TERBARU

Super John

Tugas pokok kami sebenarnya berjalan dengan baik. Semua laporan diterima dengan mulus, tak ada koreksi sama sekali.

Tapi, saya sendiri merasa tidak puas. Bahkan, kecewa. Tidak mengenai tugas utama itu. Tapi, menyangkut tugas tambahan yang saya bebankan kepada teman-teman. Termasuk mereka yang mengumpulkan data (dan menuliskan laporannya) untuk kawasan Sulawesi. Khususnya Sulawesi Utara.

Saya kecewa bukan karena semata teman-teman gagal membuat foto yang bagus untuk Festival Selat Lembeh dan Festival Kentang Modoinding. Mereka bukan fotografer? Betul. Tapi, kamera hape mana yang menolak keceriaan dan keindahan sebuah festival yang penuh warna? Terlebih itu berlangsung di Tanah Minahasa dan selat biru yang dipenuhi perahu-perahu kecil? Dan foto yang saya dambakan pun hanya foto wajah sebuah sosok. Dua tiga jepretan sudah cukup.

Ya, saya kecewa karena mereka sama sekali tak berhasil mendapatkan foto John Walukow. Jangankan hasil potretan sendiri, foto pinjaman pun tak mereka dapatkan! 

Saking kecewanya, saya nyaris menyesali keputusan saya meminta mereka mengerjakan tugas tersebut. Kenapa tidak saya sendiri yang mengerjakannya? Mengunjungi kobong (kebun) di kaki Gunung Sapotan, menghirup bau daun cingke di Lolak, atau menikmati kolam ikan yang terselip di antara hamparan sawah dan kebun dengan dangau atau rumah beratap seng. Seraya membayangkan seseorang mengalunkan makaaruyen. Biar mama, biar papa pele jalanku. Di muka mama, di muka papa saya berangkat. Belum tere, belum tere langkah jembatan; sudah mengingat, sudah mengingat bapak dan ibu. Wadidaw! Leo Kristi serasa hidup kembali… 

Tapi, seberapa penting foto John Walukow itu? Hemat saya, sangat penting. Sebab, sejauh saya cari di Google, saya tak menemukannya. Sementara, dia bisa disebut salah satu tonggak hortikultura Sulawesi Utara – bahkan mungkin Indonesia.

Kita tahu, provinsi ini merupakan supplier penting sayur-mayur untuk kawasan Indonesia Timur. Khususnya kentang. Data BPS menunjukkan, tahun 2021, Sulawesi Utara penghasil kentang terbesar ke enam di Indonesia – setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jambi. Provinsi ini salah satu kontributor besar ketahanan pangan negeri kita, khususnya swasembada sayuran.

Dan, untuk urusan kentang, John Walukow ini salah satu aktornya. Lewat varietas kentang *Super John*, John bersama petani kentang lainnya di Modoinding, Minahasa Selatan, berhasil menggenjot produksi kentang di provinsi tersebut. Sehingga, selain memenuhi kebutuhan kentang kawasan Indonesia Timur, Modoinding juga menjadi pemasok kentang untuk Filipina – terutama bagian selatan.

Super John sendiri bermula dari ketekunan dan kecermatan John. 1990, ia mendapatkan salah satu rumpun granola yang ditanamnya tak hanya berumbi lebat. Tapi, masing-masing umbi yang ada di sana jauh lebih besar dibandingkan umbi di rumpun-rumpun lainnya. “Berat umbinya bisa mencapai 8 ons,” kata John, sebagaimana pernah dikutip sebuah media. 

Iapun memanfaatkan umbi itu sebagai bibit. Hasil dari bibit inipun sangat memuaskan. Jenis granola yang biasa ditanam di Modoinding rupanya telah beradaptasi dengan debu vulkanik Gunung Sapotan, sehingga bermutasi menjadi jenis kentang dengan kadar air tinggi, berukuran besar dan tentu saja lebih berat. Petani kentang di Pangalengan, Kabupaten Bandung, biasa menyebutnya sebagai “kentang kelas A” – merujuk kepada kualitasnya. (Bayangkan, di tengah dingin dan kabut pagi, kamu berselimut sarung menatap ruhay dan abu yang disusupi kentang sebesar kepalan tangan Deddy Corbuizer!) 

Sontak kentang hasil bibit pertama itu merebak di kalangan petani kentang Modoinding. Dan sampai kini, seiring dengan meningkatnya produksi kentang dari tahun ke tahun – terakhir, tahun ini produksi kentang Sulawesi Utara dikabarkan meningkat sampai 55% -- mereka tak pernah lagi mendatangkan bibit kentang dari luar. Dan sebagai penghormatan kepada John Walukow, jenis kentang yang ditemukannya ditabalkan sebagai Super John – yang kini entah sudah generasi ke berapa puluh. 

Sayang, foto dirinya tak ditemukan di internet. Berbeda dengan para penemu di “masa lampau”. Mujahir dan Mukibat, penemu ikan mujair dan singkong mukibat, walau hanya berupa lukisan untuk Mujahir, bisa kita temukan. 

No comments