TERBARU

Romantisme dan Falasi Memedi Goenawan Mohamad (Bagian 1 dari 6 Tulisan)

Hamid Basyaib, mantan wartawan dan aktivis, kini menjabat sebagai Komisaris Balai Pustaka.

Bukan hanya menarik, tapi penting. Itulah kesan pertama saya dari membaca polemik antara sastrawan A.S Laksana [selanjutnya, Sulak] dan penulis Catatan Pinggir majalah Tempo Goenawan Mohamad [selanjutnya, GM atau Goenawan] di laman Facebook beberapa hari terakhir.
Menarik, karena di sana banyak muncul proposisi yang inspiratif, dan penting, karena isu yang dibahas adalah perkara sains, hal yang bagus dibicarakan terus di tengah suasana umum negeri kita yang semakin diwarnai cara berpikir religius. Polemik mereka, yang dengan cepat dimeriahkan oleh banyak peserta lain, penting dalam konteks penumbuhan budaya keilmuan, guna menanamkan perangai ilmiah (scientific temper) pada publik, bukan agar mereka semua jadi ilmuwan.
Saya berdiri di barisan Sulak, dan karenanya akan turut menyanggah presentasi Goenawan; sambil di sana-sini menyinggung poin-poin tertentu para peserta lain. Tapi saya merasa harus pertama-tama melihat konstruk umum presentasi ide Goenawan, terutama yang rutin dituangkan dalam Catatan Pinggir, yang ditulisnya sejak 1976, praktis tanpa putus sampai pekan lalu. Sudah ada 2000an esai pendek itu, dihimpun dalam sedikitnya 12 jilid antologi. Ini mempermudah kita untuk menemukan rujukan, misalnya tentang contoh-contoh untuk apa yang saya maksud.
Menyoroti presentasi umum Goenawan saya pikir bermanfaat, karena ia esais paling produktif dan berstamina paling panjang, selain merupakan stylist terbaik Indonesia; ia telah menulis selama enam dekade tanpa henti.
Secara umum semua esai Goenawan dilandaskan pada apa yang disebut strawman fallacy oleh cognitive science (dan psikologi sosial). Ia sendiri menyinggung pengertian itu dalam tanggapannya kepada Sulak; ulasan Sulak ia anggap seperti memukul "memedi sawah" alias salah sasaran; maka bolehlah kita indonesiakan istilah itu dengan "falasi memedi".
Makna strawman fallacy adalah: seseorang mengartikan pendapat orang lain secara keliru, lalu menyanggah pemaknaan opini yang keliru itu. Misalnya A berpendapat gula pasir sekarang lebih putih dan kurang manis, lalu B menganggap A berpendapat bahwa gula pasir sekarang lebih kuning dan lebih manis, lalu ia mengritik A karena berpendapat gula pasir sekarang lebih kuning dan lebih manis.
Falasi memedi biasanya diikuti oleh motivated reasoning, yaitu penalaran yang didorong oleh hasrat untuk melakukan pembenaran terhadap apa yang diyakini, bukan oleh kehendak menyajikan fakta-fakta [meski fakta-fakta itu tidak sesuai dengan apa yang kita yakini].
Si B tadi akan membantah "gula lebih manis" si A dengan berfokus pada pernyataan yang tidak pernah dikatakan oleh A itu. Untuk itu ia akan menerapkan confirmation bias, ini level lanjutan dari motivated reasoning, yaitu sikap yang hanya memilih data dan fakta yang cocok untuk menyanggah "gula lebih manis", bukan data untuk membantah "gula kurang manis" seperti yang dimaksud si A. Maksudnya tentu saja agar data itu cocok dengan skema yang sudah terbentuk di pikirannya berkat falasi memedi tersebut.
Selanjutnya, B akan menebar berbagai ilustrasi berupa anecdotal evidence di sekujur tulisannya, yaitu satu-dua contoh kecil yang dianggap atau ingin dikesankan B sebagai ilustrasi yang relevan, tapi sesungguhnya meleset atau tidak merepresentasikan situasi umum yang sebenarnya.
Dalam operasinya, falasi memedi tidak harus berupa pendapat satu orang, tapi bisa merupakan anggapan tentang adanya pendapat suatu kolektifitas tentang masalah tertentu.
Begitulah, misalnya, Goenawan menulis: "Penyidik bukanlah orang yang mendapat wahyu Tuhan" (Tempo, dimuat kembali di FB, 17 November 2019). Ini tentu didasarkan pada anggapan bahwa ada orang atau sekumpulan orang yang berpendapat penyidik adalah orang yang mendapat wahyu Tuhan, meski Goenawan menyembunyikan identitas pihak yang beranggapan demikian [“penyembunyian” ini memang keniscayaan yang lazim karena ketakmampuan mengidentifikasi].
Kalimat topik yang membingkai keseluruhan tulisannya itu diikuti dengan: "Setidaknya saya berbicara tentang Sherlock Holmes, detektif termashur dalam cerita-cerita Arthur Conan Doyle. Juga tentang Romo Brown, pastur Katholik yang memecahkan kasus-kasus kejahatan dalam fiksi G.K. Chesterton."
Konsekuensi pernyataan ini tidak bisa lain kecuali: dua contoh figur yang dipetik dari karya fiksi itu adalah penyidik yang tidak mendapat wahyu Tuhan, sedangkan semua atau kebanyakan penyidik lainnya (tentu maksudnya di dunia nyata, bukan di novel detektif) mendapatkan wahyu Tuhan dalam menjalankan kerja penyidikannya. (Pasti maksud GM adalah penyelidik, bukan penyidik; keduanya punya pengertian berbeda).
Argumen-argumen pendukung untuk klaim itu kemudian bergerak di sepanjang jalur motivated reasoning dan seterusnya tadi.
"Demokrasi adalah surat cinta yang hambar," tulis Goenawan (Tempo, dimuat kembali di FB). Ini mengasumsikan ada orang yang berpendapat bahwa demokrasi adalah surat cinta, dan mungkin ia menyetujuinya; namun, sambil mengakuinya, ia berpendapat surat cinta itu hambar. Jika demikian, apakah demokrasi harus diganti dengan surat cinta yang tidak hambar?
Uraian selanjutnya adalah rangkaian confirmation bias, meski di sana ia tidak mampu mempertahankan irama metaforis yang seakan ia janjikan di kalimat pembuka. Ia menyebut lembaga legislatif, misalnya, dengan nama harfiahnya – DPR -- dan tidak diibaratkan dengan hal lain; misalnya "calon mertua yang judes" atau "ipar yang mengecewakan" (paralel dengan “surat cinta yang hambar” untuk demokrasi).
Baiklah, kita mudah memahami bahwa Goenawan, seorang penulis yang terlalu gandrung bermain metafor, mengibaratkan demokrasi sebagai hal atau janji yang menyenangkan tentang suatu sistem politik ideal (indah seperti "surat cinta"), tapi ia telah bermain-main dengan metafor yang risky, yang mudah sekali terlihat inkonsistensi dan inkoherensinya, bahkan di tingkat permainan metafor itu sendiri.
Dan dengan itu pula ia meremehkan keseriusan isu demokrasi, suatu sistem politik yang diterapkan di semakin banyak negara dengan tingkat sukses masing-masing, dan dipelajari oleh beribu-ribu mahasiswa ilmu politik dengan tekun di kampus-kampus di seluruh dunia.
Adalah sikap serampangan jika dengan semua itu demokrasi hanya dicibir sebagai "surat cinta yang hambar" -- betapa bodohnya para pemimpin dunia dan para sarjana itu, yang susah payah menekuni isu demokrasi, padahal ia setara dengan secarik surat cinta belaka, hambar pula.
Bagaimana jika seorang sarjana elektro menyebut, misalnya, "Puisi adalah arus listrik yang terpotong korsleting sebelum ia mencapai SUTET?" Atau pakar kimia menulis: "Teater, drama modern, adalah tabung-tabung reaksi yang kekurangan zat-zat esensial"? Ahli ilmu politik bisa menulis tentang seni tari seperti ini: "Tarian adalah sistem elektoral yang tak dilengkapi KPU untuk mengawasi pelaksanaannya."
Para seniman penggiat jenis-jenis kesenian itu sangat mungkin mengernyitkan dahi terheran-heran dengan metafor ganjil itu (meski mungkin terdengar indah), jika bukan jengkel dan marah terhadap penggambaran yang semau-mau itu.
Di sini kita masuk ke problem Goenawan yang lain: ia membahas apapun, atau dalam hal ini masalah yang bersifat sosial, dengan menjadikan individu sebagai unit analisis. Ia gemar menggunakan analogi dan metafor individual.
Tentu saja metode ini lebih sering meleset daripada tepat. Seperti sudah lama ditunjukkan oleh studi sosiologi dan psikologi, "logika" yang berlaku bagi individu berbeda dari logika sosial atau kolektifitas; berbeda pula kompleksitasnya jika masuk variabel negara.
Pertanyaannya: mengapa ide Goenawan berciri demikian?
Mau tak mau kita menyandarkan tendensi itu pada aliran atau corak filsafat yang dianutnya, yaitu Romantisisme yang muncul di akhir abad ke-19, sebagai reaksi terhadap mekarnya filsafat Pencerahan (Enlightenment) di Eropa. Ya, meski merupakan reaksi terhadap Pencerahan, sejarawan menamai aliran itu "Romantisisme", bukan filsafat "Penggelapan" atau "Penyuraman"; mungkin karena maksudnya: para Romantisis mendambakan suasana sediakala, sebelum Pencerahan merajalela dan menjadi semangat dominan. Dan dengan ini kita masuk ke isu sains.
Pencerahan bertumpu pada empat pilar: reason, science, humanism dan progress -- buku Steven Pinke,r Enlightenment Now, Penguin [2018], menjelaskan ini dengan lengkap dan sangat baik. Pencerahan percaya bahwa kemanusiaan akan terus maju berdasarkan penalaran dan pengutamaan manusia atas rasio, bukan hal-hal lain seperti tahayul dan mitologi, yang menghambat kemajuan intelektual manusia dan pengembangan potensi pribadinya secara penuh. Tahayul dan mitos memang terkadang punya makna sosial yang penting, misalnya untuk integrasi bangsa.
Sebuah bangsa, masyarakat atau komunitas tertentu bisa rekat jika anggota-anggotanya meyakini mitos dan tahayul tertentu (meski hal ini pun menyimpan bahayanya sendiri jika misalnya bangsa lain meyakini mitos yang berlawanan). Namun secara umum tahayul dan mitos mengaburkan kejernihan berpikir manusia.
Tapi karena apa yang muncul dari reason/rasio tidak niscaya rasional atau masuk akal, maka sains berfungsi membereskan [refining] reason itu agar yang muncul dari sana adalah pertanyaan atau opini yang bermakna, yang bisa dipercakapkan secara inter-subjektif.
Tanpa sains, maka tukang sihir, dukun, ahli nujum ataupun remaja yang putus cinta, misalnya, bisa mengeluarkan macam-macam hal yang tidak rasional dari rasio mereka. Karena semangat pembebasan itulah maka Pencerahan disebut suatu Revolusi Humanitarian.
Kaum Romantisis menentang penekanan atas keunggulan rasio tersebut, dan menekankan hal lain untuk meraih kemanusiaan terbaik, yaitu dengan prinsip-prinsip estetika. Kaum Romantisis tahu bahwa dunia ini bukan puisi, tapi justeru karena itu ia harus diupayakan menjadi puisi (sesuatu yang indah). Mereka, menurut Stanford Encyclopaedia of Philosophy (SEP), cenderung melakukan puitisasi (poeticizing) atas dunia.
Memang tidak mudah merumuskan apa dan bagaimana aliran filsafat Romantisisme itu, apalagi ada pula perbedaan tekanan di negara-negara berbeda (Jerman, Inggris, Prancis). Arthur Lovejoy, pembentuk disiplin history of ideas, misalnya, putus asa dengan sifat elusif aliran ini, sehingga ia menyebutnya "skandal sejarah dan kritik sastra."
Kesulitan utama dalam memahaminya, kata dia, ialah karena tiadanya “entitas real yang tunggal, atau tak adanya tipe entitas” sebagaimana yang dimaksud dengan konsep “romantisisme”. Kata “romantics” digunakan untuk memaknai begitu banyak hal, sehingga istilah itu sendiri akhirnya tidak berarti apa-apa.
Isaiah Berlin, sambil memaklumi keputusasaan Lovejoy dalam mengidentifikasi apa maunya kaum romantisis itu, tak sejalan dangan skeptisisme radikal Lovejoy, dan menganggap sejumlah ciri umum Romantisisme bisa dipetakan. Faktanya, kata Berlin, gerakan Romantisisme pernah ada; ada sesuatu yang yang sentral di dalamnya; ia menciptakan sebuah revolusi kesadaran, dan karena itu penting untuk mengungkapkannya.
Estetika, ide sentral dalam Romantisisme, lazimnya dihubungkan dengan seni dan keindahan atau cabang filsafat yang mempelajari aspek-aspek ini. Namun, banyak penganut Romantisisme yang menolak pembatasan estetika dalam kehidupan manusia hanya pada aspek-aspek itu saja, atau memisahkan wilayah praktis dan wilayah teoretis dalam kehidupan.
Jadi, ciri yang paling menonjol dalam komitmen romantisis adalah pada gagasan bahwa karakter seni dan keindahan serta keterlibatan kita di dalamnya haruslah mewarnai semua aspek kehidupan manusia. Estetika hendaknya menjadi ciri sentral dalam keseharian hidup orang biasa, bukan hanya bagian dari kehidupan filosofis dan artistik.
Kesulitan lain dalam mengidentifikasi ciri-ciri pokok Romantisisme ialah karena kebanyakan penganutnya adalah penyair dan seniman yang wawasannya tentang seni dan keindahan tidak terdapat dalam bentuk rumusan-rumusan teoretis yang matang, tetapi hanya berupa penggalan-penggalan kalimat, semboyan dan puisi. Bentuk-bentuk ekspresi ini hanya menyajikan siratan-siratan ide (sugestif) yang sulit dipegang (elusif), dan tak mudah disimpulkan (tak konklusif).
Dengan merujuk Romantisisme seperti dipaparkan SEP itu kita jadi sedikit paham kenapa, misalnya, Goenawan sangat sengit terhadap sains, seperti juga terlihat dari tanggapannya atas kritik Sulak. Dalam berbagai kesempatan, mudah dilihat upaya-upayanya untuk "menyelundupkan" skeptisisme atau ledekannya terhadap sains – tentu saja bukan dalam bentuk paparan konseptual yang cukup matang dan layak didiskusikan.
Di hari-hari pandemi ini kejengkelannya tampak memuncak menyaksikan betapa beragamnya pendapat kaum ilmuwan tentang cara terbaik menghadapi Covid-19, dan karena itu pemerintah sulit membuat kebijakan tegas sebagai upaya mengatasinya; untuk menghambat penyebaran virus, untuk menetapkan kapan aktifitas publik bisa dijalankan kembali (new normal), dan segala hal yang terkait.
Ilmuwan yang satu menyarankan lockdown seperti di Wuhan, yang terbukti efektif menumpas Covid-19. Ilmuwan lain menyatakan tidak perlu lockdown, sebab penguncian kota akan melumpuhkan ekonomi dan bahkan bisa memangsa korban lebih banyak daripada korban virus. Pendapat mereka bertentangan, padahal mereka sama-sama ilmuwan, bahkan menekuni disiplin yang sama.
Keragaman opini ilmuwan itu membuat bingung, dan tidak sesuai dengan "janji" atau citra yang ditampilkan sains dan para penggandrungnya bahwa kerja sains itu pasti [bukankah namanya pun “ilmu pasti” atau “ilmu eksakta”?] dan dengan demikian sanggup menyajikan solusi cepat dan tepat. Yang dilupakan Goenawan: keragaman opini kaum ilmuwan itu memang berlangsung tiap hari di seluruh dunia; di laboratorium kampus-kampus dan pabrik-pabrik obat, di stasiun-stasiun riset kimia, fisika dan biologi.
Sebuah produsen obat baru, misalnya, harus berjuang keras untuk mendapatkan izin pemerintah untuk memasarkan obat itu, meski seluruh proses pembuatan obat tersebut, disertai keterangan terinci tentang kandungan elemen-elemennya, sudah disertakan. Lembaga negara yang mengawasi pembuatan dan peredaran obat-obatan seperti BPPOM di Indonesia atau FDA di Amerika Serikat, akan meneliti seluruh proses dan aspek pembentukan obat itu dari nol lagi, dengan mengerahkan tim ilmuwan mereka sendiri.
Begitupun, mereka tetap bisa keliru, atau sekian tahun kemudian mereka mengoreksi suatu kebijakan yang telah lama ditetapkan. Salah satu contoh terbaru adalah keputusan FDA untuk menghapus kolesterol sebagai unsur yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia.
Setelah lima puluh tahun kolesterol dinyatakan sebagai momok kesehatan, dicantumkan di urutan pertama, kini posisinya digantikan oleh gula; ternyata gula adalah si manis pembunuh kejam. Kematian akibat diabetes, misalnya, lebih duaratus kali lipat dari jumlah korban terorisme, sampai seorang penulis menyebutnya, “Coca Cola lebih berbahaya dibanding Al Qaedah.”
Perbedaan pendapat di kalangan ilmuwan -- bukan di kalangan filosof ataupun ulama -- adalah rahmat bagi mereka, membuat ilmu berkembang sangat cepat.
Hal semacam itulah yang disebut Thomas Kuhn dengan revolusi ilmiah. Ilmuwan bekerja dengan paradigma tertentu, ini disebutnya “normal science”, lalu ilmuwan lain mengoreksinya, dan dengan itu terjadi “paradigm shift”. Kontroversi di seputar bukunya, The Structure of Scientific Revolution [terbit pertama kali 1962], bisa menjadi diskusi tersendiri.
***
Dalam diskusi "Berkhidmat pada Sains" yang diadakan Ikatan Dokter Indonesia itu, Goenawan kembali menekankan bahwa "sains bukan segala-galanya", seakan ada orang yang menganggapnya demikian. Falasi memedi terus membayanginya di mana pun.
Bahwa sains bukan segala-galanya tentulah sebuah truism, self-evident statement, pernyataan yang dengan sendirinya benar dan karenanya tidak memerlukan pembuktian panjang-lebar. Menyatakan hal itu adalah “stating the obvious”.
Setiap orang yang cukup paham metodologi sains (rangkaian proses menuju hasil akhir atau kesimpulannya), apalagi kaum ilmuwan sendiri, tentu paham betul bahwa sains memang bukan segala-galanya. Sama juga: ilmuwan juga tidak mungkin bersikap arogan atau memiliki "kecongkakan saintifik"; bukan karena para ilmuwan adalah orang-orang yang rendah hati, tapi karena watak-dasar ilmu itu sendiri tidak memungkinkan mereka bersikap demikian.
Pada umumnya, beginilah proses tipikal kerja sains: bermula dari gejala yang teridentifikasi, lalu gejala itu diobservasi, lalu dirumuskan sebagai hipotesis, kemudian didiskusikan untuk didalami aneka kemungkinannya guna mendapatkan cara paling efektif untuk mengetahui karakter utamanya, lalu dieksperimentasi di laboratorium, kemudian diverifikasi, mungkin tahap eksperimen dan verifikasi ini diulangi beberapa kali, lalu ditarik kesimpulan tentang hal-ihwal objek tersebut (bisa berupa benda, proses, elemen baru, dsb).
Jika ilmuwan yang mengerjakan proyek riset itu ingin mengumumkan temuan tersebut di jurnal ilmiah, maka mereka wajib memaparkan seluruh proses berikut cara kerja mereka itu ke dalam naskah. Editor akan menyebar naskah itu kepada sejumlah ahli untuk diperiksa validitasnya (misalnya untuk melihat adakah tahap-tahap riset yang terlewati atau dilalui dengan keliru), adakah kemungkinan duplikasi dengan karya sebelumnya (yang bisa berarti terjadi penjiplakan atau setidak-tidaknya karya itu tidak orisinal atau bukan karya terobosan), dan sebagainya.
Jika naskah itu lolos dari peer review itu, yang dilakukan dengan menutup nama penulis teks (blind review), barulah ia diterbitkan, bukan hanya untuk diketahui para rekan sejawat tapi juga untuk dikritisi seluruh aspeknya; ini menjadi semacam pertanggungjawaban sosial dan ilmiah keilmuan.
Sebab pelaku riset pun tidak pernah yakin sepenuhnya tentang validitas temuannya (dan memang mereka, kata ahli epistemologi Karl Popper, tidak boleh bersikap yakin!), dan jika ditemukan sedikit saja kekeliruan, maka validitas temuan baru itu mungkin dianggap gugur dan perlu disempurnakan.
Bisa juga terjadi: temuan itu lolos uji peer review, dan bertahun-tahun setelah ia diterbitkan mungkin ia dikoreksi oleh ilmuwan lain di tempat lain; mungkin pula ia justeru menginspirasi saintis lain untuk meneliti lebih lanjut aspek-aspek tertentu dalam paparan hasil riset awal itu.
Prosedur sains ini berbeda dari “prosedur filsafat”, yang rentan manipulasi, seperti terjadi pada Alan Sokal di tahun 1990an. Fisikawan Universitas New York itu mengirim artikel kepada Social Text, jurnal cultural studies dan posmodernisme terbitan Universitas Duke; setelah dimuat, Sokal mengungkap di jurnal Lingua Franca bahwa artikel itu hoax.
Dia mengaku menulis secara ngawur saja, tapi seolah-olah canggih, dengan taburan macam-macam istilah yang ia karang sendiri sekenanya, untuk membuktikan bahwa kerangka “keilmuan” yang dianut kubu leftist itu kabur. Sokal berhasil. Tulisannya yang ngawur itu ternyata bisa dimuat di Social Text, salah satu jurnal paling bergengsi di bidangnya. Tanpa peer review, tentu peluang pemuatan tulisan yang awut-awutan semakin besar – meski tulisan itu terkesan canggih.
Itulah saya rasa yang dimaksud Sulak bahwa sains itu ibarat komputer jaringan, yang simpul-simpulnya saling mendukung, sehingga sains bisa berkembang begitu cepat, termasuk dalam mekanisme koreksi atas kesalahan-kesalahannya.
Sedangkan filsafat seperti stand-alone computer alias komputer ijen, yang pasti kalah cepat perkembangannya dibanding sains karena sifat eksklusif dan soliternya itu.
***
Metode sains yang sangat ketat dan terus disempurnakan ini tidak mungkin ditandingi oleh jenis-jenis pengetahuan lain -- kalaupun semua orang, dari bangsa mana pun, setuju belaka dengan teriakan cemas kaum filosof atau insan religius bahwa sains bukanlah satu-satunya jenis pengetahuan untuk mencapai kebenaran.
Teriakan mereka tidak pernah sedikit pun disertai penjelasan tentang proses-prosedur operasi jenis-jenis pengetahuan non-sains itu, sementara metodologi sains telah dipaparkan sedemikian gamblang, tanpa penyembunyian apapun, sehingga setiap orang bisa mengujinya.

Sumber: https://www.facebook.com/hamid.basyaib/posts/10158383963089894

No comments