TERBARU

Dari Garut hingga Dago Pojok


Oleh : Bambang Subarnas
, penulis, pengamat dan kurator senirupa. Sempat menjadi "penyuluh budaya" di pedesaan Jawa Barat, seraya menjadi Sekjen Amida (Asosiasi Museum Daerah) Jabar, ia juga mengelola kanal senirupa di YouTube: Sketsa Bung Barnas.

Cukup lama saya tidak bertemu pikir dengan Rahmat Jabaril (selanjutnya saya tulis RJ). Selama satu dekade (sejak 2012) saya banyak mencurahkan kegiatan di desa-desa di Jawa Barat, dan RJ aktif bersama warga kampung Dago Pojok menghidupkan Kampung Kreatif Dago Pojok yang nampaknya sudah memperlihatkan hasil. Akhir September lalu, saya berkesempatan mampir ke studionya di kawasan Dago Pojok bersama Ipit Saefidier Dimyati. 

Rahmat Jabaril dengan latar
salah satu karyanya: Funny Satirical. [istimewa]
Di studio itu sudah bersandar lukisan berukuran besar menutupi dinding studio sekelilingnya. Lukisan hitam putih dengan sapuan kwas yang ekspresif dan lelehan cat yang sengaja dibiarkan. Anda jangan berharap ‘nyaman’ dengan pemadangan seperti itu. Keberadaan kami disitu seperti diteror  oleh tatapan ratusan tokoh yang mengelilingi kami pada lukisan itu. Ada ratusan wajah dilukisk oleh RJ, dari mulai ayahnya, orang orang yang dirasa mempengaruhinya semasa kecl di Garut, hingga tokoh pemikir-pemikir besar dari berbagai belahan dunia. RJ menuliskan kalimat –kalimat yang ia cuplik dari ucapan tokoh tokoh itu. Dalam hal ini - pada saat melukis -  RJ memilih siapa tokoh dan ucapan apa yang akan diterakan pada kanvas itu. 


Pilihan itu tentu saja melibatkan penilaian RJ terhadap tokoh tersebut, sehingga ia dapat menjelaskan mengapa memilih tokoh yang ini dan bukan yang itu. Itu pilihan subyektif RJ tentunya, dengan kemungkinan –secara tidak sadar-memperlihatkan garis ideologi RJ, atau setidaknya RJ bersetuju dengan pemikiran tokoh tersebut. Seperti  kata pepatah , “apa yang kau baca menunjukkan siapa dirimu.”  Soal ini, Ipit S Dimyati akan mengulasnya lebih jauh. Saya melihatnya dalam konteks periodesasi perjalanan kesenian RJ secara garis besar. Periodesasi ini dengan mempertimbangkan perbedaan atau pergeseran RJ dalam berkesenian

Berdasarkan apa yang ia tuturkan dalam perbicangan kami di studio itu, saya mengelompokkan pencapaian RJ dalam berkesenian kedalam 4 periode, yaitu periode RJ muda, periode konfrontasi, periode advokasi, dan periode refleksi. Sebutan periode ini masih bersifat sementara sebelum nanti ditemukan sebutan yang tepat berdasarkan penanda yang diambil dari karya RJ. (diperlukan riset lebih jauh).

Defeat/cat akrilik, krayon, charcoal di atas kanvas/140x148 cm [istimewa]


Rahmat Jabaril Muda

Dalam obrolan kami pada pertemuan yang lalu itu, RJ berceritera tentang kehidupannya di masa kecil di Garut. Ia hidup dalam keluarga pesantren dan meniti pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah – walau sempat pindah ke SD Negeri untuk menuntaskannya. Kemudian ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah, lalu ke Aliyah di Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA).  Ayahnya, seorang guru tarekat yang cukup disegani pada masanya, berharap ia menjadi guru agama.

Latar keluarga pesantren itulah rupanya yang membentuk RJ memiliki kegemaran membaca, menulis, dan berdiskusi hingga dewasa. Sikap kritisnyapun terbentuk karena hal itu. Betapa tidak, ketika berdiskusi misalnya, RJ kecil terbiasa untuk bertanya, menyanggah, atau berargumen. Untuk itu RJ kecil membekali diri dengan bacaan baik teks ataupun konteks. Pada sisi yang lain, kegemarannya pada menggambar sudah ia mulai dari sejak di Garut itu. Bisa jadi gambar-gambar yang bermuatan kritik pada masa kemudian adalah perpaduan antara tradisi kritis yang terbentuk di pesantren dengan gambar sebagai media pengucapannya.

Funny Satirical/cat di atas topeng kertas/300x480 cm. [istimewa]

Periode Konfrontasi

Sebutan periode konfrontasi saya ambil dari modus berkesenian RJ pada kisaran waktu 1990 – 2005an. Era 1990an RJ dikenal sebagai salah satu pentolan Kelompok Gerbong, sebuah kelompok seniman yang mengusung tema sosial politik melalui karya-karyanya. Kelompok Gerbong ini kemudian “pecah” menjadi Kelompok Gerbong dan Kelompok Gerbong Bawah Tanah (selanjutnya ditulis GBT) yang dikomandani oleh RJ sendiri. Perpecahan itu – seperti yang dituturkan oleh RJ – karena perbedaan visi keseniannya. RJ bersikukuh seni sebagai media menyuarakan demokrasi dan keadilan sosial. Inilah ideologi estetik RJ pada masa itu. Pesan bagi RJ ditempatkan lebih penting dibandingkan bentuk visual yang manis. Karya-karyanya cenderung tidak indah, berangasan, dan cenderung provokatif secara visual.  Tak jarang keseniannya berbaur atau bahkan menjadi aksi politik terutama menjelang peristiwa reformasi 1998. RJ terlibat langsung dalam aksi aksi demonstrasi 1998.

Jauh sebelum tahun itu, 1985-1990-an, iapun kerap melakukan aksi sebagai kritik kepada Pemerintahan Orde Baru -- termasuk mendampingi kasus penggusuran tanah di Cibeureum, Bandung. 1992, ia mulai berjejaring dan melakukan aksi bersama dengan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Jelang 1998-2000-an, ia pun berjejaring dengan FORKOT, Jaker, dll untuk menyuarakan perlawanannya.  

Karya- karyanya pada saat itu nampak “gahar” mengkritik pemerintah Orde Baru, seperti (2000) memamerkan kepala babi di Gedung YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan), Bandung, yang kemudian dibawa ke gedung DPRD Jabar. Ada pula pameran “Demokrasi Sudah Mati”, yang berlangsung 21 November 1997-21 Mei1998, di mana ia mengubur salahsatu karyanya sambil “bersumpah”: Karyanya itu akan digali kembali jika Presiden Soeharto lengser.

Dekade 1990–2000-an secara umum ungkapan seni rupa memang diwarnai sikap politis yang kritis dan konfrontatif terhadap pemerintahan Orde Baru. Tak mengherankan sejumlah seniman pada era ini banyak diundang ke event seni rupa internasional, karena dianggap representasi sosial politik di Indonsia bisa dibaca dari karya karya seni rupanya. Paska Reformasi, semangat “perlawanan” itu nampak seperti memukul angin. Seniman yang mengangkat isu sosial-politik ibarat iringan gitar yang chordnya tidak pas dengan irama lagu, hingga akhirnya menemukan chordnya dan iramanya pada wacana seni rupa kontemporer.

 

Enforced Disappearance/akrilik, charcoal, ballpoint, krayon di atas kanvas/160x130 cm. [istimewa]

Periode Advokasi.

Periode ini ditandai dengan modus RJ turba (turun kebawah) melakukan advokasi kepada masyarakat bawah untuk meyakinkan pentingnya kreatifitas sebagai jalan “kemandirian” di kawasan kampug Dago Pojok Bandung. Istilah kemandirian memang terasa berlebihan untuk dikenakan, tetapi maksudnya adalah melalui interaksi dan patisipasi masyarakat untuk mengolah potensi kreatif pada lingkungan, RJ meyakinkan masyarakat bahwa hal itu bisa dilakukan dan dapat berdampak secara ekonomi. Tentu itu bukan pekerjaan yang mudah. Ia bercerita pada masa masa awal berhadapan dengan penolakan sejumlah tokoh terhadap idenya, terutama tokoh kadrun. 

Oya, pada periode ini, RJ nampak tidak seliar periode konfrontasi. Sikapnya yang keras kepala dan urakan, mulai nampak lebih mudah untuk bekerjasama. Badannya mulai berisi dengan tampilan yang lebih “necis”. Faktanya, Kampung Kreatif Dago Pojok dikunjungi para turis dari mancanegara dan oleh para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia maupun Dunia, dijadikan bahan riset oleh Pemerintah sendiri maupun lembaga riset. Ya, tentu dibalik kerja advokasi bertahun tahun itu, tidak seindah dan semulus yang dikisahkan. Bisa jadi ada peristiwa-peristiwa gelap, bahkan kegetiran menyertainya.

 

Isolated/cat akrilik, krayon, charcoal di atas kanvas/150x150 cm. [istimewa]

Periode Refleksi.

Sebutan “refleksi” ini saya ambil dari karya-karya potret tokoh yang sedang dipamerkan ini. Refleksi – seperti yang kita tahu – adalah berkaca diri. Sebagaimana layaknya berkaca, kita melihat diri kita sendiri di bayangan cermin di sana. Kita menjadi pengamat dan mungkin kritikus pada diri sendiri. “Aku” menjadi “aku yang nyata” di sini, dan “aku aksen” di sana. Pada peristiwa berkaca, saya kira itu peristiwa “luar biasa” secara eksistensial, karena dalam peristiwa itu terjadi dialog batin dan evaluasi diri yang intens. Banyak hal yang tak mungkin terkatakan di ruang sosial, tergumamkan dalam diri sendiri.

Lukisan wajah tokoh- tokoh beserta kutipan kalimatnya, saya kira berfungsi sebagi cermin bagi RJ. Pada mulanya RJ membaca tokoh-tokoh itu, kemudian memilih tokoh dan kalimat apa yang akan diterakan pada kanvas. Tokoh itu menjadi obyek kurasi RJ. Kita bisa bertanya misalnya, mengapa memilih tokoh yang ini bukan yang itu? 

Pemilihan itu sepenuhnya menunjukkan sikap berpikir RJ. RJ mungkin mengagumi tokoh itu, dan seolah menempatkannya dalam satu barisan bersama RJ itu sendiri. Tapi pada saat yang sama, RJ pun menempatkan diri dalam skala pencapaian tokoh tersebut. Jika didengar gumamannya pada saat itu, mungkin akan terdengar bagai lagu Broery Marantika “dia begitu, aku begini”... sama saja... Ah sudahlah, itu imajinasi liar saya saja, yang seusai pertemuan di Dago Pojok itu, saya kembali bersepeda, menuruni kawasan Dago melalui jalan kampung yang belum saya ketahui. Dan saya tidak akan menggunakan googlemap, membiarkan diri dalam ketidak pastian di depan. Seperti juga Rahmat Jabbaril yang akan entah ke depannya. Selamat berpameran Mat. Kau... ah !

Transformation/cat akrilik, krayon, charcoal, cat minyak di atas kanvas/1600x300cm. [istimewa]

Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan pengantar pameran Live Collage, yang berlangsung di Sanggar Olah Seni (SOS) Bandung, 19-31 Oktober 2024. Pemuatan ulang atas izin penulis dan penyelenggaran pameran.

No comments