TERBARU

Tentang Waktu


Jujur, saya lebih banyak gak pahamnya membaca buku ini: "Sejarah Singkat Waktu", terjemahan dari "A Brief History of Time" karya Stephen Hawking. Hawking sendiri menulis buku ini tahun 1996. Jadi, seperti beberapa buku lainnya yang saya beli, saya telat membaca buku "berat" ini. Edisi terjemahan bahasa Indonesia-nya sendiri terbit tahun 2013, dan yang saya beli merupakan cetakan keenam belas, terbitan Desember 2023. Seperti umumnya orang yang terlambat melakukan kebaikan, saya pun berkilah: "Lebih baik terlambat (membeli dan membacanya) daripada nggak sama sekali..." Tapi itu tadi, susah sekali saya memahami penggal demi penggal, alinea demi alinea, bab demi bab dari buku ini. Satu-satu bab yang lumayan saya pahami dari awal hingga akhir adalah Bab 12: Kesimpulan. Karena itu, saya sajikan saja kesimpulan dari buku: "A Brief History of Time (Sejarah Singkat Waktu)" ini dengan beberapa "modifikasi" redaksi:


Kita mendapati dunia yang membingungkan. Kita ingin mengerti apa yang ada di sekitar lalu bertanya: Apa hakikat alam semesta? Seperti apa tempat kita di dalamnya, dari mana datangnya tempat itu dan dari mana kita berasal? Mengapa seperti demikian adanya? Untuk coba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu kita menggunakan suatu "gambaran dunia". Mula-mula dunia digambarkan dengan tumpukan kura-kura yang tak berujung. Dikembangkan pula teori superdawai. Keduanya adalah teori mengenai alam semesta, meski salah satu lebih matematis dan presisi dari yang lain.

Keduanya tak punya bukti hasil pengamatan: tak ada orang yang pernah melihat kura-kura raksasa dengan bumi di punggungnya, dan tak ada juga yang pernah melihat superdawai. Teori kura-kura gagal menjadi teori sains yang baik karena memprediksi bahwa orang bisa jatuh dari ujung dunia. Prediksi itu jelas tak cocok dengan pengalaman kita, kecuali kalau sebenarnya itu adalah penjelasan mengapa orang bisa hilang di Segitiga Bermuda!

Upaya teoritis pertama untuk menjelaskan alam semesta adalah gagasan bahwa peristiwa-peristiwa dan gejala alam dikendalikan roh-roh dengan emosi manusia yang bertingkah laku seperti manusia dan tak terduga. Roh-roh itu menghuni benda-benda seperti sungai, gunung, matahari dan bulan. Mereka harus dipuaskan dan dibuat senang agar tanah subur dan musim terus berganti.

Tapi pelan-pelan disadari bahwa ada keteraturan: Matahari selalu terbit di timur dan terbenam di barat, tanpa peduli apakah dewa matahari sudah diberi kurban atau belum. Selain itu, matahari, bulan, dan planet-planet mengikuti jalur tertentu melintasi langit dan posisi benda-benda langit itu bisa diprediksi dengan cukup akurat. Matahari dan bulan mungkin tetap merupakan dewa-dewi, tapi mereka dewa-dewi yang mematuhi hukum secara ketat, rupanya tanpa pengecualian, kalau kisah-kisah seperti berhentinya matahari untuk Yosua diabaikan.

Awalnya, keteraturan dan hukum hanya terlihat pada astronomi dan segelintir keadaan lain. Tapi selagi peradaban berkembang, khususnya dalam 300 tahun terakhir, makin banyak keteraturan dan hukum yang ditemukan. Keberhasilan hukum-hukum itu membuat Laplace pada awal abad kesembilan belas mendalilkan determinisme sains: dia mengusulkan bahwa ada satu set hukum yang mengatur perkembangan alam semesta dengan tepat, kalau keadaannya pada suatu waktu diketahui.

Determinisme Laplace tak lengkap dalam dua hal. Determinisme itu tak mengatakan bagaimana hukum dipilih dan seperti apa konfigurasi awal alam semesta. Kedua hal itu diserahkan ke Tuhan. Tuhan bakal menentukan bagaimana alam semesta bermula dan hukum apa yang berlaku, tapi tak bakal campur tangan di alam semesta kalau sudah dimulai. Praktis Tuhan terbatas di daerah yang tak dimengerti sains abad kesembilan belas.

Sekarang kita tahu bahwa harapan determinisme Laplace tak bisa diwujudkan, setidaknya berdasarkan yang dia pikir. Kaidah ketidakpastian mekanika kuantum menyiratkan bahwa pasangan-pasangan besaran tertentu, seperti posisi dan kecepatan zarah, tak bisa sama-sama diprediksi dengan sangat akurat. Mekanika kuantum menangani situasi demikian dengan sekelompok teori kuantum yang tak memberi posisi dan kecepatan jelas kepada zarah dan mewakili zarah dengan gelombang. Teori-teori kuantum itu deterministik dalam arti memberi hukum untuk perkembangan gelombang seiring waktu.

Jadi jika kita tahu keadaan gelombang pada suatu saat, kita bisa menghitung keadaannya pada waktu lain. Unsur acak yang tak bisa diprediksi hanya datang ketika kita mencoba menafsirkan gelombang untuk mengetahui posisi dan kecepatan zarah. Tapi barangkali itulah kesalahan kita: mungkin tak ada posisi dan kecepatan zarah, hanya ada gelombang. Kita bisa saja mencoba mencocokkan gelombang dengan gagasan posisi dan zarah yang sudah kita punya. Ketidakcocokan yang dihasilkan adalah penyebab ketidakmampuan prediksi.

Kita telah mengubah tugas sains menjadi penemuan hukum-hukum yang akan memungkinkan kita memprediksi peristiwa-peristiwa sampai batas yang ditetapkan kaidah ketidakpastian. Tapi masih ada pertanyaan: bagaimana atau mengapa hukum-hukum dan keadaan alam semesta ditetapkan? Dalam buku ini Hawking telah mengutamakan hukum-hukum yang mengatur gravitasi, karena gravitasilah yang membentuk struktur skala besar alam semesta, meski gravitasi adalah yang terlemah di antara empat kategori gaya.

Hukum-hukum gravitasi tak cocok dengan pandangan yang dianut sampai baru-baru ini bahwa alam semesta tak berubah meski waktu berjalan: kenyataan bahwa gravitasi selalu bersifat menarik menyiratkan bahwa alam semesta harus mengembang atau menyusut. Menurut teori relativitas umum, harus ada keadaan dengan kerapatan tinggi tak terhingga pada masa lalu, Ledakan Besar, yang kiranya menjadi permulaan efektif waktu. Begitu pula, jika seluruh alam semesta menyusut kembali, harus ada satu lagi keadaan berkerapatan tak terhingga pada masa depan, Rengkuhan Besar, yang bakal menjadi akhir waktu.

Kalaupun seluruh alam semesta tak kembali menyusut, tetap bakal ada singularitas di daerah-daerah yang runtuh membentuk lubang hitam. Singularitas bakal menjadi akhir waktu bagi siapa pun yang jatuh ke dalam lubang hitam. Di Lubang Hitam dan singularitas lain, segala hukum alam kiranya buyar, jadi Tuhan bakal masih punya kebebasan mutlak untuk memilih apa yang terjadi dan bagaimana alam semesta bermula.

Ketika kita menggabungkan mekanika kuantum dengan relativitas umum, tampaknya ada kemungkinan baru yang sebelumnya tak hadir: bahwa ruang dan waktu bersama-sama bisa membentuk ruang terbatas berdimensi empat tanpa singularitas atau batas, seperti permukaan bumi tapi dengan lebih banyak dimensi. Tampaknya gagasan itu dapat menjelaskan banyak ciri alam semesta yang diamati, seperti keseragaman pada skala besar dan perbedaan pada skala kecil seperti galaksi, bintang, dan bahkan manusia. Gagasan itu bahkan bisa menjelaskan panah waktu yang kita amati. Tapi jika alam semesta utuh dalam dirinya sendiri, tanpa singularitas atau perbatasan, dan sepenuhnya dijabarkan satu teori terpadu, itu besar dampaknya bagi peran Tuhan sebagai Pencipta. Einstein pernah bertanya: "Seberapa banyakkah pilihan yang Tuhan punya ketika membangun alam semesta?"

Jika usul tanpa perbatasan itu benar, Dia tak punya kebebasan sama sekali dalam memilih kondisi awal. Tentu saja Tuhan masih punya kebebasan untuk menentukan hukum-hukum yang dipengaruhi alam semesta. Tapi boleh jadi pilihan tersebut juga tak banyak; boleh jadi hanya satu atau sedikit teori terpadu lengkap, seperti teori dawai heterotik, yang konsisten dengan dirinya sendiri dan memperkenankan keberadaan struktur serumit manusia yang bisa meneliti hukum-hukum alam semesta dan bertanya mengenai hakikat Tuhan.

Andaikan hanya ada satu teori terpadu yang mungkin, teori itu hanyalah satu set aturan dan persamaan. Apa yang menghidupkan persamaan dan membuat alam semesta untuk dijabarkan? Pendekatan sains yang biasa yakni membangun model matematika tak bisa menjawab pertanyaan mengapa harus ada alam semesta untuk dijabarkan model itu. Mengapa alam semesta harus repot-repot ada? Apakah teori terpadu sangat meyakinkan sampai-sampai memunculkan keberadaannya sendiri? Atau apakah teori itu perlu pencipta, dan jika demikian, apakah pencipta itu punya efek lain di alam semesta? Dan siapa yang menciptakan pencipta?

Sampai sekarang, sebagian besar ilmuwan telah terlalu sibuk dengan pengembangan teori-teori baru yang menjabarkan seperti apa alam semesta sehingga tak sempat bertanya mengapa. Di pihak lain, orang-orang yang tugasnya bertanya mengapa, para filsuf, belum mampu menyusul kemajuan teori-teori sains. Pada abad kedelapan belas para filsuf menganggap seluruh pengetahuan manusia, termasuk sains, adalah bidang mereka dan membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah alam semesta punya permulaan?

Tapi pada abad kesembilan belas dan kedua puluh sains menjadi terlalu teknis dan matematis bagi filsuf dan semua orang selain segelintir spesialis. Para filsuf mempersempit bidang mereka sampai-sampai Wittgenstein, filsuf paling terkenal abad kedua puluh, berkata, "Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisis bahasa." Mengenaskan sekali penurunan ini dibanding tradisi filsafat sejak Aristoteles sampai Kant!

Namun, kalau kita benar-benar menemukan satu teori lengkap, seiring waktu teori itu akan bisa dipahami secara luas oleh semua orang, bukan hanya segelintir ilmuwan. Maka kita semua, filsuf, ilmuwan, dan orang biasa, akan bisa ambil bagian dalam pembahasan pertanyaan mengapa kita dan alam semesta ada. Jika kita menemukan jawabannya, itulah kemenangan pamungkas nalar manusia—karena artinya kita telah mengetahui isi pikiran Tuhan.





Abad Badruzaman,

Dosen Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung

No comments