TERBARU

Ugamo Malim Suku Batak, Satu dari Sekian Agama Asli Indonesia

Selain enam yang diakui negara, nyatanya masyarakat Indonesia punya ratusan agama lokal warisan nenek moyang asli tanah air. Agama-agama bumi yang sampai sekarang belum diakui, dan bahkan dilabeli macam-macam. Dari ratusan yang ada, Ugamo Malim adalah salah satu yang bertahan dan berkembang mengikuti zaman.
Saya masih ingat, suatu siang di tahun 2003 yang gerah di ruang kelas 2 SD, saya sedang duduk gelisah di bangku. Pak B (sebut saja begitu) guru agama Islam yang menurut saya saat itu cukup galak sedang menjelaskan tentang sejarah-sejarah agama di Indonesia. “Di Indonesia hanya ada 6 agama, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budhha, dan Konghucu,” jelasnya sambil sesekali membenarkan peci. Ia menjelaskan bahwa sebelum itu, masyarakat Indonesia hidup dalam zaman jahiliyah dan menyembah berhala. Selebihnya tak ada penjelasan. Sebagai anak SD yang kolam pikirannya masih begitu polos, penjelasan macam ini membuat kesimpulan saya dan teman-teman perihal agama mandeg alias berhenti di situ.
Celakanya, beberapa orang membawa kesimpulan itu sampai ia dewasa. Padahal ada fakta lain yang tak sesederhana penjelasan guru SD saya itu. Mari kita lakukan sedikit hitungan matematika dari data yang saya ambil dari sensus tahun 2010. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari tanah Arab saat ini jadi agama mayoritas yang dianut oleh warga Indonesia yaitu sebanyak 87,18% dari total penduduk. Lalu diikuti oleh Kristen Protestan dengan penganut sebanyak 6,96%, diikuti oleh Katolik sebanyak 2,91%, Hindu 1,69%, Budhha sebanyak 0,72%, serta Konghucu hanya sekitar 0,05%. Jika angka-angka tersebut ditotal, hasilnya adalah 99,51%. Dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 256 juta jiwa, masih ada 0,49% alias 400 ribu jiwa yang belum terdata. Lalu agama apa yang dianut oleh 400 ribu jiwa penduduk Indonesia tersebut?
Persoalan dimulai dari pengetahuan yang tersaji di buku-buku ajar sekolah kerap terlalu menyederhanakan fakta dan sejarah. Soal agama misalnya, tak pernah ada pelajaran mendalam tentang era sebelum enam agama tadi disebar di Indonesia. Informasi yang kerap diulang lagi dan lagi adalah soal animisme dan dinamisme. Mereka dianggap menyembah roh-roh dan pohon-pohon atau situs-situs sakral tertentu, dan hal-hal semacam ini kerap diasosiasikan dengan sifat ‘purba’ dan hal tak baik lain. Padahal di Indonesia, ada sedikitnya 245 agama lokal yang ada. Catatan ini terdaftar di Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003. Secara hukum, agama-agama lokal ini jadi tak diakui sejak adanya penetapan Presiden no. 1 tahun 1965 dan UU No. 5 tahun 1969 yang menyatakan hanya ada 5agama resmi di Indonesia. Menyusul di tahun 2000, Konghucu diakui sebagai agama resmi ke 6 Indonesia.
Upacara Sipaha Lima
Padahal selain enam agama resmi di atas, hampir tiap daerah di Indonesia punya agama asli yang masih dipeluk hingga sekarang. Di Jawa misalnya ada Kejawen dan Kapribaden, lalu orang Sunda punya Sunda Wiwitan, Kaharingan di Dayak, Wetu Telu yang dihidupi suku Sasak di Lombok, Marapu di Sumba, Aluk Todolo di Toraja, Samin di Jawa Tengah, Tolottang di Sulawesi Selatan, Ugamo Malim di Sumatera Utara dan banyak lainnya. Masing-masing punya filosofinya sendiri. Umumnya agama-agama asli nenek moyang Indonesia ini sifatnya berdasarkan pada geografis atau suku tertentu. Meski begitu, dalam level universal, dari ratusan agama asli yang ada, banyak ditemukan pola-pola ritual maupun makna yang serupa. Agama-agama lokal ini umumnya lebih bersifat membumi, ajaran-ajarannya lebih ditujukan untuk penyelerasan dan keseimbangan manusia dan alam tempat tinggalnya.
Sayangnya, sampai saat ini, pengakuan negara atas agama-agama lokal belum ada. Meski demikian, agama ini tetap dihidupi oleh penganutnya yang biasa disebut sebagai Penghayat. Salah satu agama yang bertahan dan berkembang mengikuti zaman adalah Ugamo Malim. Agama ini berawal dari gerakan spiritual yang dipimpun oleh Sisingamangaraja XII untuk melawan penjajahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Agama Malim memuja Debata Mulajadi Nabolon sebagai pencipta kehidupan  dan menuntut pemeluknya untuk kembali menjalani budaya Batak. Parmalim dipimpin oleh seorang Ihutan yang diangkat berdasarkan garis keturunan marga Naipospos dan punya pusat administratif di Huta Tinggi, Tanah Samosir.
Parmalim percaya bahwa manusia pertama di dunia diturunkan di Pusuk Buhit, sebuah bukit di pulau Samosir, Danau Toba. Sampai sekarang, tanah Batak termasuk wilayah Toba dan Samosir merupakan tanah suci bagi Parmalim. Adam dan Hawa versi suku Batak ini adalah Si Raja Ihat Manisia dan Si Boru Ihat Manisian, yang kemudian membangun perkampungan pertama di Sianjurmula-mula. Sepasang manusia pertama inilah yang lalu jadi nenek moyang suku Batak. Kini, suku Batak jadi suku bangsa terbesar ketiga di Indonesia dengan anggota sekitar 8,5 juta jiwa. Suku Batak adalah salah satu suku yang punya sistem sosial, hukum, dan spiritual yang kompleks.
Penghayat Ugamo Malim percaya ada tiga tingkatan dunia, yaitu Banua Ginjang (Dunia Atas) yang dihuni Debata Mulajadi dan roh-roh nenek moyang, Banua Tonga (Dunia Tengah) yang kita huni sekarang dan Banua Toru (Dunia Bawah). Dalam Hamalimon atau ajaran agama Malim, diatur hubungan para penganutnya dengan Tuhan dan sesama manusia, bahkan alam.  Ajaran keimanan terhadap Tuhan  atau Debata Mulajadi Nabolon bernama Tondi Na Marsihohot yang diturunkan oleh Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi yang punya kedudukan seperti nabi bagi Parmalim.
Parmalim juga punya beberapa beberapa ritual upacara, seperti Sipaha Lima yang diadakan di Bale Pasogit yang ada di Huta Tinggi setiap tahun. Upacara ini diadakan sebagai ucapan syukur terhadap hasil panen selama setahun, dan dipimpin oleh sang Ihutan.Selain itu, ada juga ibadah mingguan Mararisabtu, upacara kematian Pasahat Tondi, ibadah rutin Mardebata dan lain-lain. Sedangkan untuk hubungan sesama manusia, dalam Hamalimon dikenal Parbinotoan Naimbaru yang artinya bahwa Parmalim terbuka menerima perkembangan ilmu dan teknologi. Serta Ngolu Naimbaru yang berarti bahwa Parmalim harus selalu mengikuti perkembangan zaman dan peradaban tanpa melanggar ajaran Malim. Ini membuat Ugamo Malim sangat cair dan terbuka, sehingga menjadi salah satu agama asli daerah yang tetap hidup dan bertahan hingga sekarang.
Hingga saat ini, Agama Malim sudah dipeluk turun temurun selama 800 tahun oleh 35 generasi. Parmalim tak hanya ada di Sumatera Utara saja, tetapi juga tersebar seiring persebaran suku Batak di berbagai kota di Indonesia seperti Medan, Riau, Jambi, bahkan Tangerang dan Jakarta.Terdapat sekitar 5.500 orang atau 1.127 Kepala Keluarga Parmalim menurut buku Agama Malim di Batak (2010) yang ditulis oleh Ibrahim Gultom. Parmalim hidup di antara penganut agama-agama lain dengan damai, meski kadang sebagai minoritas memang sikap diskriminatif sangat sulit dihindari di negara ini. Misalnya ketika mengurus administrasi resmi atau bahkan anggapan bahwa mereka penganut agama sesat. Untungnya, tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan peraturan UU tentang kependudukan No. 24 yang memperbolehkan para Penghayat (termasuk Parmalim) untuk mengosongi kolom agama di KTP mereka.
Marari Sabtu | Ahu Parmalim
Marari Sabtu
Tak seperti agama asli di daerah lain yang terkesan ‘kuno’ atau didominasi kegiatan para orang tua, Malim dihidupi oleh seluruh generasi, termasuk anak-anak muda. Dalam data terakhir yang diperoleh dari Monang Naipospos (Humas Punguan Parmalim), saat ini penganut Parmalim mencapai 5.500 jiwa dengan 60%-nya merupakan anak muda. Anak-anak muda Parmalim bahkan punya organisasi kepemudaan bernama Tunas Naimbaru yang diisi oleh berbagai kegiatan, baik yang bersifat keagamaan, pendidikan, dan beragam lainnya.
Mereka dididik untuk bangga sebagai Parmalim, dan punya pikiran terbuka untuk menerima keberagaman agama-agama lain. Anak-anak muda penghayat Parmalim inilah yang punya tugas untuk (paling tidak) mengenalkan agama mereka ke masyarakat. Karena diskriminasi hanya akan terjadi jika pelakunya tidak memahami apa yang mereka hadapi. Dan di tengah glorifikasi terhadap keberagaman yang dimiliki Indonesia, Ugamo Malim bisa tetap hidup sebagai warisan nenek moyang, baik sebagai produk budaya, ataupun spiritual, atau justru keduanya.


Sebelum Kristen dan Islam masuk ke tanah batak abad 19, jauh sebelumnya sudah ada kepercayaan yang di anut orang-orang batak sebagai sebuah agama yang menjadi landasan hidup mereka. Kepercayaan asli orang batak ini di sebut "Parmalim" atau " Ugamo parmalim" (Agama parmalim).  Keyakinan yang mereka pegang mengandung nilai-nilai religius yang luhur dan mulia, yaitu kehidupan yang harmonis dengan sesama manusia dan kepada sang pencipta. Asal muasal kata "Parmalim" adalah dari kata "malim" yang artinya kesucian serta hidup untuk saling mengayomi dan memuliakan OPPU NAMULA JADI NA BOLON atau debata (Tuhan pencipta langit dan bumi).   Jadi Parmalim adalah orang-rang yang mengutamakan kesucian hidup. Mereka menyembah OPPU NA MU JADI NABOLON, siapakah Dia ini dalam kepercayaan parmalim?  Dia adalah Tuhan pencipta alam semesta yang tak berwujud, dan manusia tidak bisa bertemu dengannya.  Jadi untuk menghubungkan manusia dengan pencipta itu, maka di utus seorang parhitean (perantara) yaitu Raja Sisingamangaraja yang juga di kenal dengan Raja Nasiak Bagi.  Raja Nasiak Bagi merupakan sebutan terhadap kesucian (Hamalimon) dan juga semua jasa-jasanya hingga akhir hayatnya dalam mengayomi bangsa batak.  Nasiak Bagi juga sudah di takdirkan untuk hidup menderita dan dia tidak kaya tetapi sama miskinya dengan rakyatnya, baginya hidup adalah pengorbanan. Ritual agama Parmalim Saat ini pusat agama parmalim terbesar ada di desa Hutatinggi, sekita 4 km dari kecamatan lagu boti kab.Toba Samosir.  Saat ini penganut Parmalim mencapai sekitar 7.00 orang yang tersebar di 39 tempat di seluruh indonesia. Seperti agama-agama lain, parmalim juga memiliki rumah Ibadah yang disebut Bale Pasogit.  Parmalim tidak memakan daging babi dan anjing serta mengharamkan darah untuk di makan.  Mereka juga beribadah hari sabtu dan hari itu merupakan hari keramat bagi mereka sehingga tidak boleh bekerja dan bepergian jauh di hari sabtu.   Disamping itu mereka juga mempercayai 44 nabi yang menjadi utusan agama-agama lain.
13036233101427507553
13036233101427507553
Parmalim  memiliki 2 peringatan besar tiap tahun yaitu Sipaha sada dan Sipaha lima.  Sipaha sada adalah tahun baru batak, yang dimulai bulan maret dan Sipaha lima dilakukan saat bulan purnama antara bulan juni dan juli. Penganut parmalim juga sangat mencintai lingkungan dan alam ciptaan Tuhan.  Mereka di larang menebang pohon, namun jika harus menebang pohon mereka harus menggantinya dengan menanam tunas baru.  Mereka juga tidak boleh merusak tunas baru yang masih kecil, dengan demikian mereka sangat menjaga kelestarian alam dan lingkungan kehidupan. Persepsi yang salah dan diskriminasi terhadap parmalim Bagi orang yang tidak mengenal parmalim dengan baik, mereka selalu di cap sebagai "Sipele begu" (penyembah setan).  Padahal sesungguhnya mereka menyembah OPPU NA MULA JADI NA BOLON (Tuhan pencipta alam semesta).  Akibat salah persepsi itu tidak jarang mereka di jauhi dan di benci serta dianggap sesat. Disamping itu pemerintah juga turut berperan menyudutkan parmalim ini, dengan cara tidak mengakui keberadaan mereka, sehingga dalam mengurus administrasi kependudukan mereka mengalami kesulitan seperti membuat akte lahir, akte nikah dan KTP.  Hal ini menyebabkan banyak diantara mereka yang tidak memiliki administrasi kependudukan.  Dalam pembuatan KTP kolom agama di kosongkan, hal ini menyulitkan mereka untuk mencari pekerjaan dan juga bersekolah. Dengan demikian Umat Parmalim merasa bahwa mereka belum merdeka dari penjajahan, sebab kebebasan mengeskpresikan keyakinan mereka terhambat oleh pemerintah.  Seharusnya pemerintah mengayomi kepercayaan yang mereka telah anut turun-temurun dari nenek moyang mereka jauh sebelum indonesia ada. Kata-kata Bijak Parmalim Kata-kata bijak parmalim ini merupakan inti dari kepercayaan mereka yang luhur yaitu: "Marpangkirimon do namangoloi jala na mangulahon patik ni debata, jala dapotna do sogot hangoluan ni tondi asing ni ngolu ni diri on" artinya ("Manusia yang mematuhi dan mengikuti ajaran/hukum Tuhan dan melakukanya dalam hidupnya akan memiliki pengharapan kelak.  Ia akan mendapatkan kehidupan roh suci dan kekal") " Referensi: Dari berbagai sumber
Sejak tahun 90-an, banyak peneliti, akademisi, jurnalis maupun penulis, yang tertarik mengulas Parmalim dan ajaran agama mereka, Ugamo Malim. Sayangnya, tidak sedikit di antaranya yang keliru. Hal itu disebabkan beberapa hal, antara lain, saat meneliti, peneliti menggunakan perspektif (agama) tertentu. Referensi yang tidak valid serta melakukan koneksi sejarah yang tidak tepat waktu dan penamaan.
Hal itu dijelaskan salah seorang pimpinan (ihutan) Parmalim Hutatinggi, Laguboti, Balige, Monang Naipospos dalam sebuah diskusi Parmalim di salah grup media sosial, Kamis (7/12/2017).
Monang Naipospos yang juga dikenal sebagai budayawan Batak Toba ini mengklarifikasi sejumlah pendapat keliru tentang Parmalim, yang berkembang selama ini.
Medanbisnisdaily.com yang ikut dalam diskusi itu, menguraikan beberapa point yang diklarifikasi sekaligus dijelaskan Monang Naipospos dalam diskusi itu.
“Perlu saya jelaskan bahwa sebutan "Parmalim" populer sejak awal tahun 1920. Semula penganut kepercayaan leluhur ini (yang tidak mau terpengaruh Kristen dan Islam) ada beragam penyebutan, seperti "parsitengka, parugamo, parpasti, parhudamdam, siinum uras. Namun yang terlembaga dengan baik adalah kelompok yang dipimpin Raja Mulia Naipospos yang disebut orang ‘parugamo’, “jelasnya.
Seiring dengan waktu, lembaga itu kemudian disebut dengan Ugamo Malim. Dasar anutannya adalah para "Malim" (orang alim, suci). Sesuai dengan kosa kata bahasa Batak; orang yang melakukan sesuatu diimbuh dengan "par" seperti par-onan, par-horbo, maka par-Ugamo Malim. "Par Ugamo Malim" kemudian disebut Parmalim itu pada tahun 1921.
Monang juga menampik adanya asumsi yang menyebut ibadah Parmalim yang biasa dilakukan pada hari Sabtu, meniru konsep Hari Sabat dalam Perjanjian Lama (Kristen). Dijelaskannya, Parmalim pimpinan Raja Mulia Naispospos, di awal-awal melakukan ibadah mingguan itu pada hari ke-2 Samisara dalam kalender Batak. Karena itu pula selama beberapa tahun sempat juga kelompok ini disebut parsamisara.
Kemudian para tokoh mengadopsi kalender latin karena sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melakukan analisa, karena Samisara itu kadang bertepatan hari Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Minggu serta hari-hari lain. Karena pertemuan itu sering terjadi pada Sabtu, maka ditetapkanlah kegiatan mingguan ini pada hari Sabtu. Namun untuk hari besar ibadah lainnya masih tetap mengacu pada kalender Batak.
Sementara kelompok lain yang menamakan dirinya juga sebagai Parmalim seperti yang ada di Habinsaran justru menetapkan ibadah mingguan pada hari Rabu. Mereka sempat disebut “Pararipasti”. Selain itu Parmalim yang ada di Meranti justru tidak memiliki ibadah mingguan.
Monang juga mengklarifikasi pendapat yang menyebut Tumbaga Holing sebagai Kitab Parmalim. Begitu juga dengan konsep penciptaan manusia pertama, Adam dan Hawa.
Dijelaskannya, Parmalim tidak memiliki kitab Tumbaga Holing, tidak mengenal Adam dan Hawa sebagai manusia pertama. Manusia pertama yang mereka yakini adalah Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia, sesuai dengan pemahaman orang Batak di masa lalu.
Begitu juga dengan larangan makan babi dan darah, sebagaimana yang diikuti umat Al Masih Timur berdasarkan Alkitab (Perjanjian Lama) dan juga Islam. Pantangan mengkonsumi babi dan darah dalam ajaran Ugamo Malim, dijelaskan Monang mengacu pada keyakinan masyarakat Batak di masa lalu.
“Dahulu orang Batak memahami “Hamalimon” (kealiman, kesucian) mengacu kepada “Haiason” bersih jasmani dan rohani. Kemudian berkembang menjadi “Parsolamon”. Yakni kemampuan membatasi diri dari hal-hal yang mengotori jasmani dan rohani. Banyak hal yang menjadi bagian parsolamon itu, salah satunya tidak mengkonsumsi babi dan darah,” ujarnya.
Terkait dengan penggunaaan sorban putih, Monang menjelaskan bahwa ikat kepala lazim digunakan orang Batak di masa lalu. Yang memiliki makna harajaon adalah yang berwarna hitam. Sedang makna kekuatan adalah merah. Warna putih melambangkan kesucian. Bila ketiganya digabung disbut tigabolit. Parmalim sendiri bisa menggunakan ketiga warna itu dan tak harus putih. Namun Pimpinan Parmalim yang merupakan keturunan Raja Mulia biasa menggunakan ikat kepala berwarna hitam dengan rumbai warna merah yang disebut “Tumtuman”.
Monang Naipospos juga mengklarifikasi asumsi yang menyebutkan Parmalim lekat dengan paham monogami sebagaimana yang diajarkan dalam Kristen. Dijelaskannya Parmalim tidak memiliki paham monogami. Tetapi dalam praktik kehidupan berkeluarga, sebagaiman orang Batak, tidak mudah bagi Parmalim melakukan poligami.


Tatapan matanya tajam menghujam jantung saat pertama kali bertemu. Perkenalan diri dan sapa-sapa ringan tak dipedulikannya, bahkan pertanyaan-pertanyaan dijawab dengan sepatah dua patah kata. Hampir semua orang di Istana Parmalim di Jalan Air Bersih Ujung Medan, yang juga sebagai kantor DPD Kota Medan Punguan Parmalim, berlaku sama. Mereka seakan-akan risih dengan kedatangan orang asing yang datang dengan penuh pertanyaan. "Sudah capek kami diwawancarai, disurvei, ditanya-tanya, tak ada juganya yang kami terima. Tetap dipersulit, tetap susah, anak-anak kami diejek sampai mereka malu bilang agamanya. Udah puluhan tahun tetap begini, ganti presiden tetap tak ada perubahan sama kami," kata Simanjuntak, ulupunguan (pimpinan) Parmalim Cabang Kota Medan, Senin (24/5/2016). Beberapa menit kemudian sikapnya mulai melunak. Duduk di bawah pohon beringin yang tumbuh di halaman komplek Parmalim, bersama segelas kopi, Simanjuntak menjelaskan, Parmalim adalah agama leluhur bangsa Batak. Laki-laki berusia 60 tahun ini paham dan sadar penganut Ugamo Malim tidak banyak, kendati demikian, mereka harus menjadi perhatian pemerintah. Bukan malah meminggirkan mereka layaknya orang asing di negeri sendiri. Padahal bangsa asing saja hidup bebas dan merdeka di negeri ini. "Banyak ketidakadilan sama kami! Sesuai aturan pemerintah harus memilih salah satu agama yang sudah ditentukan. Agama kami masuk golongan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi generasi muda kami, ini tidak adil. Mereka menuntut ilmu, kemudian mencari kerja, lalu didiskriminasi oleh sesama manusia," kata Simanjuntak masih dengan nada tinggi. Memang, lanjut dia, sejak didampingi Aliansi Sumut Bersatu (ASB), sebuah lembaga yang peduli dan konsen dengan isu-isu pluralisme, anak-anak muda Parmalim sudah berani tampil dan menunjukkan siapa dirinya. Sesuai data ASB, 5.026 jiwa atau 0,14 persen dari 12.985.075 jiwa penduduk Sumatera Utara adalah penganut kepercayaan agama leluhur seperti Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Pemena, Habonaro Do Bona, dan lainnya. Untuk Parmalim, penganutnya tersebar di beberapa kabupaten dan kota seperti Medan, Simalungun, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan pusatnya di Huta Tinggi, Laguboti, Kabuten Toba Samosir.   Di Medan, ada 373 jiwa penganut Parmalim yang tersebar di 10 kecamatan, yakni Medan Amplas, Patumbak, Medan Kota, Medan Denai, Medan Marelan, Tanjung Morawa, Medan Labuhan, Medan Belawan. Sebagian masuk wilayah Kabupaten Deli Serdang, yaitu Kecamatan Sunggal dan Percut Sei Tuan. "ASB yang mendorong anak-anak muda kami mau tampil, menunjukkan siapa dirinya, apa agamanya, tidak malu menjalankan ibadahnya. Kami harap hak kami sebagai warga negara Indonesia bisa kami dapatkan karena kewajiban kami sebagai warga negara kami laksanakan," jelas Simanjuntak. Dia berharap kepala desa, camat dan instansi terkait memmudahkan urusan administrasi kependudukan penganut Parmalik supaya mereka bisa memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup. "Menurut pengetahuan kami, dasar negara kita Pancasila yang tidak membeda-bedakan suku, agama dan adat. Kenapa kami merasa asing, merasa lain, merasa bukan sebagai warga negara Indonesia, padahal kami bangga menjadi bangsa Indonesia," ucapnya dengan raut sedih. Begitu juga dengan Arnold Purba yang ditemui di kantor DPP Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa "Ugamo Bangsa Batak" di Kelurahan Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Pria berusia 50 tahun itu mengatakan, anak-anak mereka mengalami kendala dengan peraturan-peraturan pemerintah. Contohnya saat anaknya melamar pekerjaan, karena agama yang mereka anut tidak terdaftar di negara ini, maka anaknya tidak diterima bekerja. "Saya pernah bilang, untuk apa anak-anak kami sekolah tinggi-tinggi kalau tidak adanya pekerjaan yang layak untuk mereka. Masalahnya bukan karena dia tidak mampu, atau ilmu yang dimilikinya tidak sesuai, tapi karena agamanya. Saya tidak tahu dimana hubungan agama dengan jenis pekerjaan," kata warga Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara itu. Pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), para umatnya yang tidak mau beralih keyakinan mengisi kolom agama dengan kepercayaan, atau dikosongkan saja, atau dengan terpaksa memakai agama lain. Memilih menggunakan agama lain menjadi pertentangan batin, tetapi terpaksa mereka lakukan demi bertahan dan mendapatkan hak-hak hidup mereka sebagai warga negara. "ASB mengangkat masalah kami ke permukaan, biar semua orang tahu. Kami merasa beruntung mereka mau berkorban, sementara pemerintah saja tidak mau tau apa yang kami rasakan, kesulitan yang kami hadapi," ujar Arnold.   "Inikan Bhineka Tunggal Ika, dari Sabang sampai Marauke kita sama, sama-sama bayar pajak walau agamanya berbeda. Seingat saya dulu Soekarno pernah bilang, mari kita berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Apa kepercayaan itu? Itulah pengikut kepercayaan leluhur," lanjut dia dengan dialeg Batak yang khas. Arnold meminta pemerintah untuk tidak membeda-bedakan penganut agama asli Batak. "Kami mohon kepada pemerintah supaya disamakan hak penghayat sama seperti agama lain. Kepada dinas pendidikan, para guru, maunya memberitahukan sama para anak didiknya bahwa penghayat kepercayaan itu sah di negara ini dan mereka adalah warga Negara Indonesia," tegas Arnold. Intoleransi dan diskriminasi Komunitas Ugamo Bangso Batak (UBB) di Sumut terdapat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Samosir dan Kota Tanjung Balai. Jumlah total jemaat adalah 90 jiwa. Data jumlah ini sering diminta dan menjadi materi Pemerintah Indonesia, khususnya Sumut, untuk menggambarkan keberagaman Sumut sehingga bisa menjadi barometer toleransi di Indonesia. Kenyataannya, masyarakat di Sumut sering dihadapkan dengan realitas intoleransi, diskriminasi dan pemiskinan, khususnya kepada kelompok penganut kepercayaan lokal. "Data kami terkait inkslusi sosial yang dialami Parmalim dan UBB menunjukkan bahwa kelompok ini bermasalah di pemenuhan hak dasar dan akses ke pelayanan publik. Seperti tidak terpenuhinya hak atas identitas agama, ini merujuk ke permasalahan adminduk. Temuan kami, banyak ketidaksingkronan indentitas agama di KK dengan di KTP," kata Veryanto Sitohang, pendiri ASB. Menurut Veryanto, kepala lingkungan (Kepling) yang bertugas mengurus KK dan KTP sering memaksa kedua komunitas penganut agama leluhur itu untuk memilih agama yang diakui negara dengan alasan supaya proses pembuatannya lebih cepat. Banyak dari komunitas Parmalim di KK dan KTP beragama Islam atau Kristen tapi surat keterangan nikahnya dikeluarkan oleh Parmalim Hutatinggi, Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Ketidaksinkronan agama ini yang selalu menjadi kendala.   Soal inklusi pemenuhan hak-hak dasar, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 merupakan produk kebijakan publik yang berusaha mengakomodir kebutuhan aliran kepercayaan di Indonesia, yaitu dengan mengosongkan kolom agama pada KTP. Namun implementasinya kebijakan tidak berjalan sesuai harapan. "Tidak semua pelaksana kebijakan mengetahui substansi undang-undang, juga ada unsur stereotipe dari pelaksana kebijakan yang menganggap aliran kepercayaan itu sesat, ateis, bahkan komunis. Pemerintah tidak melakukan sosialisasi terkait substansi kebijakan secara holistik kepada implementor kebijakan," kata Very lagi. Kepling dan petugas kelurahan, lanjut dia, yang sudah mengetahui substansi undang-undang tersebut tetap saja tidak memberikan akses yang mudah bagi Parmalim dan UBB memperoleh hak mereka. Alasannya, pengosongan kolom agama belum selesai dibahas, masih menjadi polemik hingga sekarang maka belum dapat diimplementasikan. Padahal undang-undangnya telah berlaku sejak 2006. "Pada sisi lain, pengosongan kolom agama pada KTP ternyata menimbulkan masalah baru, stigma-stigma baru. Di lingkungan sekolah, pekerjaan, timbul pertanyaan baru kenapa kolom agama di KTP-nya kosong. Berarti tidak punya agama. Seharusnya sebagai warga negara, hak-hak mereka harus diberikan dan dijamin. Supaya tidak ada pengulangan masalah ke depannya nanti kepada anak-anak mereka," tegas Very. Tak diakui negara Lihat Foto Komunitas Parmalim di Istana Parmalim di Jalan Air Bersih Ujung Medan, bersama ASB mereka terus berjuang mewujudkan Kota Medan sebagai Kota Inklusi, Selasa (24/5/2016)(KOMPAS.com/Mei Leandha) Direktur ASB Ferry Wira Padang menambahkan, hasil audiensi pihaknya dengan Pemkot Medan dan Pemkab Deli Serdang, Parmalim dan UBB tidak diakui sebagai sebuah agama. Jadinya, ketika mereka tidak mengisi kolom agama di KTP dengan agama yang diakui negara, ketakutan akan dikucilkan di lingkungan masyarakat, pekerjaan dan sekolah menjadi momok menakutkan. "Anak–anak Parmalim dan UBB dipaksa memilih pendidikan agama lain. Mereka disuruh membeli buku ibadah yang biasa digunakan anak- anak Nasrani ketika beribadah ke gereja. Mereka sering diejek 'sepele begu' oleh teman-temannya dan para guru tidak ada memberikan penjelasan atau melindungi mereka," kata perempuan yang biasa dipanggil Ira ini. Pihak sekolah juga tetap mengharuskan memilih salah satu agama untuk kebutuhan belajar agama dan nilai agama karena belum terfasilitasinya pendidikan agama Parmalim di sekolah–sekolah. Masukan agar anak-anak Parmalim diberikan kesempatan belajar agamanya setiap Sabtu dan nilai agama bisa diperoleh dari penanggung jawab atau pengajar Parmalim sudah disampaikan kepada sekolah–sekolah.   "Implementasinya sampai hari ini masih nihil. Mereka harusnya memiliki kesempatan dan posisi yang sama dengan warga negara lain tanpa mempertanyakan keyakinan mereka," ucapnya masgul. Para orangtua khawatir anaknya akan terhambat memperoleh nilai ketika lulus sekolah karena agamanya. Seperti yang pernah terjadi di Sekolah Wahidin, Medan Labuhan. Hal sama dialami Kasman Sirait pada 1997 ketika masuk PNS, di SK dan KK tertulis agamanya Parmalim. Perubahan terjadi ketika anaknya melamar polisi untuk menghindari permasalahan KK dan KTP dia mengubah kolom agama menjadi Kristen. "Warga Parmalim merasa lebih nyaman tinggal di luar Kota Medan, seperti Batam dan Jakarta. Di lingkungan tempat tinggalnya, mereka tidak masuk kumpulan Serikat Tolong Menolong (STM) karena STM hanya mengakui Islam dan Kristen. Belum lagi akses mendapat bantuan dari pemerintah. Erita Sinambela dan Tamaida Lumbanraja adalah Parmalim yang miskin tapi tidak pernah memperoleh dana bantuan, sedihlah melihat nasib mereka ini," ujarnya. Lembaganya terus berupaya terjadi pemenuhan dan perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan, meminta pemerintah berkomitmen melaksanakan kebijakan khusus untuk Catatan Kependudukan yaitu UU Adminduk Nomor 24 tahun 2013. Dia juga menuntut pemerintah dari tingkat paling bawah sampai pusat memiliki perspektif HAM, khususnya implementasi sistem kepengurusan administrasi kependudukan dengan merevisi sistem pencatatan identitas agama. "Pemahaman yang beragam terhadap kaum minoritas penganut agama leluhur di seluruh Indonesia menimbulkan sulitnya kelompok ini diterima, baik di lingkungan masyarakat ataupun pemerintah sendiri. Semoga ke depan, dua kelompok ini semakin dikenal sehingga keberadaan mereka sebagai warga negara tidak dipertanyakan lagi karena pilihan keyakinannya," pungkas Ira.   Kepala Bidang Informasi Pengendalian Penduduk Dinas Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Medan, Arpian Saragih mengatakan, pengosongan kolom agama di KTP sudah diatur undang-undang. Namun untuk komunitas Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak sudah lebih diterima. "Sudah amannya, apalagi? Kami Dinas Pendudukan mengikuti peraturan, sudah tiga tahun saya bekerja sama dengan ASB melakukan pendampingan dan sosialisasi. Mereka (Parmalim dan UBB) sudah diterima untuk membuat KTP dan KK, yang penting ada surat keterangan dari pengurusnya tentang agama mereka. Cuma memang sampai hari ini peraturannya masih kosong," kata Arpian. Sementara Ketua Komisi A DPRD Sumut Sarma Hutajulu menilai, persoalan ini muncul karena negara menyatakan memberikan kebebasan kepada setiap warga negaranya untuk menganut agama dan kepercayaan. Lucunya, pemerintah kemudian menerbitkan aturan yang memenjarakan kebebasan tersebut dengan ditetapkannya enam agama yang diakui negara. Akhirnya, aliran kepercayaan seperti Parmalim, UBB dan lainnya diurus kementerian lain, bukan Kementerian Agama. Maka bermunculanlah diskriminasi-diskriminasi itu. “Tolong, kami ingatkan, jangan ada lagi petugas pencatatan sipil, lurah atau Kepling, dan para guru, memaksa penganut Parmalim atau UBB untuk menuliskan agama lain di kolom agama KTP-nya. Tak peduli alasannya apa, itu pidana, pemberian keterangan palsu pada akta otentik. Lebih baik dikosongkan atau ditulis aliran kepercayaan saja,” tegas Sarma. Medan kota inklusi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK RI), Yayasan Satunama Yogyakarta dan ASB, melaksanakan Program Peduli mulai Maret 2015 lalu. Target program ini adalah mewujudkan gerakan inklusi sosial dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bertindak setara dan semartabat. Pada 26 Mei 2016 nanti, ASB menggandeng pemerintah Kecamatan Medan Denai mengadakan pesta rakyat bertema "Merayakan Tradisi Mewujudkan Kota Inklusi".   "Pesta Rakyat ini tujuannya menjadi wadah silaturrahmi antar masyarakat, antar warga, dan antara masyarakat dengan pengurus pemerintahan Kota Medan. Seni tradisi dan budaya yang akan ditampilkan nanti tidak saja menjadi hiburan tapi menjadi simbol keberagaman yang membuat satu, jangan ada lagi perbedaan. Ini juga akan menjadi momen dideklarasikannya Kota Medan sebagai kota inklusi," kata Ira sambil mengajak semua pihak untuk datang ke acara ini. Namun mewujudkan Kota Medan sebagai Kota Inklusi bukan pekerjaan mudah, tidak semua pihak, khususnya para pengambil keputusan dan kebijakan mendukung. Pemerintah Kota Medan menurut ASB belum menunjukkan sikap membuka tangan lebar-lebar untuk bersama-sama mewujudkan kota inklusi tersebut. "Sekda Kota Medan saja masih bertanya dan tidak tahu ada komunitas penganut agama leluhur di Kota Medan. Kami menilai Pemkot Medan belum punya keinginan untuk mewujudkan kota inklusi ini. Begitu juga dengan sikap camat dan lurah tempat kaum marjinal itu berada. Kita lihatlah, apakah datang nanti wali kota medan membuka acara pesta rakyat itu," ucap perempuan berambut keriting itu dengan suara tertahan. Wali Kota Medan Djulmi Eldin yang coba dikonfirmasi lewat telepon selulernya tidak menjawab panggilan masuk dan tidak membalas pesan singkat yang dikirim Kompas.com. Usaha kembali dicoba dengan menghubungi Kabag Humas Pemkot Medan, Budi Hariono. Budi mengaku belum mendengar bakal ada acara pesta rakyat itu. Budi lalu mengarahkan untuk menghubungi bagian Protokol Pemkot Medan, Andika. "Siapa tahu undangannya sudah masuk di situ. Saya belum ada dengar soalnya. Protokol yang paling tahu," kata Budi. Hingga berita ini diturunkan, Andika yang dihubungi juga tidak menjawab panggilan masuk dan membalas pesan di WhatsApp, begitu juga dengan Camat Medan Denai Hendra Asmilah.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Penganut Agama Leluhur Batak yang Terasing di Negeri Sendiri", https://regional.kompas.com/read/2016/05/24/08191341/kisah.penganut.agama.leluhur.batak.yang.terasing.di.negeri.sendiri?page=all.
Penulis : Kontributor Medan, Mei Leandha

Suku Batak merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki banyak warisan budaya. Terkenal akan menjunjung tinggi adat-istiadat, ada banyak tradisi yang hingga kini masih dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat Suku Batak yang juga bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
Salah satu yang masih dilakukan oleh masyarakat Suku Batak adalah Upacara Sipaha Lima. Upacara ini merupakan tradisi yang dilakukan oleh Suku Batak penganut kepercayaan Malim, yang memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas nikmat yang sudah didapatkan dalam setahun.

Ungkapan Rasa Syukur Kepada Sang Pencipta

upacara sipaha lima tradisi mensyukuri hasil panen leluhur batak
Sumber: mongabay.co.id 2020 Merdeka.com
Dilansir dari laman negerikuindonesia, Sipaha Lima adalah ritual atau upacara suci dalam tradisi masyarakat Suku Batak di Sumatera Utara. Upacara ini dilakukan oleh masyarakat Batak penganut kepercayaan Malim, atau biasa disebut dengan Parmalim.
Upacara Sipaha Lima ini adalah sebuah tradisi yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki dan nikmat yang didapatkan masyarakat Suku Batak kepada Sang Pencipta. Selain itu, upacara ini juga dilakukan untuk menghormati para leluhur.
Bagi masyarakat Suku Batak, Upacara Sipaha Lima ini dimaknai sebagai upacara sakral dan penuh kebersamaan. Hal tersebut dapat terlihat dari berbagai prosesi yang dilakukan dalam upacara tersebut.

Tradisi Milik Parmalim

upacara sipaha lima tradisi mensyukuri hasil panen leluhur batak
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id 2020 Merdeka.com
Upacara Sipaha Lima ini sudah dilakukan oleh masyarakat penganut kepercayaan Malim sejak ribuan tahun lalu. Kepercayaan Malim merupakan kepercayaan asli masyarakat Batak pada zaman dahulu. Menurut sejarahnya, Upacara Sipaha Lima ini awalnya diperkenalkan oleh Raja Sisingamangaraja XII. Selain sebagai salah satu pahlawan dan pemimpin masyarakat Batak, Ia juga merupakan penganut kepercayaan Malim.


Pada saat itu kepercayaan Malim sangat berkembang dan memiliki banyak penganut yang tersebar di berbagai tempat. Kemudian Raja Sisingamangaraja XII memberikan titah kepada Raja Mulia Naipospos untuk melembagakan ajaran dan kepercayaan tersebut agar para penganutnya dapat berkumpul bersama dan memiliki identitas yang jelas, salah satunya dengan mengadakan Upacara Sipaha Lima ini.

3 dari 5 halaman

Dilaksanakan di Bulan Lima Kalender Batak

upacara sipaha lima tradisi mensyukuri hasil panen leluhur batak
Sumber: ceritamedan.com 2020 Merdeka.com
Masih dilansir dari laman negerikuindonesia, upacara ini dilakukan setahun sekali yaitu pada bulan ke-lima sesuai dengan kalender Batak. Upacara ini biasanya digelar di Bale Pasogit Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Tempat inilah yang menjadi tempat pusat penganut kepercayaan Malim. Bahkan, masyarakat Permalim sering menyebut Bale Pasogit adalah Huta Nabadia (tanah suci) bagi mereka.


Persiapan Upacara Sipaha Lima ini dilakukan masyarakat sejak beberapa bulan sebelum upacara dilaksanakan. Dilansir dari laman resmi kebudayaan.kemdikbud.go.id, pada saat memasuki bulan ketiga di kalender Batak, masyarakat sudah bersiap-siap mengumpulkan hasil panen yang mereka dapatkan. Memasuki bulan keempat, masyarakat mulai menyiapkan persiapan persembahan untuk upacara. Kemudian pada bulan kelima, Raja Naipospos akan menentukan hari penyelengaraan Upacara Sipaha Lima.

4 dari 5 halaman

Ada Berbagai Ritual

upacara sipaha lima tradisi mensyukuri hasil panen leluhur batak
Sumber: medcom.id 2020 Merdeka.com
Dilansir dari laman indonesia.go.id, kegiatan Upacara Sipaha Lima ini diikuti orang tua, remaja, bahkan anak-anak. Upacara ini biasanya diiringi musik dari Ogung Sabangunan (alat musik tradisional Batak Toba) serta tarian Sahadaton dari Parmalim yangg juga mengiringi penyerahan sesembahan kepada Sang Pencipta.


Sesembahan yang diberikan berupa seperti ayam, kambing, ikan yang sudah dimasak, dan jeruk purut di dalam cawan yang sebelumnya sudah didoakan di dalam bale parsantian (rumah ibadah). Selain itu, dalam Upacara Sipaha Lima, masyarakat Parmalim akan menyembelih satu ekor kerbau sebagai puncak simbol rasa syukur.

5 dari 5 halaman

Memakai Pakaian Adat Khas Batak

upacara sipaha lima tradisi mensyukuri hasil panen leluhur batak
Sumber: warisanbudaya.kemdikbud.go.id 2020 Merdeka.com
Pada saat upacara berlangsung, Parmalim perempuan harus mengenakan kebaya, ulos, sarung, dan rambutnya diharnet. Sedangkan Parmalim laki-laki akan memakai kain putih yang diikat di atas kepala serupa sorban (tali-tali, dalam Bahasa Batak) untuk yang sudah menikah, ulos, dan sarung.


Khusus untuk pucuk pimpinan Parmalim, mereka memakai ulos yang di atasnya dilapisi kain putih. Sedangkan anak-anak mengenakan sarung dan rambut harus diharnet dengan rapi. Seluruh umat yang menghadiri prosesi upacara ini tidak boleh memakai alas kaki di sekitar kompleks peribadatan tempat tersebut dianggap sakral.


[far]


Sumatera Utara memiliki keberagaman suku, agama, tradisi, ataupun kebudayaan.
Bagi masyarakat etnis Batak, sudah tidak asing lagi mendengar kepercayaan Parmalim.
Parmalim dikenal sebagai umat Ugamo Malim yang memegang teguh kepercayaan asli suku Batak.

Kelompok terbesar parmalim berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba.
Parmalim memiliki beberapa perayaan hari besar yaitu Sipaha Sada (bulan pertama) dan Sipaha Lima (bulan kelima).
Perayaan Sipaha Sada dalam kalender Batak memiliki makna yaitu bulan pertama di tahun baru.
Dalam perayaan ini, umat Parmalim merayakan dengan gembira untuk menyambut kelahiran kepercayaan Parmalim yaitu Tuhan Simarimbulubosi.
Humas Parmalim, Togi M Sirait mengungkapkan bahwa penyambutan tahun baru suku Batak dinamakan Sipaha Sada.
Dalam perayaan ini, selain tahun baru juga merayakan kelahiran Tuhan Simarimbulubosi.
"Sipaha Sada ini pada umumnya yaitu penyambutan tahun baru.
Di dalam Ugamo Malim, Sipaha Sada merupakan kelahiran Tuhan Simarimbulubosi yang dimana beliau adalah penebus dosa dalam kepercayaan Parmalim," ujar Togi, Senin (9/3/2020).
Ulu Punguan Parmalim Cabang Medan, Pardomuan Manurung menuturkan bahwa sebelum masuk ke perayaan Sipaha Sada, umat Parmalim akan mendapati pintu Harbangan atau pintu masuk.
"Sebelum masuk ke Sipaha Sada, ada namanya pintu harbangan (pintu masuk) mulai di bulan sebelumnya yaitu di bulan Januari dan puncaknya di 25 Februari.
Jadi dimulai bulan Januari itu, pas itu dalam kalender Batak ada namanya di Bulan Hurung," ujar Manurung.
Manurung menjelaskan bahwa dalam di Bulan Hurung, umat Parmalim melaksanakan perenungan selama satu bulan untuk merenungi segala kesalahan yang menjadi dosa dari awal hingga akhir tahun yang tidak sesuai dengan ajaran Parmalim.
"Di bulan Hurung ini di situ kami dikasih kesempatan dalam satu bulan untuk merenungkan semua kehidupan kita yang sudah kita jalani dalam satu tahun yaitu dari awal tahun hingga pengujung tahun.
Kita renungi dulu semua kehidupan kita yang tidak sesuai dengan ajaran Parmalim," jelasnya.
Manurung juga menambahkan bahwa dalam kegiatan perenungan tersebut, umat Parmalim tidak diperkenankan untuk melakukan hal yang buruk dan dapat mengontrol diri.
"Dalam satu bulan itu kita bertobat jangan melakukan hal yang buruk atau tindakan seperti menindas orang.
Lebih ke mengontrol diri dari pandangan dan semua dari tubuh kita ini bisa kita kendalikan," kata Manurung.
Dalam mengikuti perayaan Sipaha Sada, Umat Parmalim memiliki tata aturan dalam berpakaian.
Ketua Organisasi Parmalim Medan Deliserdang, Marudahlan Sirait mengungkapkan bahwa ada perbedaan antara pemakaian untuk pria yang sudah berkeluarga dan belum menikah.
"Dalam Sipaha Sada Ugamo Malim diharuskan menggunakan pakaian adat Batak seperti Ulos, Hande-hande.
Kalau laki-laki yang sudah berkeluarga itu memakai sorban, hande-hande dan Abit.
Sedang bagi laki-laki yang belum berkeluarga hanya menggunakan sarung saja sama ande-ande dan ulos," ungkap Marudhalan.
Perayaan Parmalim Hutatinggi yang berada di Medan tepatnya di Jalan Seksama Gang Rela, Medan merayakan Sipaha Sada pada tanggal 25 Februari 2020.
Manurung mengungkapkan bahwa umat Parmalim percaya setelah melakukan perayaan Sipaha Sada, Umat Parmalim dapat menjalani kehidupan dengan jiwa yang kembali suci.
"Kita percaya setelah tanggal 25 kita akan menjalani kehidupan kita dengan pemikiran baru, jiwa yang baru.
Dan wajib kita meninggalkan yang buruk.
Momen saat ini tanggal tujuh kita masih bersukaria selama satu bulan.
Kalau dari tanggal Bataknya berarti secara kalender nasional sampai tanggal 23 Maret," tutur Manurung.
Pada perayaan Sipaha Sada, Parmalim Hutatinggi merayakan di punguan masing-masing.
Selaku Cicit Sisingamangaraja XII, Raja Tonggo Tua Sinambela berharap untuk di tahun mendatang,
Parmalim HutaTinggi dapat merayakan di Pusat.
Ia menuturkan bahwa perayaan di pusat memiliki beragam ritual diantaranya manortor dan memainkan alat musik kecapi.
"Alat musik yang dipakai dalam Sipaha Sada yaitu Kecapi .
Dan kalau di pusat ada ritual Manortor dan berharap semoga di tahun depan kita sudah bisa merayakan di pusat," pungkas Raja Tonggo.

(cr13/tri bun-medan.com)


Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Perayaan Sipaha Sada, Hari Kelahiran Tuhan Simarimbulubosi Bagi Umat Parmalim, https://medan.tribunnews.com/2020/03/09/perayaan-sipaha-sada-hari-kelahiran-tuhan-simarimbulubosi-bagi-umat-parmalim?page=all.
Penulis: Kartika Sari
Editor: Juang Naibaho

No comments