Lumbung Perjumpaan Rahmat Jabaril
Seorang penyair
asal Bandung, yang piawai menggunakan ungkapan-ungkapan yang ironis, Agus R.
Sarjono, pernah menciptakan sekumpulan puisi yang diberi judul “Lumbung
Perjumpaan”, kemudian diterbitkan Komodo Books, Depok, di tahun 2011. Bila
biasanya Agus R. Sarjono dalam kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya, seperti
dalam “Kenduri Air Mata”, “Diterbangkan Kata-Kata”, dan “Suatu Cerita dari
Negeri Angin”, berbicara tentang ketimpangan sosial atau rusaknya lingkungan
hidup, maka dalam antologi puisi “Lumbung Perjumpaan” ia mengungkapkan tentang
perjumpaannya secara intelektual dengan orang-orang yang memiliki pikiran atau
gagasan yang berpengaruh, bahkan mungkin mengubah dunia, seperti Nietzsche,
Sartre, Camus, serta tokoh-tokoh lokal yang memiliki kecemerlangan dan
keorisinilan dalam berpikir dan sedikit banyaknya mempengaruhi bangsa Indonesia,
seperti Chairil Anwar, Ronggowarsito, atau KH. Hasan Mustapa.
Tentang
pengalaman dan perjumpaan dengan orang-orang terkenal itu, kiranya menjadi
pengalaman yang nyaris dialami oleh setiap orang yang suka berpetualang. Sudah
tentu perjumpaan bisa bermakna berjumpa secara fisik, tapi bisa juga perjumpaan
secara pikiran atau gagasan. Biasanya perjumpaan secara fisik tidak memberikan
dampak atau kesan yang mendalam, tetapi perjumpaan secara gagasan bisa memberi
kesan yang senantiasa diingat, karena ia telah menjadi “lumbung” yang
menumbuhkan cara berpikir dan bersikap di dalam menjalani kehidupannya di
dunia.
Rahmat Jabaril,
salah seorang perupa Bandung dan pelaku aksi protes sosial, juga kiranya
seorang pribadi yang memiliki pengalaman berjumpa dengan orang-orang “besar”,
baik secara fisik maupun secara gagasan. Dia menyadari bahwa perjumpaannya
dengan orang-orang besar itu memiliki jejaknya di setiap lukisan atau kata-kata
yang dia lontarkan, baik secara lisan maupun tulisan. Perjumpaannya menjadi “lumbung”
yang menumbuhkan cara berpikir dan bersikap dalam perjalanan hidupnya.
Tak banyak orang
yang menyadari bahwa kehadiran dirinya sebagai subjek bukan hasil jelmaan dari
kekosongan pengalaman, namun hasil dari persentuhan dan perjumpaan dengan
lingkungan, seperti lingkungan fisik (alam dan orang-orang), budaya, dan
sosial. Pemeo lama mengatakan, “tak ada
yang baru di bawah matahari.” Setiap yang ada di dalam kehidupan merupakan
hasil memadukan berbagai hal yang sudah ada. Kreativitas bukanlah bagaimana
menemukan “barang” baru, tapi bagaimana orang yang kreatif itu memadukan
hal-hal yang sudah ada menjadi berbeda. Begitu juga dengan subjek, manusia yang
memiliki penghayatan secara pribadi, dia bukanlah sosok yang tidak dipengaruhi
oleh apa pun di dunia. Dia adalah hasil dari pencerapan berbagai hal yang ada
di dalam pengalaman hidupnya, lalu kemudian disubyektivasi, atau diindividuasi,
sehingga menjadi hal yang tampaknya seolah-olah tidak ada duanya.
Dalam pameran tunggalnya
yang diberi judul Live Collage,
Rahmat Jabaril berusaha melakukan introspeksi dan sekaligus restrospeksi,
sehingga ia menyadari bahwa kehadirannya sekarang, beserta gagasan yang
dimilikinya, bukan semata-mata hasil penemuannya sendiri, tetapi hasil
pergumulan dengan orang-orang, baik yang ditemuinya secara fisik maupun melalui
gagasan yang termaktub dalam buku-buku di masa lalu. Secara umum kehadiran manusia
sebagai subjek memang serupa itu. Dia merupakan sosok yang dipenuhi oleh
jejak-jejak pengalaman di masa lalu. Namun hanya sedikit manusia yang menyadari
tentang hal tersebut, sebab kegiatan introspkesi dan retrospeksi membutuhkan
ketekunan secara terus menerus untuk memeriksa diri sendiri secara sadar.
Poster dan cover undangan Live Collage. [istimewa] |
Siapakah Rahmat
Jabaril? Tentu saja hanya dia sendiri yang bisa mengetahuinya, bahkan mungkin
juga dia sebetulnya banyak tidak tahu terlalu banyak tentang dirinya. Manusia
bisa membaca sesamanya dari perilaku, karya yang dihasilkan, dan
gagasan-gagasan yang dilontarkannya. Akan tetapi, mungkin yang terbaca hanya
luarnya saja. Manusia bukan hanya daging, tetapi juga memiliki “ruang dalam”,
dan “ruang dalam” manusia seperti gunung es, tak bisa sepenuhnya dijelajahi,
bahkan oleh dirinya sendiri.
Meskipun begitu,
dibandingkan dengan orang lain, diri sendiri tentu saja bisa lebih tahu tentang
“ruang dalam” yang dimilikinya. Ketika dia bermuka ceria di hadapan orang lan,
maka dia sendiri yang tahu apa yang dirasakan di dalam hatinya; begitu pun
sebaliknya, mungkin raut wajahnya memperlihatkan kesedihan, tetapi orang lain
tidak tahu, bahwa hati yang sebenarnya adalah sedang merasakan kegembiraan.
Konon, karya seni yang “baik” tidak berisi tentang kepura-puraan. Artinya, karya seni itu semestinya merupakan ekspresi seniman dari hasil
pergumulannya dengan kehidupan. Oleh karena itu, melalui karya seni yang
disajikan seniman ke masyarakat, maka para apresiatornya bisa menangkap kegelisahan,
keresahan, atau juga kegembiraan, yang berada dalam “ruang dalam” seniman. Meskipun
hal tersebut ditolak kaum formalisme, tetapi jika ditinjau dari sudut pandang
“isi”, kiranya tidak bisa dibantah bahwa setiap karya seni senantiasa
menghadirkan intensi dan pandangan seniman mengenai kehidupan. Salah satu sebab
terjadinya pelarangan atau sensor terhadap karya seni, karena kadangkala isi
yang diapungkan seniman di dalam karya seni, bertentangan dengan
pandangan-pandangan yang sengaja dipelihara oleh orang-orang yang sedang
berkuasa, sebab karya itu dianggap bisa merusak tatanan yang sudah terpelihara
secara tertib.
Berdasarkan hal
tersebut di atas, 9 karya lukis Rahmat Jabaril dengan ukuran yang relatif besar,
apresiator bisa melihat sebagian kecil “ruang dalam” dari sosok seniman ini.
Jika selama ini masyarakat seni, khususnya di Bandung, melihatnya sebagai orang
yang selalu terlihat gelisah dengan persoalan-persoalan sosial-politik di
negeri ini, maka melalui karya seni yang sekarang ditampilkannya, para
apresiator bisa lebih jauh memahami latar belakang dari munculnya kegelisahan
tersebut. Entah berapa ratus
wajah yang ditampilkan dalam karya-karyanya itu. Tetapi melalui wajah-wajah dan
kalimat-kalimat pendek yang dihadirkan, para penikmat karyanya menjadi tahu
hal-hal yang berkecamuk di dalam pikirannya.
Tidak sekadar itu, melalui pameran ini apresiator pun disadarkan tentang
kecenderungan Rahmat Jabaril yang selama ini menggambarkan objek-objek
lukisannya terlihat “kotor”, “tidak beraturan”, dan bahkan terkesan “kelam”. Latar belakang agamanya yang kuat (dia anak
seorang ustadz dan pernah sekolah di MAN), persentuhannya dengan masyarakat
kecil seperti para pedagang di pasar, pengamen, pencopet, dan orang-orang
terpinggirkan lainnya, serta perjumpaan pemikiran dengan orang-orang “besar”
dengan pemikiran yang “radikal”, baik melalui buku, tulisan-tulisan di media
massa, atau perbincangan secara langsung, mewujudkan suatu kekhawatiran dan
keresahan yang mendalam terhadap kehidupan sosial. Kekhawatiran dan
keresahannya tampak terlihat dari pilihan warna di dalam setiap lukisannya,
selalu didominasi putih dan hitam. Kadangkala ada sapuan-sapuan warna yang
lain, seperti merah, hijau atau kuning mas. Selingan warna yang berbeda itu
kiranya semakin memperkuat kekelaman yang ingin disampaikannya.
Democracy Riot/akrilik, charcoal, krayon di atas kanvas/100x100cm [istimewa] |
Selamat untuk Rahmat Jabaril.***
Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan pengantar pameran Live Collage, yang berlangsung di Sanggar Olah Seni (SOS) Bandung, 19-31 Oktober 2024. Pemuatan ulang atas izin penulis dan penyelenggaran pameran.
No comments