TERBARU

Mencari Kepribadian Arsitektur Aceh


Taqiyuddin Muhammad,
p
eneliti sejarah dan kebudayaan Islam di MAPESA Aceh.


Teknologi modern tidak saja telah membentuk wajah kehidupan baru di atas planet ini, tapi juga membuka gerbang sangat lebar bagi globalisasi. Ini adalah suatu kenyataan yang mesti diletakkan di depan mata setiap kali persoalan kepribadian diketengahkan.

Bagi masyarakat-masyarakat dengan nomor ranking terbelakang di dunia teknologi, globalisasi merupakan arus yang dapat mengancam segala sesuatu terkait kepribadian. Ancaman itu semakin nyata ketika sebuah masyarakat terdiskoneksi dengan sejarahnya.

Sejarah pada hakikatnya adalah sarang kepribadian.

Peristiwa-peristiwa dalam berbagai lapangan kehidupan di masa lampau membentuk pengalaman yang melahirkan kepribadian serta mengukuhkannya, dan bersamanya, tumbuh keanekaan yang kaya. Tetapi, sejarah menampilkan wajah kehidupan yang tampak tidak relevan dengan kehidupan dibentuk oleh teknologi modern. Sehingga, apa yang merupakan sarang kepribadian itu menjadi lebih mudah untuk ditinggalkan.

Pengaruh teknologi modern dengan wajah kehidupan baru yang dibawanya, bahkan terkadang memustahilkan apapun minat untuk kembali ke masa lampau sekalipun sekadar untuk mengetahui dan memahaminya. Efeknya, kepribadian dianggap bukan lagi isu yang penting untuk diketengahkan. Keanekaan yang tumbuh bersama kepribadian, dengan demikian, harus menghadapi nasibnya sebagai khazanah warisan terlantar sebelum musnah. Kemustahilan kembali ke bentuk kehidupan masa lampau adalah suatu keniscayaan. Tembok kemodernan telah menutup jalan surut ke belakang secara permanen.

Sementara dari arah yang lain, globalisasi adalah arus yang mustahil dibendung.

Sebagaimana watak pembentuknya, arus ini menyita paksa semua ruang, mengalahkan, bahkan, merubuhkan segala sesuatu yang terlantar dan tanpa pengembangan. Di depan arus ini, kepribadian bisa segera mengalami kerentanan. Satu-satunya jalan keluar hanyalah apabila kepribadian beserta keanekaan yang tumbuh bersamanya mampu terlibat dalam globalisasi.

Untuk mempertahankan kepribadian dan terlibat dalam globalisasi, dunia arsitektur di Aceh masih perlu menemukan kepribadian arsitekturnya. Sudah pasti ini bukan dalam rangka kembali ke kehidupan masa lampau, tapi untuk mengaktualisasikan kepribadian dan melestarikan keanekaan yang tumbuh bersamanya.

Pencarian untuk menemukan kepribadian arsitektur Aceh tentu harus dilakukan di sarangnya; sejarah.
Tapi, ini tidak akan semudah dibayangkan. Historiografi Aceh selama satu abad terakhir tidak memberikan narasi sejarah yang memuaskan, apalagi menyangkut arsitektur Aceh. Historiografi hanya mempertontonkan halaman kosong di bagian ini.

Persoalan menjadi semakin rumit ketika bahan-bahan sejarah dari masa lampau terkait arsitektur Aceh dan perkembangannya sampai saat ini belum ditemukan, atau lebih tepatnya, belum pernah diselidiki. Ketiadaan dokumen autentik secara serta merta menghentikan kerja pencarian kepribadian arsitektur Aceh di jalan ini.    

Beberapa karya etnografi dari sarjana Belanda semisal Julius Jacobs, C. Snouck Hurgronje, J. Kreemer, memang telah menyumbangkan bahan-bahan penting, tapi secara umum, semuanya hanya merupakan tulisan deskriptif mengenai berbagai konstruksi bangunan yang mereka amati di Aceh. Penjelasan mengenai konsep-konsep arsitektur dari berbagai sisinya tentu tidak ditemukan dalam karya-karya etnografi semisal itu, apalagi menyangkut pengetahuan sejarah perkembangan arsitektur yang memang terkunci akibat ketiadaan dokumen dari masa lampau.

Karya-karya tersebut memang telah membantu memberikan gambaran umum mengenai ragam konstruksi bangunan Aceh-secara khusus konstruksi bangunan rumah-tapi untuk menemukan kepribadian arsitektur Aceh, berbagai konsep arsitektur mesti terbaca dengan jelas, terutama, konsep filofis.

Apabila historiografi sama sekali tidak membantu, dan etnografi hanya membantu secara parsial, jalan pencarian untuk menemukan kepribadian arsitektur Aceh diharapkan terbuka di sisi sarang yang lain, yaitu lewat warisan sejarah dan memori yang tersisa di lingkungannya.

Jalan ini tentu menghendaki kegiatan riset lapangan yang sistematis dan intensif. Beberapa daerah di Aceh seperti Aceh Besar dan Pidie masih memiliki warisan arsitektur yang kaya dan layak ditargetkan sebagai lapangan riset. Lewat jalan ini, kiranya, kepribadian arsitektur Aceh dapat ditemukan untuk kemudian diaktualisasikan di dunia arsitektur Aceh.


SUMBER: serambinews



No comments