negara yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dan kebudayaan.

Salah satu suku yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia adalah suku Tionghoa, dengan kebudayaan khas mereka.

Perayaan Tahun Baru Imlek adalah salah satu contoh kebudayaan Tionghoa yang dikenal luas oleh masyarakat.

Tak hanya soal Imlek, hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa suku atau keturunan Tionghoa memiliki kontribusi bagi perkembangan Indonesia.

Kontribusi ini dapat dilihat di berbagai bidang, termasuk perkembangan sastra Indonesia modern.

Tionghoa dan sastra Indonesia modern

Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret (UNS) Dwi Susanto mengatakan, pengaruh peranakan Tionghoa dalam perkembangan sastra Indonesia modern cukup besar.

Ia mengatakan, penelitian yang dilakukan Claudine Salmon (peneliti asal Perancis) menunjukkan bahwa pengertian sastra Indonesia "modern" dipelopori oleh orang-orang peranakan Tionghoa.

"Kalau menurut ahli Perancis, Claudine Salmon, itu pengaruh pertama sastra Indonesia 'modern', pengertian sastra Indonesia 'modern' itu dipelopori oleh orang-orang peranakan Tionghoa," kata Dwi saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/1/2022).

Dalam bukunya Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa (2010) Salmon menyebutkan bahwa novel Indonesia pertama adalah Tjhit Liap Seng (Bintang Tujuh) karya Lie Kim Hok yang terbit pada 1885.

Hal tersebut berkebalikan dengan penulisan sejarah sastra Indonesia modern, yang menyebutkan bahwa novel Indonesia pertama adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang terbit pada awal 1920-an.

Menurut Dwi, peranakan Tionghoa memiliki kontribusi memperkenalkan genre atau jenis kesastraan yang modern yang lepas dari pakem-pakem sastra tradisional.

"Modern dalam konteks ini artinya tidak terpengaruh oleh tradisi-tradisi lama. Misalnya kalau di puisi ada pepatah, ada pantun, ceritanya istana-sentris. Tapi kalau orang peranakan itu sudah modern, seperti novel-novel yang sekarang," ujar Dwi.

Dwi mengatakan, penulis peranakan Lie Kim Hok pada 1890-an telah mengenalkan bentuk sastra Indonesia modern dengan mengadaptasi dan menggabungkan tiga cerita, yakni cerita dari Perancis, China, dan cerita setempat.

Kontribusi di bidang bahasa

Tidak hanya di bidang sastra seperti novel, Dwi mengatakan bahwa peranakan Tionghoa juga berkontribusi memelopori seni pertunjukan modern.

"Di bidang pertunjukan itu mereka (peranakan) memelopori pertunjukan modern, sandiwara modern, yang dikelola manajemen. Modern itu dalam arti ceritanya hasil kreasi sendiri, tidak dari teks-teks cerita rakyat, itu dia membuat sendiri," kata Dwi.

Dwi mengatakan, peranakan Tionghoa juga memberikan sumbangan pada bahasa Melayu, yang merupakan cikal-bakal bahasa Indonesia sekarang.

"Ini misalnya Lie Kim Hok tahun 1890-an sudah menentang penggunaan bahasa Melayu yang dipromosikan pemerintah kolonial (Belanda). Jadi dia (Lie Kim Hok) membuat bahasa Melayu yang nanti menjadi bahasa Indonesia," ujar Dwi.

Pada tahun 1890-an itu, Lie Kim Hok juga menulis Kitab Ejaan atau semacam kaidah tata bahasa bahasa Melayu.

Kontribusi peranakan Tionghoa di bidang sastra dan bahasa, salah satunya, dipengaruhi kemampuan mereka untuk menerbitkan bacaan dan juga surat kabar.

"Karena mereka punya kapital, mereka punya penerbit sendiri, surat kabar sendiri," ujar Dwi. 

Pelurusan sejarah sastra Indonesia modern

Dwi mengatakan, kontribusi atau pengaruh penulis peranakan Tionghoa dan pribumi terhadap perkembangan sastra Indonesia sudah ada, bahkan jauh sebelum era Balai Pustaka.

Menurut Dwi, Balai Pustaka merupakan lembaga yang dibentuk pemerintah kolonial Belanda sebagai respons atas kemunculan karya-karya sastra, baik dari pengarang pribumi maupun peranakan Tionghoa.

"Untuk menjembatani supaya rakyat itu tidak 'teracuni' oleh bacaan-bacaan yang mereka hasilkan (pengarang pribumi dan peranakan) maka pemerintah kolonial membuat Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 yang akhirnya pada tahun 1917 berkembang menjadi Balai Pustaka," ucap Dwi.

Ia mengatakan, kontribusi pengarang pribumi, dan terutama pengarang peranakan Tionghoa, memang sengaja disisihkan oleh pemerinah kolonial Belanda dengan membentuk Balai Pustaka.

Hal ini tidak terlepas dari strategi politik balas budi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial pada masa itu.

"Supaya memang misi pengadaban dia (pemerintah kolonial) terlihat di situ. Bahwa sastra Indonesia modern itu adalah sastra yang miliknya Balai Pustaka," ujar dia.

"Maka sebenarnya sejarah sastra Indonesia itu dalam tulisan saya, penelitian saya, dalam disertasi saya, selalu mengatakan harus ditulis ulang dengan perspektif yang berbeda," tuturnya.

SUMBER: https://www.kompas.com/cekfakta/read/2022/01/31/123700582/pengaruh-peranakan-tionghoa-dalam-perkembangan-sastra-indonesia-modern?



No comments