Menginventarisir Para Pahlawan Gayo
Salah seorang pahlawan dari Tanah Gayo, Abu Bakar Salam. [istimewa] |
Gayo tak hanya memiliki kopi. Tapi, juga para pahlawan. Selain Aman Dimot dan Aman Serang, belasan atau puluhan pahlawan lainnya menanti untuk ditulis dan dipublikasikan.
Gayo, tampaknya, harus berterimakasih kepada Yusradi
Usman Algayoni. Dalam usianya yang belum
genap 40, sarjana linguistik dari Universitas Sumatera Utara ini sudah berbuat
banyak untuk tanah kelahirannya. Selain menerbitkan sejumlah buku terkait Gayo
lewat Mahara Publishing, ia juga mendirikan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo. Lewat
lembaga inilah, ia aktif menyelenggarakan diskusi daring seputar kebudayaan
Gayo – dan kemudian mendokumentasikannya di platform berbagi video YouTube,
lewat kanal Al-Gayoni. Tak kurang dari 30-an video mengenai kebudayaan Gayo
yang telah ia unggah di kanal tersebut.
Ia seakan menggenapi atau meneruskan
usaha-usaha menggali dan memperkenalkan kebudayaan dan sosok Gayo yang telah dilakukan
sejumlah pihak – mulai dari penyair LK Ara, Ibrahim Kadir, Iwan Gayo, sampai Fikar
W EdaI.
Dan Kamis malam, 10 November 2022, Yusradi
kembali menggelar diskusi daring. Kali ini bertajuk Bincang Hari Pahlawam - Mengenal Sosok, Kiprah dan Kontribusi Abu Bakar Salam (Pejuang Kemerdekaan). "Hari Pahlawan ini, paling tidak, tidak lewat begitu saja.
Bagaimana kita mengenal sekaligus mengenang kembali perjuangan pejuang-pejuang
kita, termasuk dari Dataran Tinggi Gayo yang sudah berkorban waktu, tenaga,
materi, bahkan bertaruh nyawa dalam melawan kolonial dan mempertahankan
Indonesia," kata Yusradi, dalam undangan diskusinya.
Pembicara dalam dikusi tersebut adalah Murnian,
alumni Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, yang tengah mempersiapkan tesisnya
tentang sosok Abu Bakar Salam.
Sayangnya, ketika diskusi berlangsung, sinyal
seluler di Takengon, Aceh Tengah, tempat Murnian bermukim, rupanya kurang
bagus. Sehingga, Murnian tak bisa mendadarkan temuan awalnya tentang sosok yang
menjadi subyek penelitiannya secara lebih lengkap dan detail. “Abu Bakar Salam
adalah penyedia logistik bagi para pejuang yang bertempur di palagan Aceh,
Karo, maupun peristiwa Medan Area,” kata Murnian. “Abu Bakar Salam sendiri tak
pernah terjun langsung ke tengah pertempuran. Dia hanya menyediakan perbekalan
dan segala keperluan logistik para pejuang,” tandas dia. Hanya itu.
Untunglah, salah seorang peserta diskusi, Prof.
Dr. M.Dien Madjid, guru besar Ilmu Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mampu mengisi “kekosongan”
tersebut. “Abu Bakar Salam memang seorang pedagang, seorang saudagar,” kata
Prof. Madjid. Dan lewat hartanya itulah, sebagaimana banyak dilakukan saudagara
Aceh lainnya di awal Kemerdekaan, ia melakukan kejuangannya.
Murnian dan flyer undangan diskusi online Bincang Pahlawam - Mengenal Sosok, Kiprah dan Kontribusi Abu Bakar Salam (Pejuang Kemerdekaan). [istimewa]Pahlawan, Mengenal Sosok |
Dari penjelasan dan pernyataan Prof.Madjid itu, hemat saya, ada sejumlah hal yang layak mendapat perhatian. Pertama, perlunya kita merumuskan kembali
makna “pahlawan” dan “pejuang”. Apakah, seorang pahlawan melulu mereka yang
berjuang di medan tempur? Kedua, seakan menjawab pertanyaan sastrawan Putra
Gara yang ikut hadir dalam diskusi tersebut, dalam kaitan mendefinisikan makna
kepahlawanan tersebut, kita perlu merinci setiap aktivitas kejuangan atau heroisme sebuah
sosok – sehingga ia tergambar sebagai dan layak disebut Pahlawan. Ketiga, masyarakat Gayo harus
semakin intensif melakukan dokumentasi tertulis ihwal sosok-sosok pejuang yang
ada di dataran tinggi tersebut. Selain itu, hal yang juga penting dari pernyataan Prof. Madjid itu: Inventarisasi dan
dokumentasi tersebut hendaknya berdasarkan prespektif masyarakat (dan budaya)
Gayo. “Penulisan sejarah Gayo sudah banyak dilakukan orang-orang Belanda. Tapi,
penulisan tersebut berdasarkan prespektif orang Belanda, berdasarkan
kepentingan orang Belanda,” kata Prof Madjid, kurang lebih.
Dua yang terakhir ini, plus merumuskan kembali
makna dan kriteria “Pahlawan”, memang layak ditekankan. Sejatinya, kisah-kisah heroik
masyarakat Gayo – lengkap dengan tokoh-tokohnya -- nyaris tak terhitung. Namun, semua itu lebih
banyak didokumentasikan dalam sejarah lisan. Sebagaimana menimpa banyak etnis
lainnya di Nusantara, budaya lisan lebih dominan. Alih-alih budaya tulis.
Bagi generasi 70-an-80-an, tradisi lisan itu
mungkin masih ampuh dalam menularkan sejarah dan budaya. Namun, ketika disrupsi
teknologi informasi semakin gencar, banjir informasi tak terbendung, siapa yang bisa
menjamin generasi-generasi berikutnya masih bisa menikmati sejarah, hikayat,
dan tradisi yang disampaikan secara lisan itu? Alih-alih mendengarkan
kisah-kisah yang disampaikan orangtuanya, generasi milenial dan generasi
berikutnya lebih memilih menikmati YouTube atau Tiktok.
Karenanya, dokumentasi sekaligus inventarisasi
itu hendaknya dilakukan secara tertulis – lengkap dengan publikasinya di
internet. Syukur-syukur sebagaimana dilakukan Yusradi dan yang lainnya:
Mendokumentasikannya berupa audio-visual di YouTube atau platform video lainnya.
Dengan begitu, publik, terutama kalangan milenial dan generasi berikutnya, tak hanya mengenal Gayo semata kopi. Tapi, juga paham budaya, tradisi, sejarah, dan tokoh-tokoh yang ada di
dalamnya. Bahwa Gayo ternyata berbeda dengan Aceh, bahkan bahasanya lebih dekat
dengan Bahasa Simalungun – alih-alih dengan Aceh. Bahwa Gayo juga memiliki
kuda, ceh, Danau Lot Tawar, dan deretan para pahlawan
yang bahkan layak mendapat gelar Pahlawan Nasional sekalipun.
Maman Gantra (Jakarta)
No comments