TERBARU

Menari dari Gang Sempit


Deden Bongkeng Dkk merayakan Hari Tari Dunia di jantung Kota Bandung. Mengeksplorasi tubuh sekaligus mengajak warga ikut berinteraksi.

Penari dari Bongkeng Art Space mengajak warga untuk menari dalam rangka hari tari sedunia yang digelar selama 24 jam non stop di permukiman padat penduduk di Gang Dipa, kawasan Cibeunying Kidul, Kota Bandung Selasa (29/4). Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
Penari dari Bongkeng Art Space mengajak warga untuk menari dalam rangka Hari Tari Sedunia yang digelar selama 24 jam non stop di permukiman padat penduduk di Gang Dipa, kawasan Cibeunying Kidul, Kota Bandung Selasa, 29 April 2025. [Dimas Rachmatsyah/Jabar Ekspres]


TARI tidak harus digelar di panggung megah. Di Gang Dipa yang sempit dan padat di kawasan Cibeunying Kidul, Kota Bandung, tubuh-tubuh penari berputar, menghentak, dan mengalir bersama denyut warga. Sejak Senin malam,  hingga Selasa siang, tarian tak henti dimainkan selama 24 jam.

Langit masih terang. Terik menyorot para penari. Langkah-langkah pertama penari mulai bergema dari pemukiman warga. Direktur Bongkeng, Deden Bulenk, menyulut semangat lewat gerakan tari sebagai bentuk penghormatan pada Hari Tari Dunia yang jatuh setiap 29 April.

Bukan pertunjukan biasa, tahun ini mereka menggelar 24 Jam Menari dengan titik awal dari permukiman padat di Gang Dipa. Dia menyebut acara ini diikuti oleh para penari dari berbagai daerah: Indramayu, Serang, Sumedang, Kabupaten Bandung, hingga Ciamis.

“Penari akan terus berdatangan. Kita sudah bergerak ke kelurahan, mampir ke kecamatan, nanti ke Monju, Gedung Sate, alun-alun, lalu kembali lagi ke sini,” kata Deden kepada Jabar Ekspres di sela-sela kegiatan.

Mereka tak hanya menari di satu titik. Di tengah lorong sempit, halaman kantor kelurahan, atau pelataran taman kota, para penari berpindah, menebar tarian, memancing interaksi dengan warga

Dia menceritakan, sejak pukul 19.00 malam sebelumnya, gerakan tubuh tak pernah berhenti. Tak ada panggung tinggi, hanya lantai semen dan memancing kerumunan warga yang penasaran.

Seorang penari muda, Sarah Bolusi, 16 tahun, datang jauh-jauh dari Indramayu. Di sela istirahat, ia bercerita mengenai warna-warni kegiatan tersebut. “Kami menari sambil mengajak warga ikut menari juga. Semoga seni tari makin dikenal dan dilestarikan,” ujarnya.

Sarah membawakan gerakan dari kesenian berokan, tarian khas tanah kelahirannya yang mengeksplorasi kekuatan tubuh dan ekspresi magis. Tarian yang ditampilkan pun beragam.

Deden menjelaskan, ada yang mengeksplorasi gerakan silat, lainnya mengangkat tradisi lokal dari masing-masing daerah. Tak ada batas antara panggung dan penonton.

Sesekali, anak-anak kampung ikut menari, menirukan gerak para penari, tertawa, lalu bertepuk tangan. Acara ini bukan semata soal pertunjukan.

Bagi Deden dan komunitasnya, ini adalah bentuk peringatan terhadap abainya ruang publik terhadap seni. Dia ingin tari hadir langsung di tengah masyarakat, bukan hanya sebagai tontonan, tapi juga perayaan.

“Harapannya masyarakat tahu bahwa seni tari itu punya hari jadi. Dan mereka ikut merayakannya,” pungkasnya.

No comments