Kala Niat Baik Tak Dibekali Peta Jalan
Mengusung pesan Sunda yang kuat, Surat Edaran Gubernur Jabar hanya jadi gagasan langit.
Oleh: Galih F. Qurbany
SURAT Edaran Gubernur Jawa Barat No. 64/PK.01/Kesra tentang Gerakan Sekolah “Gapura Panca Waluya” adalah dokumen yang secara ideologis memikat namun secara teknokratik menimbulkan tanya.
Di dalamnya termuat ajakan moral yang sangat luhur: menjadikan pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan, tetapi ruang pembentukan karakter, spiritualitas, dan budaya hidup sehat ala nilai-nilai lokal Sunda.
Tapi seperti banyak kebijakan lain yang lahir dari niat baik namun terburu-buru, surat edaran ini belum sepenuhnya menyentuh tanah: ideal, tapi belum tentu operasional.
Gagasan “Gapura Panca Waluya” membawa lima nilai: sehat jasmani dan rohani, senang belajar, kuat mental dan spiritual, senang menolong, dan bersih. Nilai-nilai ini adalah simpul dari cita-cita pendidikan holistik—gagasan yang telah digaungkan UNESCO maupun Ki Hajar Dewantara sejak lama.
Namun, mendesakkan nilai ini lewat surat edaran tanpa peta jalan dan evaluasi hanya akan menempatkannya sebagai poster etis yang digantung di tembok-tembok sekolah, bukan menjadi napas harian warga belajar.
Sebagai contoh, larangan wisuda dan study tour berbayar adalah kritik terhadap praktik komersialisasi yang selama ini menjadi keluhan publik. Namun dalam praktiknya, wisuda dan study tour bukan sekadar formalitas, tapi telah menjadi simbol partisipasi emosional keluarga dan ajang pembelajaran kontekstual bagi siswa.
Bila keduanya dihapus tanpa alternatif yang bermakna, bukan hanya akan menciptakan resistensi diam-diam, tapi juga akan mereduksi aspek afektif dari proses pendidikan itu sendiri.
Solusinya bukan pelarangan, melainkan regulasi. Pemerintah Provinsi bisa mengeluarkan panduan kegiatan perpisahan yang murah, partisipatif, dan mendidik. Study tour bisa diarahkan untuk menjelajahi situs budaya dan lingkungan lokal, dengan pembiayaan yang transparan dan tidak membebani.
Pemerintah daerah pun bisa memfasilitasi moda transportasi bersama dan subsidi operasional, menjadikan kegiatan itu bagian dari pendidikan luar kelas yang terarah.
Poin lain yang problematik adalah larangan siswa menggunakan kendaraan bermotor. Di kota besar seperti Bandung atau Bekasi, gagasan ini mungkin relevan. Tapi bagaimana dengan anak-anak di Garut Selatan, Tasikmalaya pedalaman, atau Cianjur yang harus menempuh perjalanan belasan kilometer tanpa akses transportasi umum yang layak?
Tanpa penataan sistem transportasi sekolah terlebih dahulu, kebijakan ini tak hanya tidak realistis, tapi juga bisa mengancam akses pendidikan.
Solusi yang lebih masuk akal adalah penataan dan legalisasi “angkutan pelajar” berbasis komunitas, serta dukungan untuk jalur sepeda atau program antar-jemput kolektif. Ini bisa melibatkan koperasi sekolah, karang taruna, atau desa-desa melalui dana CSR atau dana desa. Pendidikan tidak bisa dibatasi oleh kemacetan logika kebijakan, tapi juga tak bisa didorong dengan larangan yang tidak berpijak pada realitas sosiogeografis.
Gagasan “toilet di dalam kelas” dan “makan sehat gratis” juga mengandung niat mulia, tetapi di banyak sekolah di pelosok, toilet pun masih jadi barang langka, air bersih masih menjadi masalah, dan anggaran operasional sekolah minim.
Gagasan toilet di kelas barangkali terinspirasi dari model sekolah Jepang atau Skandinavia, tapi kita hidup dalam lanskap pendidikan yang infrastrukturnya masih jauh dari layak. Jangan sampai upaya estetika mengaburkan fakta bahwa banyak anak masih belajar di ruang semi permanen, bahkan bergantian dengan siswa lain karena keterbatasan ruang.
Pemerintah Provinsi Jabar seharusnya menjadikan ini momentum untuk mendorong investasi sarana-prasarana minimal berbasis kebutuhan. Toilet terpisah untuk siswa perempuan dan laki-laki, program bank makanan sekolah berbasis dapur lokal, atau kerja sama dengan Dinas Kesehatan untuk menyediakan makanan bergizi sederhana berbasis pangan lokal adalah pendekatan yang lebih realistis dan bisa menjadi lokus pemberdayaan masyarakat sekitar.
Yang absen dalam surat edaran ini adalah mekanisme pelibatan daerah tingkat dua.
Kita tahu bahwa urusan pendidikan dasar dan menengah pertama adalah wewenang kabupaten/kota. Tanpa koordinasi struktural, surat ini hanya akan menjadi selebaran niat yang mampir sebentar ke meja dinas pendidikan dan tidak pernah benar-benar menggerakkan akar rumput. Jika gubernur serius, maka yang dibutuhkan bukan sekadar surat edaran, tetapi sebuah Rencana Aksi Daerah, disusun bersama kepala daerah dan DPRD, lengkap dengan timeline, anggaran, dan indikator evaluasi.
Mengusung pesan Sunda yang kuat
Dalam konteks narasi, Dedi Mulyadi memang mengusung pesan Sunda yang kuat. Ia mencoba membumikan filosofi silih asih, silih asah, silih asuh dalam sistem pendidikan formal. Tapi dalam kebijakan publik, narasi budaya harus dijahit erat dengan kerangka kelembagaan.
Jangan sampai “Gapura Panca Waluya” menjadi slogan politik yang digemakan pada tahun pertama, lalu dilupakan di tahun-tahun berikutnya karena tidak pernah benar-benar dimasukkan ke dalam sistem monitoring dan pembiayaan.
Kebijakan besar tidak bisa dikelola dengan pendekatan solo run seorang gubernur. Ia harus menjadi gerakan lintas sektor, melibatkan Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Bappeda, DPRD, hingga komunitas sekolah.
Harus ada insentif bagi sekolah yang berhasil menerapkan prinsip-prinsip waluya secara kreatif, ada panggung bagi praktik baik, dan ada forum rutin untuk mendengar suara guru, siswa, dan orang tua sebagai pelaku utama.
Pada akhirnya, surat edaran ini akan diuji bukan pada seberapa banyak sekolah mengadopsi bahasanya, tapi seberapa besar perubahan nyata yang terjadi dalam kehidupan murid.
Jika itu tidak terjadi, maka “Gapura Panca Waluya” hanya akan menjadi gerbang simbolik menuju ruang kosong. Indah di awal, sepi di ujung. *
*) Penulis adalah Pengamat Kebijakan dan Informasi Strategis, PAKIS.
SUMBER: gosipgarut.
No comments