TERBARU

Yang Bertahan di Era Disrupsi



DR.Joko Santoso, M.Hum, aktivis literasi yang juga menjabat Kepala Biro Hukum dan Perencanaan Perpustakaan Nasional.

Pada tahun 1744, diterbitkan surat kabar pertama oleh pemerintah Gubernur Jenderal Van Imhoff dengan nama Bataviasche Nouvelles. Surat kabar ini hanya mampu hidup selama dua tahun. Kemudian pada tahun 1828, diterbitkan Javasche Courant di Batavia yang memuat berita-berita resmi pemerintah kolonial, lelang dan kutipan dari harian-harian Eropa.

Mesin cetak pertama di Indonesia datang melalui Batavia lewat seorang makelar bernama W. Bruining dari Rotterdam. Dengan modal alat cetak ini, diterbitkan surat kabar Het Bataviasche Advertantie Blad yang memuat iklan-iklan dan berita-berita umum kutipan dari penerbitan resmi atau Staatscourant, Nederland.

Di Surabaya, terbit Soerabajasch Advertantiebland yang kemudian berganti nama menjadi Soerabajasch Niews en Advertantiebland. Sedang di Semarang terbit Semarangsche Advertetiebland dan De Semarangsche Courant. Secara umum, surat kabar tersebut muncul untuk kepentingan bisnis, karena kebanyakan berisi iklan.

Tirasnya tidak lebih dari 1.000-1.200 eksemplar tiap hari. Setiap surat kabar yang beredar disensor oleh pemerintah Gubernur Jenderal di Bogor. Surat kabar berbahasa Belanda pun terbit di daerah Sumatera dan Sulawesi. Di Padang, terbit Soematra Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara Melajoe. Di Makassar, terbit Celebes Courant dan Makassarsch Handelsbland.

Tahun 1854, terbit surat kabar berbahasa Melayu pertama bernama Slompret Melajoe di Semarang oleh H.C. Klinkert. Pada 1860 Surat kabar dengan bahasa Melayu mulai banyak bermunculan, tetapi yang menjadi pemimpin surat kabar tersebut tetap orang Belanda atau peranakan Eropa. Pada 1881, terdapat perkembangan baru, yakni pekerja pers terutama para redakturnya tidak lagi dari peranakan Eropa, melainkan mulai diisi oleh peranakan Tionghoa dan Indonesia, atau biasa disebut dengan kalangan pribumi.

Pada tahun 1885, di seluruh daerah yang dikuasai Belanda telah terbit sekitar 16 surat kabar dalam bahasa Belanda dan 12 surat kabar dalam bahasa Melayu, seperti Bintang Barat, Hindia-Nederland, Dinihari, Bintang Djohar (terbit di Bogor), Selompret Melayu dan Tjahaja Moelia, Pemberitaan Bahroe (Surabaya) dan surat kabar berbahasa Jawa, Bromartani yang terbit di Solo.

Masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, salah satu surat kabar yang terbit masa itu ialah Tjahaja. Surat kabar ini menggunakan Bahasa Indonesia, terbit di kota Bandung. Isi surat kabar kebanyakan tentang segala sesuatu yang terjadi di Jepang, karena memang terbit untuk kepentingan propaganda Jepang.

Pada tahun 1945, Indonesia merdeka. Surat kabar Berita Indonesia (BI) yang diprakarsai oleh Eddie Soeradi ikut melakukan propaganda agar rakyat datang berbondong-bondong pada rapat raksasa di lapangan Ikada pada 19 September 1945. Di antara penerbit surat kabar, pada masa kemerdekaan membentuk asosiasi. Serikat Perusahaan Pers lahir di Jogjakarta, 8 Juni 1946. Sejak awal berdiri Serikat Perusahaan Pers (SPS) merupakan wadah berkumpulnya para penerbit pers (cetak).

Setelah Presiden Soekarno mengumumkan dekrit kembali UUD 1945 pada 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik, termasuk pers.

Kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 silam membawa aura baru ke dalam dunia pers. Pada pasca reformasi, SIUPP dihapuskan, sejak itu penerbitan pers membengkak drastis. Tahun 2000 sekitar 1.800-2.000 penerbit, meskipun menurut Serikat Penerbit Suratkabar hanya 30 persen saja yang mapan secara keuangan.

Hingga Desember 2014, SPS memiliki 471 anggota yang tersebar di 30 cabang seluruh Indonesia. Kontribusi anggota SPS terhadap advertising expenditure seluruh media cetak tahun 2014 yang sebesar Rp36,164 triliun (on gross), diperkirakan mencapai Rp31,1 triliun. Ditilik dari penetrasi pasar per Desember 2013, tiras seluruh media cetak beredar mencapai 22,3 juta eksemplar, anggota SPS menyumbang sebesar 19 juta eksemplar. Berdasar pada angka-angka ini, nampak dunia persurat-kabaran Indonesia masa itu menyumbang ekonomi nasional secara cukup signifikan.

Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, surat kabar Indonesia tidak hanya terbit secara konvensional - tercetak, juga terbit secara online. Sejumlah surat kabar memanfaatkan peluang tersebut dengan terbit dalam edisi cetak dan online. Namun, tak sedikit pula surat kabar yang lalu beralih sepenuhnya terbit online dan menutup penerbitan tercetaknya karena berbagai faktor.

Secara jumlah, berkala Indonesia, baik surat kabar, majalah maupun tabloid dalam format cetak berangsur-angsur surut. Awal Juli 2017, Koran Sindo tutup setelah 11 tahun terbit. Sejumlah media melakukan penutupan total atau parsial. Secara parsial semisal edisi hari minggu Galamedia dari koran regional grup Pikiran Rakyat, edisi hari minggu Koran Tempo dari koran terbitan Tempo Media Group, Sinar Harapan, Jakarta Globe, Harian Bola, hingga majalah remaja legendaris HAI dari Kompas Gramedia Group (KKG) per 1 Juni 2017 pun tutup.

KKG, bahkan, pada Desember 2016 lebih dulu menutup edisi cetak delapan berkalanya, yakni Kawanku, Sinyal, Chip, Chip Foto Video, What Hi Fi, Auto Expert, Car and Turning Guide, dan Motor.

Penutupan media cetak makin hari makin banyak. Menurut data dari konsultan bisnis Price Waterhouse Coopers (PwC) Indonesia, ada beberapa persoalan. Dalam laporan Perspective from the Global Entertaiment and Media Outlook 2017 yang diturunkan PwC, menyebutkan, laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun terakhir mengalami kecenderungan minus 8,3 persen.

Menurut PwC, ini angka terendah karena prediksi untuk media massa konvensional lainnya (majalah, radio, televisi, dan buku) juga mengalami pertumbuhan minus pada 3,4 hingga 6 persen. Di sisi lain, PwC memprediksi media berbasis internet tumbuh 0,5 sampai 6 persen (Harian Kompas, 4 Juli 2017).

SPS pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2017 di Ambon, pun mengakui bahwa ada tanda-tanda penurunan terbitan berkala semenjak tahun 2013. Penurunan ini diafirmasi dengan melalui penutupan secara parsial bahkan total berbagai media cetak besar di atas. Secara spesifik SPS menyebut, tekanan untuk penutupan media cetak, terutama koran, secara signifikan terjadi pada akhir 2017.

Indikatornya pada penurunan pemasukan utama koran, yakni iklan. Pendapatan iklan surat kabar pada pertengahan tahun 2017 saja sudah menurun 40 persen. Secara kasat mata, angka penuruan dalam kurun waktu 5 tahun dapat dilihat dari perbandingan berikut, dari 1.254 penerbitan pada 2013 hanya tersisa 850 penerbitan pada 2017. Dengan demikian, dapat dikatakan tiap tahun rata-rata 80 penerbitan tutup, atau terdapat 404 penerbitan dalam kurun lima tahun.

Kita dapat bayangkan, angka ini kemungkinan besar terus merosot saat ini, ketika secara eksponensial jumlah pengakses internet melalui sosial media untuk mendapat informasi makin meningkat 200 persen per tahun.

Harian Bernas didirikan Menteri Penerangan pertama RI, Mr Soemanang, terbit di Yogyakarta pada 15 November 1946. Setelah melampaui tiga zaman, koran ini resmi tak beroperasi per tanggal 1 Maret 2018. Manajer Sirkulasi Bernas, Tedy Kartyadi, menerangkan, kematian tersebut lantaran hantaman internet, sehingga memaksa Bernas bertransformasi ke format digital sepenuhnya. Pada 2018, BPS melaporkan proporsi penduduk berumur 5 tahun ke atas yang membaca surat kabar/majalah (media cetak maupun elektronik) di Indonesia rata-rata hanya 19.24 persen dari jumlah penduduk. 

Pada akhir 2019, dilaporkan 29 media cetak Indonesia gulung tikar. Termasuk di antaranya salah satu media favorit penggemar sepak bola, tabloid BOLA. Tempo melakukan survei pada akhir November 2019, mendapatkan data bahwa 80 persen mahasiswa di Indonesia sudah tidak lagi membaca majalah ataupun koran.

Pandemi Covid-19 yang merebak dan berdampak pada perekonomian dunia awal tahun 2020 juga membuat industri media cetak semakin terpuruk. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang saat ini mendekati Rp17 ribu secara otomatis telah menaikkan harga kertas koran. Situasi itu juga melemahkan daya beli masyarakat pada surat kabar dan majalah.

Dalam pemberitaannya, surat kabar merekam banyak kejadian dan peristiwa. Tidak hanya itu, surat kabar juga merekam berbagai pemikiran, karya dan situasi dan kondisi masyarakat pada masa itu. Dengan demikian, surat kabar memegang peranan penting di dalam pendokumentasian peradaban sebuah bangsa.

Tak heran, banyak negara maju melihat pentingnya upaya pendokumentasian seluruh penerbitan surat kabar di negaranya. Hal tersebut dilakukan dengan menyimpan seluruh surat kabar yang ada dalam format asli, microfilm maupun digital. Hal ini sangat erat dalam upaya preservasi, yakni melestarikan isi dari media surat kabar agar dapat diakses sepanjang masa.

Kesadaran terhadap pentingnya pendokumentasian surat kabar nampaknya tidak dapat hanya dilakukan sepihak oleh Perpustakaan Nasional. Serikat Perusahaan Pers sebagai asosiasi media penerbit surat kabar harus turut berkontribusi dalam hal ini. SPS yang memiliki visi Menegakkan Kemerdekaan Pers dan Membangun Industri Pers yang Sehat dan Bermartabat, selayaknya berkontribusi aktif mendokumentasikan semua terbitannya dengan menyerahkan ke Perpustakaan Nasional untuk dirawat dan dilayankan kepada seluruh masyarakat. Surat kabar ini sangat bermanfaat dalam mendukung penelitian ilmiah dan memberikan rujukan tentang liputan suatu peristiwa. 

Usaha Perpustakaan Nasional untuk mengembangkan respositori warisan dokumenter bangsa, di mana salah satunya berwujud surat kabar, memungkinkan kita untuk tidak mudah lupa. Karena di dalamnya banyak simpanan rekaman peristiwa yang tertuang di halaman-halaman surat kabar.

Saat ini, Perpustakaan Nasional memiliki koleksi semenjak masa kolonial sebanyak 5.079.493 eksemplar. Dari jumlah tersebut, koleksi berkala berjumlah 1.962.375 eksemplar. Jumlah berkala berupa surat kabar yang sudah dialihmediakan dalam format digital baru berjumlah 109.949 esemplar, angka yang masih jauh untuk dapat diakses oleh masyarakat secara daring.

Ke depan, upaya digitalisasi surat kabar yang lebih massif sangat menentukan dalam penyediaan sumber penelitian dan rujukan historis Indonesia sebagai sebuah bangsa. Marcus Garvey, seorang jurnalis dan politisi Jamaika mengatakan “A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots” Orang-orang tanpa pengetahuan sejarah, asal-usul dan budaya masa lalu seperti pohon tanpa akar. Salam Literasi!

Kolom ini dimuat ulang atas izin penulisnya.

No comments