TERBARU

Kapan Pers Menjadi ’’Racun” Demokrasi?

Bagus Santoso [via riaupos]

Bagus Santoso, mahasiswa S3 ilmu politik, praktisi politik dan anggota DPRD Riau

PADA masa Orde Baru sistem pers di Indonesia sengaja didesain seluruh pemberitaannya berpihak kepada penguasa. Bagi media yang mencoba konsisten bertahan dengan etika jurnalistiknya yang mengedapankan kejujuran dan kebenaran, dipastikan tamat riwayatnya. Suara media adalah suara pemerintah, suara pemerintah adalah suara media. 

Pemerintahan yang cenderung korup akan selalu memposisikan media sebagai lawan yang harus dibungkam supaya tidak menyuarakan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Perkembangan politik kemudian menunjukkan, gerakan reformasi tahun 1998 telah menjadi awal kehidupan politik yang lebih bebas, tidak terkecuali kebebasan pers. 

Kebebasan pers berkembang dengan pesat malampaui ruang dan waktu. Pers diharapkan bisa memainkan fungsi dan peran yang jelas dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia. Tetapi apakah dalam proses perkembangannya pers nasional sebagai institusi bisa independen atau sebaliknya menjadi pers partisan? Itulah yang ingin dikritisi dalam tulisan ini.

Dalam proses menjadi kekuatan keempat demokrasi, pers akan selalu berhadapan dengan kekuatan 3P (Penguasa, Pengusaha dan Politisi). Kerakter dan naluri alami setiap penguasa yang selalu ingin mempertahankan dan memperluas kekuasaannya pasti cenderung memanipulasi data. 

Sinergis dengan naluri alami politisi yang cenderung  menggunakan segala macam cara untuk mencari dukungan. Begitu pula naluri alami setiap pengusaha yang selalu ingin mendapatkan keuntungan berlipat dan memperluas usahanya cenderung menggunakan kekuatan uang (suap atau menyogok).

Dalam konteks inilah kekuatan 3P akan selalu mendekati, mengajak, mempengaruhi dan menggiring media dengan imbalan untuk tidak memberitakan kesalahan, kecurangan dan kelicikan dalam mempertahan kekuasaannya bagi penguasa, membesarkan usahanya bagi pegusaha, mendapatkan dukungan bagi politisi.

Lalu bagaimana posisi pers Indonesia menuju Pemilu 2019? Apakah bisa konsisten menjadi pers independen tanpa berpihak kepada salah satu kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan? Atau justru tutup mata menabrak nilai-nilai jurnalistiknya yang harus mengedepankan kejujuran, kebenaran dan keadilan dalam pemberitaan. 

Sekarang tak bisa dipungkiri banyak suara-suara kritikan dari publik menyoroti posisi pers Indonesia menuju Pemilu 2019, khususnya media televisi yang cenderung tidak netral lagi pemberitaannya. Kasus-kasus yang memerlukan pemberitaan terkadang diabaikan kalau bisa merugikan penguasa.

Sementara sejatinya pers (media cetak dan televisi) adalah ketika menjadi instrumen yang sangat penting dalam pengembangan demokrasi. Maksudnya bagaimana media massa itu tetap menjunjung prinsip jurnalisme dalam pemberitaannya dengan menampilkan fakta serta pernyataan secara netral, berimbang, tidak melakukan keberpihakan serta akurat (setiap data dan realitas yang dimunculkan dapat diverifikasi kebenarannya). 

Fungsi idealis pers Indonesia tersebut hanya bisa berlangsung dengan sempurna kalau para pemilik dan pengelolanya bersikap non-partisan (independen) terhadap semua kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan. 



Kalau pers (media cetak dan televisi) sudah berselingkuh dengan kekuatan 3P (Penguasa, Pengusaha, Politisi) untuk tidak menyuarakan kejujuran dan kebenaran atau fakta yang ditemukan dengan merekayasa pemberitaan menyembunyikan kesalahan, kecurangan dan kelicikan 3P, itu berarti media tersebut sudah mengingkari etika juranalistiknya yang harus mengedepankan kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Sementara media yang mengingkari etika jurnalistiknya secara tidak langsung sudah berproses menjadi racun demokrasi, karena etika jurnalistik senapas dengan nilai-nilai dasar demokrasi yang harus selalu mengedepankan kejujuran, kebenaran, keadilan dan transparansi di tengah kehidupan masyarakat. Media seperti inilah yang ikut menjerumuskan masyarakat mengambil keputusan yang salah.

Penulis masalah politik dari Perancis Alexis de Tocquelville menyebut “pers yang bebas sebagai oksigen demokrasi”. Anda tidak bisa membaca surat kabar atau menonton televisi yang sesungguhnya tanpa demokrasi, dan Anda tidak akan bisa punya demokrasi, tanpa kebebasan pers. 

Kalau pendapat Alexis ini dipakai sebagai pisau analisis membedah posisi pers Indonesia (khuususnya media televisi) menuju Pemilu 2019, bisa di justivikasi bahwa media cetak atau televisi yang tidak netral lagi dan nyata-nyata menunjukkan keberpihakan kepada salah satu kelompok kepentingan dalam perebutan kekuasaan, maka media itu sudah berproses menjadi racun demokrasi.* (riaupos)

No comments