Ketika Negara Belajar Menyambut
Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenpar Hariyanto tak henti menyusun siasat dan menata wajah wisata Indonesia. "Destinasi bernama Ramah," katanya.
Oleh: Doddi Ahmad Fauji*)
Ada banyak cara
membangun sebuah negeri. Sebagian memilih jalan industri. Sebagian lagi
mengandalkan tambang, atau megaproyek infrastruktur. Tapi ada satu jalan yang
kerap dilupakan—jalan yang tak selalu diukur dengan angka ekspor atau volume
kontainer, tapi dengan sapaan ramah, cerita warga, dan jejak kaki orang asing
yang pulang dengan hati penuh kenangan. Itu adalah jalan pariwisata.
Indonesia, dengan
ribuan pulaunya, bukan hanya diberkahi alam yang memesona, tapi juga masyarakat
yang secara alamiah tahu cara menyambut tamu. Namun dalam sistem yang
terburu-buru dan birokrasi yang kadang kaku, nilai-nilai itu kadang terkikis.
Di sinilah peran seorang seperti Hariyanto, Deputi Bidang Pengembangan
Destinasi dan Infrastruktur di Kementerian Pariwisata, menjadi penting.
Saya menemuinya dalam
suasana yang jauh dari formal. Tak ada tumpukan dokumen. Tak ada seliweran
pejabat bersetelan lengkap. Hanya ruang terang, pemandangan taman, dan
secangkir kopi hitam dari desa wisata yang ia kunjungi minggu sebelumnya.
Yang terjadi
selanjutnya bukan sekadar wawancara. Tapi percakapan tentang arah, tentang
nilai, dan tentang wajah Indonesia yang ingin ditampilkan ke dunia. Bukan wajah
metropolitan yang seragam. Tapi wajah desa, wajah pelabuhan kecil, wajah
penjaja rujak di pinggir pantai, dan wajah ibu-ibu yang menyambut tamu dengan tangan
hangat dan hati terbuka.
Melalui enam bagian
berikut, esai ini mencoba menangkap bukan hanya isi kepala Hariyanto, tetapi
juga denyut idealisme dan kesabaran seorang pejabat yang percaya bahwa
pembangunan sejati dimulai dari senyum—bukan semen. Bahwa teknologi boleh
memandu arah, tetapi manusia yang menentukan makna. Dan bahwa pariwisata, jika
dibangun dengan hati, bisa menjadi jembatan antara sejarah dan masa depan,
antara desa dan dunia, antara bangsa dan dirinya sendiri. Inilah catatan dari
perbincangan panjang kami. Ia bisa dibaca sebagai wawancara. Bisa juga sebagai
esai. Tapi barangkali, paling tepat dibaca sebagai undangan: untuk melihat
kembali cara kita menyambut orang lain—dan mungkin, juga menyambut diri
sendiri.
*****
Ada luka yang tak
selalu membekas di kulit, tapi terasa dalam pada denyut ekonomi dan budaya
sebuah pulau. Bali 2002 adalah satu dari sedikit tragedi yang menguji bukan hanya
keamanan nasional, tapi daya tahan spiritual sebuah bangsa. Ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club menghapus ratusan nyawa, tetapi juga memukul telak satu
sektor: pariwisata. Yang biasanya riuh oleh bahasa asing, mendadak sunyi. Hotel
jadi kosong. Warung-warung tutup. Ekonomi pariwisata roboh.
Hariyanto mengisahkan
momen itu bukan dengan dramatik, tapi dengan sebuah kalimat yang jernih: “Kami
tak hanya kehilangan wisatawan. Kami kehilangan rasa percaya.”
Di titik itu,
pemerintah tak hanya membenahi infrastruktur. Mereka memulai sesuatu yang lebih
subtil: membenahi relasi. Lewat arahan Menteri I Gede Ardika, masyarakat Bali
diajak untuk mengubah cara pandang. Bahwa wisatawan Nusantara tak kalah mulia
dari turis Eropa. Bahwa hormat tak boleh selektif.
Seruan ini bukan
sekadar slogan. Pemerintah memindahkan agenda nasional ke Bali sebagai bentuk
solidaritas. Insentif untuk warga lokal digencarkan. Tapi yang paling penting:
masyarakat Bali menyambut dengan hati yang lebih lapang. Wisatawan domestik
kini tak sekadar disambut, mereka dihormati.
“Perubahan itu,” kata
Hariyanto, “membuat kami sadar: pariwisata bukan sekadar produk, melainkan
hubungan sosial.”
Di tengah gempuran
industri global dan budaya instan, Indonesia memilih arah unik: membangun
kembali dari simpul-simpul sosialnya. Ini adalah pelajaran bahwa trauma bisa
jadi titik awal. Dan pemulihan tak hanya soal uang atau infrastruktur, tapi
soal martabat dan tata nilai.
Kisah ini menjadi titik
berangkat dari pendekatan pariwisata Indonesia pasca 2002. Bukan lagi hanya
menjual panorama dan eksotisme, tapi menawarkan pengalaman yang manusiawi.
Karena turis sejatinya datang bukan untuk sekadar melihat, tapi untuk merasa:
disambut, dimuliakan, dimanusiakan.
Hariyanto menyebut
tragedi itu sebagai “kursus kilat kemanusiaan.” Ia mengenang bagaimana
anak-anak muda Bali belajar menyambut dengan lebih ramah, bagaimana pemilik
penginapan kecil tak lagi mengeluh soal “bule yang tak datang,” tapi bersyukur
pada keluarga dari Solo yang menginap dua malam.
Peristiwa itu menandai
titik balik, yang kemudian menjadi landasan arah baru: wisata berbasis nilai.
Dan nilai yang utama, menurut Hariyanto, adalah kesetaraan.
Hari ini, ketika ia
berbicara tentang pembangunan destinasi, ia selalu kembali pada cerita itu.
Bagi dia, puncak pembangunan bukanlah bandara megah atau hotel bintang lima.
Tapi saat seorang ibu di desa menyambut turis—entah dari Jerman atau dari
Blitar—dengan air putih, makanan hangat, dan senyum yang jujur.
“Kalau kita sudah bisa
menghargai setiap tamu, tanpa lihat warna kulit atau bahasa, di situlah
pariwisata Indonesia jadi kuat,” ujarnya.
Bali 2002 mengajarkan
kita: tempat bisa rusak, tapi nilai bisa menyelamatkan. Dan dari luka itulah,
kita belajar membangun—bukan hanya infrastruktur, tapi cara kita memandang
orang lain.
*****
Di sebuah pertemuan
teknokratik yang biasanya kaku, Hariyanto pernah membalikkan suasana hanya
dengan satu pertanyaan: “Apakah Anda ingat wajah dari tempat terakhir yang Anda
kunjungi, atau hanya jumlah follower yang menyukai fotonya?”
Ruangan mendadak sunyi,
lalu perlahan orang mulai tersenyum. Karena pertanyaan itu, meski ringan,
menggugah inti dari paradigma baru yang sedang coba dibangun Kemenpar: bahwa
pengalaman jauh lebih berarti dari angka.
Sejak 2020, pandemi
telah merombak cara manusia bepergian. Turisme massal, yang dulu jadi tolok
ukur kesuksesan—berapa juta orang yang datang, berapa miliar yang
dibelanjakan—tiba-tiba terasa rapuh. Pariwisata jadi sektor yang pertama kali
tumbang dan terakhir bangkit. Tapi dari reruntuhan itu, sebuah peluang lahir:
membangun ulang, bukan sekadar dengan target kuantitatif, tapi dengan filosofi.
“Quality tourism bukan jargon,” tegas Hariyanto. “Itu strategi. Itu
niat untuk tidak lagi mengejar angka semata, melainkan membangun relasi, ekosistem,
dan nilai jangka panjang.”
Ia berbicara dengan
gairah ketika menjelaskan bagaimana sektor ini kini diarahkan untuk menyentuh
tiga pilar utama: keberlanjutan lingkungan, pelibatan komunitas, dan
peningkatan kualitas pengalaman wisatawan. Di bawah visi Presiden Prabowo,
pemerintah menargetkan kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB sebesar 4,6% pada
2025, dan USD 34 miliar devisa pada 2029. Namun angka-angka itu, katanya, hanya
kulit luar.
Yang menjadi jiwa
kebijakan ini adalah perubahan cara berpikir: dari membangun tempat, menjadi
membangun makna.
Contohnya adalah
pendekatan pada wisata bahari. Dulu, lokasi diving hanya jadi daftar spot dalam
brosur. Kini, setiap titik selam dikaji nilai konservasinya, diawasi
keberlanjutan terumbu karangnya, dan komunitas lokalnya diberdayakan sebagai
pemandu bersertifikat. “Kami ingin wisatawan pulang membawa pengalaman
spiritual, bukan hanya hasil jepretan kamera underwater,” ujarnya.
Hal serupa diterapkan
pada gastronomi. Makanan bukan sekadar pelengkap, tapi narasi budaya.
Pemerintah mendorong pelatihan kuliner tradisional, promosi makanan lokal di
festival internasional, dan integrasi kisah-kisah rakyat ke dalam penyajian.
Wisatawan tak hanya kenyang—mereka paham.
Maka tak heran jika
kini pendekatan Kemenpar terasa sangat berbeda. Dalam penilaian program, hal-hal
seperti durasi tinggal, interaksi dengan masyarakat, hingga tingkat kepuasan
terhadap keramahan lokal menjadi indikator penting. Keberhasilan destinasi
tidak diukur dari seberapa cepat penuh saat libur panjang, tetapi seberapa
sering orang ingin kembali meski tak ada promosi.
“Kalau tempatmu bisa
membuat orang menyesal saat meninggalkan, itu baru destinasi,” ujar Hariyanto,
sambil tertawa kecil.
Bagi dia, kualitas
bukan soal eksklusivitas. “Quality
tourism bukan hanya untuk turis asing yang bayar mahal. Bahkan wisatawan
lokal pun berhak mendapat pengalaman terbaik, terhormat, dan berarti.”
Dan dalam
pengalamannya, wisatawan yang bahagia tak selalu bicara soal fasilitas. Mereka
bicara tentang percakapan hangat dengan penjaga museum tua. Tentang sarapan
pagi di dapur warga. Tentang mendengar cerita masa kecil dari pemilik homestay.
Semua itu, katanya,
adalah investasi paling berharga dalam pembangunan destinasi: keintiman yang
tak bisa dinilai dengan grafik atau grafik Excel.
*****
Ketika saya menyebut
kata “desa,” Hariyanto tak menunggu lama untuk merespons. “Desa adalah tempat
kita kembali dan tempat Indonesia bisa melompat,” katanya, sambil menekankan
bahwa masa depan pariwisata Indonesia bukan di kota besar atau megaproyek
reklamasi, melainkan di lorong-lorong kecil yang penuh cerita dan senyum jujur.
Dalam berbagai forum
nasional, ia tidak bosan menyerukan satu gagasan penting: bahwa desa bukan
hanya latar belakang eksotisme, tapi aktor utama pembangunan. “Kalau kamu ingin
tahu wajah Indonesia yang sesungguhnya, pergilah ke desa,” ujarnya. “Di sana
kita bisa menemukan bukan hanya keindahan, tapi makna.”
Program Anugerah Desa
Wisata Indonesia (ADWI) menjadi bukti konkret dari keyakinan itu. Sejak
diluncurkan, ADWI bukan hanya kompetisi. Ia adalah katalis—pemicu kebangkitan
ekonomi lokal yang berbasis budaya dan keterlibatan warga. Dari ribuan desa
yang mendaftar, ratusan telah dibina, dilatih, bahkan difasilitasi untuk masuk
ke dalam ekosistem digital pariwisata nasional.
Namun bagi Hariyanto,
nilai program ini tak berhenti pada data. Ia bercerita tentang satu desa di
Sulawesi yang dahulu tak punya sinyal internet dan kini justru menjadi
destinasi bagi digital nomad karena keunikan budaya dan keramahan warganya. Tentang
anak muda yang pulang dari kota bukan untuk mencari kerja, tapi untuk membuka
paket wisata. Tentang ibu-ibu yang dulunya hanya menjahit untuk tetangga, kini
produknya masuk ke etalase bandara.
“Desa itu laboratorium
masa depan,” ujarnya. “Di sana kita bisa uji coba pariwisata regeneratif—yang
menjaga budaya, memberdayakan ekonomi, dan melindungi lingkungan.”
Salah satu transformasi
kunci yang kini didorong adalah konversi Pokdarwis menjadi koperasi wisata. Ini
bukan sekadar pengubahan bentuk kelembagaan, tetapi penguatan struktur ekonomi.
Sebuah Pokdarwis biasanya berbasis semangat gotong royong, tapi tanpa model
bisnis yang kuat, mereka sering rentan terhadap ketergantungan dana hibah.
Dengan menjadi koperasi, mereka bisa mengakses pembiayaan, membentuk unit
usaha, dan memberikan dividen ke anggota.
Namun tantangan
terbesar, kata Hariyanto, tetaplah soal pola pikir. “Masih banyak yang
menganggap desa itu tempat menunggu bantuan. Kami ajak mereka untuk jadi
kreator, bukan penerima.”
Itu sebabnya, selain
infrastruktur dan promosi, program pendampingan jadi kunci. Pelatihan literasi
digital, manajemen keuangan, pembuatan paket wisata, hingga storytelling budaya
dilakukan hampir setiap bulan. Dan semua itu diarahkan bukan untuk membentuk
desa menjadi replika kota, melainkan agar desa tetap menjadi dirinya—dengan
keaslian dan keunikannya.
Baginya, desa tak boleh
kehilangan identitas hanya demi mengejar estetika turisme. “Kalau kamu sulap
desa jadi seperti resort, kamu hanya dapat wisatawan, tapi kehilangan jiwa,”
katanya tajam.
Di akhir percakapan
kami tentang desa, ia mengambil ponsel dan memperlihatkan foto: seorang kakek
sedang memandu wisatawan menyusuri sawah, sambil bercerita tentang legenda lokal.
“Ini bukan aktor. Ini tokoh nyata. Dan inilah pariwisata yang saya
perjuangkan—di mana warga menjadi pencerita, bukan dekorasi.”
Desa, dalam bayangan
Hariyanto, adalah titik pijak untuk membumi dan titik lompat untuk menatap
dunia. Bukan hanya untuk turis, tapi untuk Indonesia sendiri—agar ingat
darimana ia berasal, dan tahu ke mana ia ingin menuju.
*****
Suatu hari, dalam
sebuah kunjungan ke desa wisata di Kalimantan Tengah, Hariyanto melihat sesuatu
yang ia anggap lebih penting dari jalan beton atau jembatan gantung: seorang
ibu tua menyapa rombongan wisatawan dengan tangan terbuka, mata berbinar, dan
tawa yang tak dibuat-buat. Tidak ada papan sambutan, tidak ada dekorasi mewah.
Hanya sebuah pelukan budaya yang tak terlihat, tapi terasa hangat.
“Mereka mungkin datang
karena ingin lihat orangutan. Tapi mereka pulang karena keramahan ibu itu,”
katanya sambil tersenyum.
Itulah mengapa,
menurutnya, membangun destinasi tidak bisa hanya dengan membangun bandara,
resort, atau pusat oleh-oleh. “Semua itu penting, iya. Tapi bukan itu yang
membuat orang ingin kembali,” ujarnya. “Yang membuat orang kembali adalah rasa
diterima.”
Maka tak heran jika
Kemenpar mengarusutamakan pendidikan karakter pariwisata. Program seperti Sadar
Wisata dan Sapta Pesona bukan hanya kampanye. Mereka adalah proses panjang
menanamkan kesadaran kolektif bahwa setiap warga, setiap pelayan warung, tukang
ojek, atau anak-anak kecil yang bermain di pinggir jalan, adalah bagian dari
ekosistem pariwisata. Mereka semua tuan rumah.
“Senyum, kebersihan,
keramahan, rasa aman, dan suasana damai adalah modal utama. Tanpa itu, bandara
sebesar apapun tak akan menyelamatkan destinasi dari kehampaan.”
Hariyanto bahkan
menyebut program Gerakan Wisata Bersih sebagai revolusi diam-diam. Ia tidak
datang dengan proyek jutaan dolar, tetapi dengan sapu lidi, tempat sampah, dan
ajakan mulut ke mulut. Hasilnya? Pantai-pantai yang dulu penuh sampah kini jadi
tempat syuting sinetron. Jalan desa yang dulu becek, kini dihias mural hasil karya
anak-anak lokal.
Dan yang terpenting:
warga mulai bangga.
“Ketika masyarakat
merasa bahwa mereka adalah bagian dari destinasi, mereka akan menjaganya. Bukan
karena disuruh, tapi karena cinta,” ujarnya.
Ia mengutip satu survei
internal: tingkat kepuasan wisatawan terhadap keramahan lokal meningkat tajam,
bahkan lebih tinggi dari penilaian terhadap fasilitas. Ini membuktikan,
katanya, bahwa manusia tetap mencari pengalaman emosional di tengah dunia yang makin
mekanis.
Dalam paradigma baru
Kemenpar, senyum bukanlah aksesori. Ia adalah infrastruktur sosial. Bandara
bisa rusak. Jalan bisa bolong. Tapi sapaan hangat, keramahan, dan penghormatan
tak bisa diganti oleh teknologi.
“Yang harus kita bangun
adalah narasi: bahwa setiap tamu yang datang ke Indonesia adalah tamu yang
dimuliakan, tak peduli apakah dia membayar jutaan atau hanya naik motor dari
kota sebelah.”
Sebuah negara bisa
punya 10.000 destinasi, tetapi jika tak punya manusia yang siap menyambut, semua
itu hanya latar kosong. “Senyum adalah pernyataan niat,” katanya. “Bahwa kita
bukan sekadar ingin dikunjungi. Kita ingin dikenang.”
Bagi Hariyanto, inilah
bentuk pariwisata tertinggi: bukan sekadar kedatangan, melainkan keterikatan.
Dan dalam dunia yang serba cepat dan anonim, Indonesia masih punya satu hal
yang otentik—sambutan yang hangat dan tulus.
*****
Dalam perbincangan
kami, topik yang paling cepat mengubah nada suara Hariyanto adalah soal
teknologi. Ia tidak menampik pentingnya inovasi—malah, ia menyambutnya dengan
antusias. Tapi ia juga mengingatkan: teknologi tidak boleh jadi alasan untuk
meninggalkan kemanusiaan.
“Boleh pakai AI, boleh
bikin virtual tour,” katanya. “Tapi
jangan sampai kita lupa bahwa di balik semua itu, wisata adalah relasi manusia
dengan manusia.”
Itulah mengapa
pendekatan Kemenpar terhadap digitalisasi pariwisata tidak hanya soal membangun
aplikasi canggih, tetapi soal bagaimana teknologi menjembatani ketulusan.
“Kalau teknologi malah bikin wisatawan merasa dingin, berarti kita keliru dalam
memakainya,” ujarnya.
Salah satu proyek
ambisius yang ia banggakan adalah SISPARNAS (Sistem Informasi Kepariwisataan
Nasional). Ini bukan sekadar dashboard
digital. Ia adalah semacam nadi elektronik yang mengumpulkan data pariwisata
dari seluruh Indonesia secara real-time.
Dengan sistem ini, pemerintah pusat bisa mengetahui tren wisata, arus
kunjungan, hingga kekuatan daya saing suatu daerah.
Namun bagi Hariyanto,
data hanyalah alat bantu. “Kami tetap harus datang ke lapangan, bicara dengan
warga, merasakan denyut desa. Algoritma tak bisa mencium aroma dapur ibu-ibu di
desa wisata,” katanya dengan senyum reflektif.
Teknologi juga
digunakan untuk meningkatkan literasi pelaku wisata. Pelatihan digital
marketing, pencatatan keuangan digital, bahkan pengelolaan reservasi secara
daring kini menjadi kurikulum wajib di program pendampingan desa wisata.
Ia mencontohkan seorang
pemuda di Nusa Tenggara Timur yang dulunya hanya jadi tukang ojek. Setelah ikut
pelatihan, ia membuka paket tur lewat Instagram dan WhatsApp. “Sekarang, dia
punya tiga motor, dua karyawan, dan bahkan disewa oleh travel agent dari
Australia,” kisahnya.
Inilah esensi yang ia
maksud: teknologi harus melipatgandakan nilai manusia, bukan menghapus perannya.
Dalam konteks promosi,
teknologi juga jadi senjata baru. Pemerintah mulai memakai AI untuk
menganalisis preferensi wisatawan. Misalnya, dari data pencarian dan aktivitas
media sosial, sistem bisa merekomendasikan promosi spesifik untuk target
tertentu: selancar untuk anak muda, wisata spiritual untuk manula, atau kuliner
halal untuk wisatawan Muslim.
Tapi meski sudah bicara
data besar dan kecerdasan buatan, Hariyanto tetap kembali pada hal-hal kecil.
“AI bisa tahu kamu suka sunset. Tapi hanya manusia yang bisa tahu kenapa kamu
menangis saat melihatnya,” ujarnya.
Virtual
reality (VR) dan augmented
reality (AR) pun kini mulai digunakan. Turis bisa menjelajah Borobudur
lewat ponsel sebelum datang langsung. Museum bisa menghadirkan sejarah lewat
pengalaman imersif. Tapi di setiap inovasi itu, prinsipnya tetap sama: jangan
sampai teknologi menjadi pengganti interaksi, melainkan pengantar rasa
penasaran yang membawa orang untuk bertemu langsung.
Bagi Hariyanto,
teknologi adalah pintu, bukan ruang tamu. Ia membuka jalan, tapi yang menyambut
tetap manusia.
Dan di dunia yang makin
tenggelam dalam gawai, ia percaya: senyum hangat, cerita lisan, dan kehadiran
nyata akan jadi komoditas langka yang paling dicari. “Teknologi harus
memperkuat empati,” katanya. “Kalau tidak, kita hanya akan punya pameran
digital dari negeri yang sudah lupa cara menyambut tamu.”
*****
Ketika saya menutup
buku catatan dan memandang ke luar jendela ruang kerja Hariyanto, awan Jakarta
menggantung rendah seperti menggoda satu pertanyaan terakhir. Maka saya
ajukan—bukan dalam bentuk strategi atau angka, tapi dalam bentuk perenungan:
"Menurut Bapak,
siapa yang sebenarnya butuh wisata?"
Hariyanto diam sejenak,
lalu menjawab dengan lirih, nyaris seperti menjawab dirinya sendiri, “Kita
semua.”
Pertama, kata dia,
wisata bukan hanya soal rekreasi atau pengeluaran uang. Wisata adalah ruang
jeda—tempat manusia berhenti sejenak dari rutinitas, dari layar, dari berita
buruk, dan dari segala tekanan hidup. Tapi lebih dari itu, wisata adalah proses
mengenali diri lewat orang lain, dan mengenali negeri lewat warganya.
Ia percaya bahwa wisata
adalah jalan sunyi yang penuh cermin. “Ketika kita jalan ke desa lain, kita
seperti mengunjungi potongan jiwa Indonesia yang lain. Kita belajar rendah
hati, belajar melihat bahwa yang berbeda bukan berarti salah.”
Maka, bagi Hariyanto,
pembangunan pariwisata bukan hanya soal mendatangkan wisatawan, melainkan juga
mengajak warga negeri ini mengenal dirinya sendiri. Desa yang dibuka untuk
kunjungan bukan sekadar objek, melainkan panggung tempat warga tampil percaya diri—menceritakan
sejarah mereka, menyuguhkan makanan mereka, dan menampilkan cara mereka
menyambut hidup.
“Pariwisata yang baik
tak hanya membuat tamu bahagia, tapi juga membuat tuan rumah merasa berarti,”
katanya. Itulah mengapa ia sering mengatakan: dalam pariwisata, yang tumbuh
bukan hanya ekonomi, tapi martabat.
Ketika pariwisata
dibangun dengan pola pikir yang benar, desa tak lagi menunggu bantuan. Mereka
menjadi produsen narasi dan pelaku perubahan. Ketika wisatawan diposisikan
sebagai tamu dan bukan konsumen, hubungan yang tercipta lebih dalam dari
sekadar transaksi. Di sanalah terletak inti dari pembangunan manusia.
Hariyanto juga melihat
wisata sebagai jembatan antara generasi. Anak-anak muda yang biasanya tak
tertarik pada sejarah lokal tiba-tiba jadi pemandu yang bangga menceritakan
kisah kakeknya. Remaja yang dulunya ingin lari ke kota, kini belajar menyanyi
lagu daerah dan mengunggahnya ke TikTok. Dan para orang tua, yang tadinya malu
karena hanya bisa bahasa daerah, justru kini jadi kekayaan budaya yang
dilestarikan. Tampaknya, kejadian nyata tentang alamiahnya warga di tiap
pelosok pedesaan, sejalan dengan prediksi John Naisbit dalam bukunya Paradoks Global: Semakin Besar Ekonomi
Dunia, Semakin Kuat Pemain Terkecilnya . William Morrow & Company,
Inc., 1994.
“Pariwisata yang benar
adalah dialog lintas usia, lintas pulau, dan lintas hati,” katanya pelan.
Dalam kata-katanya,
terdengar satu hal yang jarang diucapkan dalam seminar ekonomi atau laporan
proyek: bahwa wisata bisa menyembuhkan. Menyembuhkan keterasingan sosial,
menyambung identitas yang tercerai, bahkan menyalakan harapan yang redup.
“Mungkin sebenarnya
yang paling butuh wisata adalah bangsa ini sendiri,” tutupnya. “Agar kita bisa
saling melihat, saling menghargai, dan akhirnya—saling mencintai.”
*****
Bergabung dengan
institusi kepariwisataan sejak tahun 2002 pada Badan Pengembangan Kebudayaan
dan Pariwisata (BP Budpar), yang beberapa kali berganti
nomenklatur hingga saat ini menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf); setelah
sebelumnya tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) sejak tahun 1986, jam terbang Hariyanto di
bidang kepariwisataan cukup panjang. 23
dari 37 masa PNS-nya.
Menyelesaikan pendidikan S1 Administrasi Negara sebagai Mahasiswa Tugas Belajar LAN-RI, S2 Magister Pemasaran di STIM-LPMI Jakarta, karir Haryanto banyak berkutat di bidang perencanaan. Mulai dari eselon 4 sebagai Kasubbag Perencanaan dan Program; eselon 3 sebagai Kabag Perencanaan dan Hukum, serta Kabag Perencanaan dan Kerjasama pada Ditjen Nilai Budaya, Seni dan Film; berlanjut sebagai Kabag Penganggaran di Biro Perencanaan.
Berikutnya ia beralih pada substansi kepariwisataan dengan mendapat kepercayaan sebagai Kabid Promosi Wisata Bahari pada Deputi Bidang Pemasaran Nusatara. Selanjutnya sebagai Plt. Asisten Deputi Strategi Pemasaran Pariwisata Nusantara, Asdep Strategi dan Komunikasi Pemasaran I, Sekretaris Deputi Bidang Kebijakan Strategis; dan terakhir mendapat kepercayaan menangani substansi ekonomi kreatif sebagai Direktur Infrastruktur Ekonomi Kreatif pada Kedeputian Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur.
Ia juga memiliki pengalaman sebagai tim nominasi UNESCO – Intangible Cultural Heritage (UNESCO – ICH) dan hadir pada sidang-sidang UNESCO di Paris, sidang penetapan Batik Indonesia di Abu Dhabi, UEA (2009), Angklung Indonesia di Nairobi, Kenya (2010), dan turut memperjuangkan Indonesia sebagai tuan rumah sidang UNESCO – ICH di Bali, Indonesia sekaligus penetapan Tari Saman (2015). Selain itu juga pernah aktif dalam berbagai kegiatan misi diplomasi dan promosi kebudayaan dan pariwisata ke berbagai negara di Asia termasuk Korea Utara, Libanon, Suriah, dll., Australia, Afrika, Eropa, dan Amerika.
![]() |
Bersama penulis di sebuah acara, sekaligus salah satu sesi wawancara (2025) |
Ada satu hal yang tak
bisa dibeli oleh promosi miliaran rupiah, atau dibangun oleh megaproyek
bertahun-tahun: rasa diterima. Dan dalam pembicaraan panjang bersama Hariyanto,
saya belajar bahwa itulah kunci dari pariwisata yang benar-benar bermakna.
Bukan sekadar soal kunjungan, tetapi soal keterikatan. Bukan hanya angka di
dashboard kementerian, tetapi kesan yang tinggal di hati seorang tamu.
Ketika pariwisata
dibangun di atas nilai—kesetaraan, keramahan, kebersihan, rasa hormat, dan
kebanggaan lokal—ia tak hanya menjadi sektor ekonomi. Ia menjadi ruang
perjumpaan. Ruang di mana orang kota belajar kembali menyapa, orang desa
belajar percaya diri, dan bangsa ini belajar merayakan dirinya sendiri, bukan
lewat imitasi, tapi lewat keaslian.
Hariyanto tidak
menjanjikan jalan yang mudah. Ia tahu ada tantangan—ketimpangan, birokrasi, SDM
yang belum siap, bahkan budaya instan yang membanjiri media sosial. Tapi ia
percaya pada satu hal yang tetap: warga yang siap menjadi tuan rumah.
Dalam dunia yang makin
tidak personal, Indonesia masih punya kelebihan yang tidak bisa ditiru oleh
negara mana pun: kebudayaan menyambut. Senyum. Sapa. Cerita. Kain tenun yang
dibuka di teras. Makanan sederhana yang disajikan dengan bangga. Semua itu
bukan hanya elemen wisata. Itu adalah wajah Indonesia.
Dan barangkali, di
situlah esensi pariwisata Indonesia yang sedang dibangun oleh tangan-tangan
seperti Hariyanto. Sebuah pembangunan yang tidak sekadar menata ruang, tetapi
juga menata hati. Sebuah kemajuan yang tidak meninggalkan akar, melainkan
menyiraminya.
Jadi jika suatu hari
Anda menginjakkan kaki di sebuah desa kecil, lalu disambut oleh seorang kakek
yang menceritakan legenda sungai sambil menyodorkan teh hangat, jangan
buru-buru mengira Anda hanya sedang berwisata.
Mungkin, Anda sedang
menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: upaya satu bangsa untuk mengenali
dan mencintai dirinya sendiri—melalui cara ia menyambut orang lain.
Bandung, 2025
*) Sastrawan cum
wartawan. Esei ini merupakan hasil wawancara panjang penulisnya dengan
Hariyanto.
No comments