TERBARU

Kerusuhan Nepal 2025 & Marhaenisme 2045: Netizen vs Citizen


Oleh: Syarif Bastaman*)

Nepal adalah cermin retak dari wajah dunia hari ini. Elite politik yang sibuk flexing, bermewah-mewah, dan mengabaikan penderitaan rakyat akhirnya dipaksa menghadapi murka massa. Mereka yang disebut nepo boy hanyalah simbol kekuasaan yang tercerabut dari akar sosialnya. Negeri itu terbakar bukan semata oleh api fisik, tetapi oleh api kemarahan rakyat yang selama ini dihina ketidakadilan.

Fenomena serupa muncul di banyak tempat, dari Amerika hingga Bangladesh, dari Malaysia hingga Amerika Latin. Polanya sama, rakyat kehilangan kepercayaan, elite kehilangan wibawa. Gedung-gedung bisa dibakar, rumah pejabat bisa dijarah, tetapi yang sesungguhnya hancur adalah kontrak sosial antara warganet/citizen (siti) dan pemerintahnya. Saat negara tidak lagi melindungi rakyat, rakyat pun berhenti melindungi negara.

Yang khas dari zaman ini adalah peran penduduk/netizen (neti). Rakyat maya yang menghuni ruang digital kini menjadi kekuatan baru. Neti bisa memanggil massa, bisa menggerakkan solidaritas, bahkan bisa melumpuhkan rezim. Dunia siti yang berbasis teritorial mulai terdesak dunia neti yang berbasis jaringan. Dalam konflik Nepal kemarin, seperti juga di negara-negara lain, media sosial menjadi titik kumpul. Netizen bukan lagi sekadar pengamat, tetapi penggerak.

Bila kita memakai kaca mata Marhaenisme, fenomena ini adalah tanda bahwa rakyat kecil menemukan wadah baru bersatu. Bung Karno pernah mengajarkan bahwa kekuatan sejati bangsa bukan terletak pada elite, tetapi pada rakyat jelata yang saling menopang. Netizen adalah wajah baru dari marhaen, bukan lagi Mang Aen dengan cangkul di sawah, tetapi jutaan akun yang saling terhubung dengan smartphone di tangan. Mereka punya solidaritas sendiri, punya bahasa sendiri, punya nilai sendiri.

Konflik antara neti dan siti bukan sekadar benturan generasi. Ia adalah pertarungan antara hari ini yang masih kemarin melawan hari ini yang sudah esok. Antara kekuasaan lama yang bertahan dengan pola KKN melawan kesadaran baru yang menuntut transparansi. Antara birokrasi yang lamban melawan jejaring yang cair. Antara simbol-simbol kosong melawan nilai yang relevan.

Marhaenisme di era digital tidak lagi bisa berhenti pada retorika. Ia harus mengakui bahwa rakyat kini hidup di dua dunia sekaligus: dunia nyata dan dunia maya. Kedua dunia itu tidak terpisah, tetapi saling memengaruhi. Apa yang viral di neti bisa mengguncang siti. Apa yang salah di siti bisa segera dibongkar neti. Maka, pemimpin yang gagal memahami dinamika ini akan ditinggalkan, bahkan ditumbangkan.

Nepal juga memperlihatkan sisi lain yang penting: kerinduan rakyat pada kepemimpinan yang bijak dan agung, bahkan pada model kerajaan yang dianggap mampu menjaga harmoni sosial. Artinya, sosialisme tidak cukup diformalkan dalam partai, melainkan harus menjadi budaya yang hidup. Gotong royong bukan jargon tetapi laku sehari-hari. Tanpa itu, demokrasi hanya akan melahirkan elite-elite serakah.

Keserakahan adalah racun yang menghancurkan bangsa. Serakahnomics, istilah yang kini kerap diucapkan Presiden Prabowo, tepat menggambarkan wajah ekonomi dan politik yang timpang. Sumitro Djojohadikusumo, ayahnya, sejak lama mengingatkan bahaya ketimpangan sosial, dan kini kita melihat bagaimana jurang itu melebar.  Hari ini, ketimpangan itu nyata di depan mata: segelintir orang hidup seperti raja, sementara rakyat kecil harus berjuang sekadar untuk bertahan. Banyak puncak kekayaan menjulang, tetapi lembah kumuh makin dalam. Nasionalisme dan sosialisme, dua pilar awal bangsa, justru tergeser demokrasi liberal yang serba transaksional.

Demokrasi liberal dengan logika one man one vote memang cocok bagi bangsa individualistik seperti Amerika, yang dibangun dari sejarah penaklukan para pendatang. Tetapi bagi Indonesia yang bertumbuh dari gotong royong, sistem ini sering hanya melahirkan politik uang. Pemimpin lahir bukan karena integritas, melainkan karena popularitas dan modal. Mereka merasa jabatan adalah hasil usaha pribadi, bukan amanah rakyat. Jangan heran bila kepedulian sosial hilang dari wajah kekuasaan.

Marhaenisme menolak logika seperti itu. Ia menegaskan kembali bahwa jabatan adalah titipan, bukan investasi. Bahwa kekuasaan adalah pengabdian, bukan laba. Bahwa sosialisme harus menjadi denyut hidup bangsa, bukan sekadar nama partai. Demokrasi yang sehat bukanlah kompetisi modal, melainkan musyawarah yang berakar pada nilai kebersamaan.

Di sisi lain, generasi baru memberi harapan. Z dan milenial lebih peduli pada keberlanjutan, lebih menolak eksploitasi bumi, lebih terbuka pada kolaborasi. Mereka menolak warisan jargon growth and exploitation yang membakar habis sumber daya tanpa peduli masa depan. Mereka mulai bicara tentang sustainability dan collaboration, tentang hidup yang mandiri sekaligus berbagi.

Jika bangsa ini ingin bertahan, kita harus berani mengubah akar sistem politik kita. Rekrutmen kepemimpinan harus kembali berbasis moralitas, bukan uang. Gotong royong harus menjadi etika digital, bukan sekadar nostalgia lisan. Netizen dan citizen harus bertemu dalam semangat Marhaenisme, bukan saling menghancurkan.

Apabila kita ingin menyongsong Indonesia 2045 yang adil dan makmur, kita harus berani mengambil api dari peradaban digital ini, bukan sekadar abunya. Api solidaritas, api gotong royong, api kesadaran baru. Kita harus meninggalkan glembuk politik yang penuh tipu daya, dan memilih kredit sosial yang berbasis kepercayaan. Hanya dengan begitu, bangsa ini bisa menatap esok dengan martabat.


Tak Sekedar Gejolak 

Dalam perspektif lainnya, kerusuhan Nepal juga bukan sekadar gejolak politik, tetapi pertarungan nilai dan peradaban. Antara praktik usang yang sarat ketidakadilan dengan dorongan rakyat yang ingin lebih modern, transparan, dan adil. Dari sini kita belajar bahwa sosialisme sejati bukanlah label partai atau ideologi yang diformalkan, melainkan budaya yang hidup dalam denyut keseharian rakyat. Sosialisme adalah gotong royong, ale rasa beta rasa, silih asih, silih asah, silih asuh. Tanpa itu, partai berhaluan apapun hanya akan jadi mesin kekuasaan. Bung Karno sudah menekankan, sosialisme kita bukan salinan dari Eropa atau Uni Soviet, melainkan sosialisme religius yang berpijak akhlak dan kemanusiaan.

Bangsa ini pada dasarnya dibangun di atas dua pilar: nasionalisme dan sosialisme. Nasionalisme memberi arah, sosialisme memberi jiwa. Tetapi hari ini keduanya ditinggalkan demi demokrasi liberal yang semakin liar. Maka wajar bila yang terpilih dari sistem ini sering merasa capaian jabatannya adalah hasil uang dan upaya pribadi, bukan amanah kolektif. Pemimpin semacam ini tidak akan pernah punya sensitivitas sosial kuat. Yang muncul hanya logika investasi: saya sudah keluar biaya, maka saya harus mengembalikan modal. Inilah sumber penyakit politik uang yang tidak kunjung sembuh.

Marhaenisme menuntut pembalikan logika ini. Bahwa jabatan bukan milik pribadi, melainkan titipan rakyat. Bahwa kekuasaan bukan ladang pengembalian modal, melainkan lahan pengabdian. Jadi, sosialisme tidak boleh menjadi jargon, tetapi harus menjelma menjadi kultur yang dirasakan sehari-hari: dalam cara rakyat bekerja, dalam cara mereka berbagi, dalam cara mereka memimpin.

Nepal mengajarkan bahwa tanpa budaya sosialisme, bahkan partai yang menyebut dirinya sosialis pun bisa gagal. Demokrasi yang kehilangan rasa sosial hanya menimbulkan jurang baru antara elite dan rakyat. Indonesia pun bisa terjerumus ke lubang yang sama bila terus mempertahankan pola rekrutmen politik yang semata-mata berbasis uang, popularitas, dan transaksi.

Marhaenisme memberi jalan lain dalam menyongsong 2045. Jalan yang menempatkan rakyat kecil sebagai subyek, bukan obyek. Jalan yang melihat gotong royong sebagai energi, bukan beban. Jalan yang menuntut elite untuk hidup sederhana, bukan memamerkan kemewahan. Jalan yang mengingatkan bahwa kebesaran bangsa tidak hanya terletak pada gedung-gedung tinggi, tetapi pada hati rakyat yang merasa dihargai. Merdeka!


*) CEO Syabas Energy dan mantan Anggota DPR-RI dari PDIP.

No comments